Mohon tunggu...
agus hendrawan
agus hendrawan Mohon Tunggu... Tenaga Kependidikan

Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

GIGO, Bukan Yes Man: AI adalah Cermin, Bukan Sumber Kebenaran Mutlak

5 Agustus 2025   04:01 Diperbarui: 5 Agustus 2025   04:01 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah artikel berjudul "Ketika ChatGPT Jadi ‘Yes Man’: Ancaman bagi Pengguna Setia”. Artikel itu cukup tajam mengkritik kecenderungan AI yang terlalu menyenangkan pengguna, seolah hanya mengiyakan tanpa tekanan intelektual. 

Kritik itu sah, tetapi saya ingin menawarkan sudut pandang berbeda. Bukan membela AI, melainkan mengajak melihatnya melalui prinsip paling mendasar dari sistem digital: GIGO (Garbage In, Garbage Out / Gold In, Gold Out)

Saya tidak terkejut ketika AI menjawab sesuatu yang salah atau terlalu memuji. Itu bukan karena AI sok tahu, melainkan karena inputnya memang seperti itu. 

Sama seperti komputer sejak awalnya: jika kita memasukkan data berantakan, yang keluar juga akan berantakan. Tapi jika input kita runtut, jernih, dan bernalar, maka hasilnya bisa berupa gold (output informasi yang akurat), sintesis (gabungan ide menjadi pemahaman baru), bahkan arah berpikir yang segar.

Maka bagi saya, AI bukan ancaman. Ia adalah alat kolaboratif yang kekuatannya sepenuhnya tergantung pada kepiawaian manusia sebagai pengendali.

AI Bukan Nabi, Bukan Pusat Kebenaran

Kita perlu mengingat bahwa AI bukan nabi, bukan guru sejati, apalagi sumber kebenaran. Ia hanya sistem yang merespons berdasarkan data dan pola bahasa. Jika kita menanggapinya sebagai oracle, maka kita sendiri yang sesat. 

Selanjutnya jika AI terlalu sering jadi Yes Man, itu bukan semata kesalahan sistemnya melainkan karena kita memintanya bersikap demikian.

Dalam ruang dialog ini, manusialah subjeknya. AI tidak bisa membaca niat, ia hanya bisa membaca teks. Maka pertanyaannya: sudahkah kita menulis dan berpikir dengan jernih?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun