Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hari Guru 2021, Momen Bangkit Pulihkan Pendidikan dari Dosa Pendidikan Nasional

28 November 2021   16:28 Diperbarui: 28 November 2021   16:29 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hari Guru 2021, Momen Bangkit Pulihkan Pendidikan. sumber: dokpri

Setuju atau tidak, konsep dan output ataupun goal dari tujuan pendidikan nasional sudah sangat berubah dari eranya Ki Hajar Dewantara dengan eranya sebelum Mas Nadiem Makarim jadi Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek).

Ki Hajar Dewantara kita kenal sebagai Bapak Pioner Pendidikan Nasional dengan kokohnya menancapkan dasar pendidikan nasional berlandaskan pada semboyan pendidikan di Taman Siswa. "Ing Ngarsa Sun Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani".

Bahkan, kalimat "Tut Wuri Handayani" sampai kini digunakan dalam logo Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Konsep pendidikan di Taman Siswa, jelas menamamkan rasa nasionalisme, rasa kebangsaan, cinta tanah air, bahkan hak untuk mendapatkan kesetaraan pendidikan, tidak membeda-bedakan satu sama lain berdasarkan kedudukan, pangkat, atau garis keturunan.

Ki Hajar Dewantara tau betul bahwa karena pendidikan rendah makanya kita gampang dijajah dan gampang merekrut penghianat bangsa dengan sistem mengadu domba.

Istilah pribumi dan bangsawan harus dihapuskan dari dunia pendidikan, untuk itu Ki Hajar Dewantara mengedepankan konsep kesetaraan dalam pendidikan. Sebisa mungkin menghapus perbedaan sosial.

Dan makin kesini, ke era kekinian konsep dan tujuan pendidikan di sekolah sudah sangat beragam dan sangat makin kompleks. Jika dulu untuk mengentaskan buta huruf dan fokus pada kemampuan membaca dan menulis saja, maka sekarang kita lihat sekolah-sekolah berlomba-lomba menjadi terbaik dengan segala fasilitasnya.

Dikotomi antara sekolah favorit dengan sekolah non favorit membuat sistem pendidikan kita seperti 'ladang bisnis' yang hanya menghasilkan sumber daya manusia kita kejar target dengan nilai tinggi dalam bidang akademisi dan non-akademik, dan abai akan pengembangan Soft Skill, Hard Skill, dan Life Skill dalam menghadapi era disrupsi teknologi atau era globalisasi, bahkan untuk hidup di era society 5.0.

Oklah, dikotomi favorit dan non favorit sudah bisa diatasi dengan perbelakuan sistem Zonasi saat PPDB alias Penerimaan Peserta Didik Baru dan juga pengejaran target nilai sudah dihapuskan seiring dengan digantinya UNBK alias Ujian Nasional Berbasis Komputer menjadi ANBK alias Asesmen Nasional Berbasis Komputer, dimana program ini lebih bermanfaat sebagai evaluasi yang diselenggarakan oleh Kemdikbudristek untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan memotret input, proses dan output pembelajaran di seluruh satuan pendidikan.

Namun, pelaksanaannya lagi-lagi tidak maksimal akibat hampir seluruh dunia tiba-tiba diserang pagebluk Covid-19 yang berkepanjangan dan merengut banyak korban jiwa, tak terkecuali di Indonesia.

Guru Turut Andil Bergerak Dengan Hati, Pulihkan Pendidikan

Akibat pagebluk ini, dunia pendidikan seakan-akan dituntut untuk merenung, bermeditasi sambil berkaca diri, apa yang salah dan bagaimana memperbaiki sistem dan kualitas pendidikan kita sebagai guru di era pandemi global Covid-19 ini?

Tak dapat dipungkiri Guru adalah ujung tombak pendidikan, tanpa guru maka kita tidak tau akan jadi apa negeri ini bukan?

Masih ingat apa yang dilakukan Kaisar Jepang usai Hirosima dan Nagasaki diluluhlantakkan bom atomnya Amerika dan Sekutunya bukan? Yap, tepat sekali. Kaisar Hirohito menumpukan harapan bangkitnya Jepang ditangan para guru yang tersisa dan tidak butuh waktu lama, hanya 20 tahun Jepang bangkit dan menjadi seperti sekarang ini.

Itulah pelajaran berharga bagaimana vitalnya peran Guru dalam membangun peradaban sebuah bangsa.

Di masa pandemi ini juga peran guru ternyata memang tak tergantikan oleh media apapun, secanggih apapun teknologi yang dipakai, tetap membutuhkan peran penting seorang guru.

Bagaimana tidak? Apalagi di abad 21 dimana pendidikan dasar dan menengah berorientasi pada pemgembangan 4C, Communication, Collaboration, Critikal Thinking, Problem Solving, dan Creativity and Innovation, sehingga memaksa peran guru semakin kompleks karena tidak hanya sekedar transfer of knowledge, tetapi juga transfer of values dan transfer of skills.

Di masa pandemi ini, guru tidak hanya bergerak dengan hati pulihkan diri, keluarga dan peserta didik lewat pendidikan yang humanis, edukatif dan bersinergi dengan teknologi dengan memanfaatkan berbagai metode dan model pembelajaran, namun lebih dari itu.

Adalah tugas Guru juga untuk membantu menghapus dosa dalam sistem pendidikan nasional.

Empat Dosa Pendidikan Perlu Diberangus 

Seperti saya kutip dari Kompas.com beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim pernah berujar bahwa pihaknya akan membasmi tiga dosa dalam sistem pendidikan nasional kita sekarang ini.

Apa itu tiga dosa pendidikan nasional kita? Menurut Mas Menteri, ketiganya adalah intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual.

"Jadi biar diperjelas saja posisinya Kemendikbudristek dan pemerintah pusat terhadap tiga dosa ini. Ini adalah tiga hal yang akan kita basmi dari sistem pendidikan kita," kata Nadiem seperti dikutip dari Antara, Kamis (23/9/2021).

Memang tidak dapat dipungkiri, sekarang ini selain penghapusan intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual yang terjadi di dunia pendidikan kita, masih ada satu dosa besar lagi yang sepertinya memang sudah mengakar dalam pendidikan kita, tidak lain dan tidak bukan adalah korupsi.

Ya. Selain intoleransi, perundungan dan kekerasan seksual, kasus korupsi sepertinya adalah hal yang mustahil di hapuskan dari dunia pendidikan kita. Maraknya pungli, adanya penggunaan dana BOS tak transparan hingga penggunaan dana komite abu-abu menjadi masalah serius yang harus dicari solusinya.

Lantas bagaimana peran guru dalam upaya memberantas empat dosa dalam dunia pendidikan kita ini? Jika Mas Menteri melakukan upaya ini lewat program Merdeka Belajar? Maka ujung tombak dari program ini adalah Guru.

Maka apa yang harus dilakukan guru untuk bisa membantu Kemendikbudristek menghapus dosa pendidikan kita?

Untuk menyikapi sikap intoleransi ini tentunya kita semua sebagai pendidik harus bisa mengembangkan sikap menerima seluruh perbedaan itu menjadi sesuatu hal mutlak yang memang harus ada di dunia ini.

Kita berbeda? Pasti, terutama dalam hal menerima perbedaan agama. Bibit-bibit intoleransi itu muncul dalam diri keluarga dan guru. Coba jika kita sejak dini mengajarkan menerima perbedaan agama, suku, golongan dan budaya, pastilah intoleransi itu akan bisa kita hapuskan bukan?

Perundungan dan kekerasan seksual? Ini terjadi kebanyakan dalam diri perempuan Indonesia, plus anak-anak yang dianggap lemah di sekolah.

Perundungan kerap terjadi ketika ada orang tertentu karena perbedaan ras, agama, jenis kelamin, orientasi seksual, penampilan, hingga kondisi fisik seseorang (the other), kerap dilakukan oleh orang atau sekelompok orang yang merasa superior di lingkungannya.

Apa peran guru mengatasi bulying atau perundungan itu? Guru harus peka terhadap situasi dan kondisi siswa. Guru harus bisa melihat dan mengenali gejala siswa mengalami perundungan dan siswa juga harus bisa menceritakan kejadian yang dia alami kepada guru.

Sementara kekerasan seksual sering dialami oleh perempuan dan Kemendikbudristek baru-baru ini mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi yang telah ditetapkan 31 Agustus 2021.

Lantas bagaimana menghapus korupsi dalam dunia pendidikan? Dalam sebuah webinar bersama Dr. Chatarina Muliana Girsang dengan tema "Internalisasi Pencegahan Korupsi di Lingkungan Kemendikbudristek", saya terkejut ketika ibu Chatarina selaku Inspektur Jenderal dan Plt. Staf Ahli Menteri Bidang Regulasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi membeberkan Data Korupsi di Indonesia Berdasarkan Sektor.

Dimana Pendidikan menempati first rangk dengan jumlah 18 dan nilai kerugian negara mencapai 38,3 miliar Rupiah.

Sungguh menyesakkan bukan? Siapakah penikmat korupsi dunia pendidikan?

Untuk mewujudkan program Merdeka Belajar, maka tidak salah jika guru-guru kembali menjadi sasaran dari pengharusutamakan Pendidikan Karakter.

Sehingga guru siap untuk mengajarkan Pendidikan Karakter di Era super smart society (society 5.0) sebagai antisipasi dari gejolak disrupsi akibat revolusi industri 4.0. Selamat Hari Guru...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun