Mohon tunggu...
Agus Dwi Nugroho
Agus Dwi Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Pekerjaan

Dosen di Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian UGM

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membangun Karakter Melalui Pendidikan

17 Juni 2019   09:03 Diperbarui: 17 Juni 2019   09:08 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam beberapa pekan ini para orang tua sibuk untuk mencari sekolah atau Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk kelanjutan pendidikan anaknya. Tentu saja orang tua akan mencari sekolah yang menjamin anaknya cerdas secara akademis. Hal ini menjadi lumrah karena basis pendidikan nasional saat ini masih berfokus pada menghasilkan manusia yang cerdas dalam suatu bidang keilmuan. 

Namun, kenyataannya kecerdasan yang diperoleh di dunia pendidikan belum sepenuhnya diikuti dengan karakter yang dibutuhkan dalam membangun Indonesia. Berbagai kasus kenakalan remaja, tawuran pelajar, pergaulan bebas, penganiayaan terhadap guru, dan kasus sosial lainnya seringkali menghiasi media nasional beberapa waktu ini. Sebuah ancaman nyata bagi bonus demografi yang selama ini diharapkan mampu membuat Indonesia menjadi negara maju.

Lebih miris lagi, ternyata Human Development Index (HDI) Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan negara yang sistem pendidikannya lebih mengutamakan pendidikan karakter semisal Finlandia. 

Berdasarkan data UNDP, nilai HDI Indonesia pada tahun 2017 adalah 0,694 sedangkan HDI Finlandia pada tahun yang sama mencapai 0,920 dan merupakan peringkat ke 15 di dunia. Nilai HDI sebenarnya terdiri atas beberapa unsur, namun aspek pendidikan menjadi salah satu unsur utamanya.

Sistem pendidikan di Finlandia pada prinsipnya didesain dengan lebih banyak bermain, tidak ada ujian nasional serta mengembangkan kepribadian anak. Hasilnya sistem pendidikan Finlandia merupakan salah satu yang terbaik di dunia. 

Pendidikan karakter tersebut diimplementasikan langsung pada kehidupan nyata sehingga menghasilkan manusia yang mematuhi aturan atau norma yang berlaku. 

Bahkan, aktivitas yang mungkin tidak terlalu diperhatikan di Indonesia, misalnya membuang sampah pada tempatnya, menjadi suatu etika baku di Finlandia. Padahal sampah masih menjadi sebuah masalah besar di beberapa kota besar Indonesia namun harus diakui masyarakat Indonesia belum semuanya bersedia untuk berperilaku sesuai aturan.

Sistem pendidikan karakter ini sangat mungkin diadopsi di Indonesia yang merupakan bangsa religius dengan falsafah Pancasila dan didukung kearifan budaya lokal. Sejarah membuktikan bahwa ajaran Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, sebenarnya lebih menekankan pembentukan karakter positif masyarakat. 

Begitu pula organisasi pendidikan nasional, semisal Nahdatul Ulama ataupun Muhammadiyah sebelum bertransformasi menjadi ormas keagamaan, selalu berusaha menyelenggarakan pendidikan karakter bangsa Indonesia dengan berbasis ajaran agama. 

Kedua organisasi tersebut meyakini bahwa nilai-nilai agama akan menjadi fondasi kuat bagi Indonesia untuk mencapai kemerdekaan maupun kesuksesan pasca merdeka.

Beberapa sekolah di Indonesia saat ini mulai menerapkan pendidikan karakter. Namun, sekolah seperti ini rasanya akan selalu berbenturan dengan dua hal mendasar yakni persepsi orang tua tentang kecerdasan anak dilihat dari nilai mata pelajaran dan aturan desain kurikulum nasional. 

Pada akhirnya sekolah harus rela memodifikasi sistem pembelajarannya dan menyesuaikan dengan aturan yang ada walaupun berusaha tidak kehilangan nilai dasar dari sekolah tersebut.

Untuk penyelenggaraan sistem pendidikan yang membentuk karakter, maka dibutuhkan komitmen dari orang tua, sekolah, dan pemerintah. Orang tua sebagai pihak paling banyak berinteraksi dengan anak perlu mengubah mindset bahwa kecerdasan anak tidak selalu diukur dari nilai mata pelajaran (IQ), namun juga dapat dipandang dari sudut kecerdasan emosional (EQ) anak. 

Kedua kecerdasan tersebut harus berjalan bersamaan agar mampu membentuk manusia yang sempurna. Orang tua benar-benar perlu menjadi contoh bagi pembentukan karakter anak maupun memilih lingkungan sekolah dan pergaulan yang memberikan dampak positif bagi anak.

Selanjutnya, pihak sekolah perlu mendesain kurikulum sekolah yang mengadopsi beberapa kegiatan pengembangan karakter, baik itu sebagai kegiatan wajib maupun kegiatan tambahan. Kegiatan wajib tentunya berbasis pada kurikulum nasional yakni dengan pembelajaran agama dan pendidikan moral kewarganegaraan. 

Peluang terbesar tentu saja pada penyelenggaran kegiatan tambahan seperti pelatihan kepada siswa didik. Selain itu, sekolah perlu juga perlu rutin mengadakan pelatihan bagi tenaga pendidik. 

Bagaimanapun, para pendidik saat ini menghadapi generasi milenial yang sistem pembelajarannya tentu berbeda dengan siswa zaman dulu. Siswa saat ini perlu diberi materi yang update dengan cara penyampaian interaktif tanpa meninggalkan karakter hidup bangsa Indonesia. Peran pendidik inilah yang nantinya juga menjadi elemen penting pembentuk karakter generasi muda.

Pihak terakhir yang perlu berpartisipasi dalam pembangunan karakter adalah pemerintah. Sebenarnya wacana pendidikan yang berkarakter telah lama muncul di Indonesia, namun kenyataannya sampai saat ini belum pernah diterapkan. 

Untuk itu, pemerintah perlu benar-benar berkomitmen untuk berani merubah orientasi pendidikan Indonesia. Keberhasilan Finlandia dalam membangun sistem pendidikannya merupakan pembelajaran nyata bagi Indonesia untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional.

Pada akhirnya, proses pendidikan bukan hanya dilihat dari lamanya belajar namun kualitas dari pembelajaran. Selain itu, ouput dari kegiatan pendidkan bukan hanya diukur dari tingginya nilai yang diperoleh peserta didik namun juga cara bersikap dalam kehidupan. 

Semoga kualitas SDM Indonesia semakin membaik dengan adanya pendidikan nasional yang membentuk karakter peserta didik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun