Pendahuluan
Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah artikel berjudul "Ketika ChatGPT Jadi ‘Yes Man’: Ancaman bagi Pengguna Setia”. Artikel itu cukup tajam mengkritik kecenderungan AI yang terlalu menyenangkan pengguna, seolah hanya mengiyakan tanpa tekanan intelektual.
Kritik itu sah, tetapi saya ingin menawarkan sudut pandang berbeda. Bukan membela AI, melainkan mengajak melihatnya melalui prinsip paling mendasar dari sistem digital: GIGO (Garbage In, Garbage Out / Gold In, Gold Out)
Saya tidak terkejut ketika AI menjawab sesuatu yang salah atau terlalu memuji. Itu bukan karena AI sok tahu, melainkan karena inputnya memang seperti itu.
Sama seperti komputer sejak awalnya: jika kita memasukkan data berantakan, yang keluar juga akan berantakan. Tapi jika input kita runtut, jernih, dan bernalar, maka hasilnya bisa berupa gold (output informasi yang akurat), sintesis (gabungan ide menjadi pemahaman baru), bahkan arah berpikir yang segar.
Maka bagi saya, AI bukan ancaman. Ia adalah alat kolaboratif yang kekuatannya sepenuhnya tergantung pada kepiawaian manusia sebagai pengendali.
AI Bukan Nabi, Bukan Pusat Kebenaran
Kita perlu mengingat bahwa AI bukan nabi, bukan guru sejati, apalagi sumber kebenaran. Ia hanya sistem yang merespons berdasarkan data dan pola bahasa. Jika kita menanggapinya sebagai oracle, maka kita sendiri yang sesat.
Selanjutnya jika AI terlalu sering jadi Yes Man, itu bukan semata kesalahan sistemnya melainkan karena kita memintanya bersikap demikian.
Dalam ruang dialog ini, manusialah subjeknya. AI tidak bisa membaca niat, ia hanya bisa membaca teks. Maka pertanyaannya: sudahkah kita menulis dan berpikir dengan jernih?