Mohon tunggu...
Agustine Ranterapa
Agustine Ranterapa Mohon Tunggu... Guru

Aku seorang Guru SD. Tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku. Aku tidak pernah berjalan diatas air dan aku juga tidak mampu membela lautan. Tetapi yang aku tahu, aku adalah seorang pemimpin pembelajaran yang mencintai anak-anak didikku. Karena menurutku seni tertinggi seorang guru adalah bagaimana ia menciptkan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan". Alhamdulillaah ditakdirkan menjadi seorang guru.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Parenting || Mengurai Sensivitas: Membangun Ketahanan Emosional Anak

10 Oktober 2025   20:32 Diperbarui: 10 Oktober 2025   20:32 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara klinis, anak yang mudah tersinggung tidak secara otomatis mencerminkan sensitivitas emosional yang tinggi, melainkan mengindikasikan ketahanan psikologis yang belum matang. Ketahanan psikologis didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk mengelola tekanan, menghadapi konflik, serta mempertahankan keseimbangan emosi dalam lingkungan sosial yang kompleks. Anak dengan ketahanan rendah rentan terhadap reaksi emosional berlebihan, mudah merasa tersinggung oleh kritik ringan atau interaksi sosial yang menantang. Penelitian dari University of Michigan menunjukkan bahwa anak yang dibesarkan dalam lingkungan protektif berlebihan cenderung mengalami penurunan toleransi terhadap frustrasi saat dewasa. Mereka kurang terbiasa menghadapi kegagalan emosional ringan dan konflik, padahal ini adalah bagian penting dari proses pembelajaran sosial dan perkembangan psikologis. Proteksi yang berlebihan dimana orang tua memvalidasi setiap rasa tersinggung ironisnya melemahkan daya juang anak, memperkuat pola reaksi yang tidak proporsional, dan menghambat kemampuan mereka mengelola perbedaan pendapat secara sehat. Peran pola asuh orang tua sangat sentral dalam membentuk fondasi psikologis ini.

Untuk mengatasi kerentanan ini, peningkatan kemampuan regulasi emosi harus diajarkan sejak dini. Hal terpenting adalah melatih anak membedakan secara tegas antara kritik yang membangun dengan serangan pribadi yang merusak. Mengajarkan anak memahami bahwa kritik adalah evaluasi terhadap perilaku atau hasil, bukan penilaian terhadap identitas dirinya, merupakan fondasi penting dalam membangun pola pikir rasional. Sebagai contoh spesifik, mengganti persepsi "tulisanmu jelek" menjadi "hasil tulisanmu bisa diperbaiki" membantu anak memisahkan ego dari tindakan, sehingga mereka dapat menanggapi kritik secara konstruktif tanpa merasa direndahkan. Keluarga harus berfungsi sebagai ruang latihan logika emosional, di mana anak belajar memproses pesan tanpa bereaksi defensif. Pendekatan ini selaras dengan konsep kecerdasan emosional yang menekankan pada kesadaran dan manajemen emosi untuk menjembatani hubungan sosial secara efisien.

Aspek krusial lainnya adalah kesadaran diri dan metakognisi emosional. Anak perlu dilatih mengenali sumber emosi yang memicu reaksi, apakah berasal dari fakta nyata atau hanya tafsir pribadi yang berlebihan. Misalnya, ketika anak merasa tersinggung karena teman bercanda, mengajukan pertanyaan reflektif seperti "Apakah kamu marah karena kata-katanya atau karena kamu merasa diremehkan?" membantu anak melakukan metakognisi emosional. Dengan mengurai dan menamai emosi, anak membangun kapasitas untuk membaca situasi secara objektif dan mengurangi reaksi impulsif. Lebih lanjut, menanamkan pemahaman bahwa tidak semua orang harus setuju dengan pendapatnya membentuk rasa toleransi yang sangat berharga. Anak yang selalu mendapatkan semua keinginannya dan tidak pernah diuji dengan ketidaksepakatan akan sulit menerima perbedaan pendapat. Pengalaman sederhana seperti terkadang kalah memilih film keluarga menjadi pelajaran sosial penting agar anak belajar melepaskan ego dan menerima kenyataan bahwa dunia tidak berputar di sekelilingnya.

Membangun ketahanan mental juga memerlukan strategi pengasuhan proaktif. Mendorong anak untuk terbiasa dengan diskusi yang menantang pemikiran mereka adalah cara efektif. Melalui debat ringan tentang isu-isu sepele, anak belajar memahami argumen bukan sebagai ancaman melainkan sebagai proses logis pengasahan kecerdasan berpikir kritis. Dalam menanggapi emosi tersinggung, penting untuk menghindari validasi berlebihan yang mendorong anak melihat setiap perasaan sebagai kebenaran absolut. Memvalidasi emosi dengan empati harus dibarengi dengan pengajaran rasional yang menekankan bahwa perasaan valid tidak selalu beralasan atau proporsional. Selain itu, humor tidak bisa dipandang sebelah mata; ia adalah alat psikologis efektif untuk melonggarkan ketegangan dan menurunkan sikap defensif. Anak yang mampu menertawakan dirinya sendiri menunjukkan fleksibilitas mental dan rasa percaya diri yang tinggi. Yang terpenting, sikap orang tua merupakan cermin utama. Ketenangan dan pengendalian emosi orang tua saat menghadapi kritik menjadi model regulasi emosi yang sangat efektif.

Dalam perjalanan krusial membesarkan anak, perlu disadari bahwa ketangguhan emosional sejati tidak tercipta dalam ruang hampa, melainkan lahir dari serangkaian pelajaran-pelajaran kecil mendasar tentang memahami batas diri, menghadapi perbedaan pendapat, dan mengelola reaksi emosional secara proporsional. Orang tua dan pendidik hendaknya tidak gentar untuk membiarkan anak merasakan kerasnya realita kehidupan sesekali, termasuk kegagalan ringan dan ketidaksepakatan, karena justru melalui tantangan dan gesekan sosial itulah mereka akan menemukan dan mematangkan kekuatan psikologis yang sesungguhnya. Penting untuk selalu mengingatkan bahwa tujuan utama menjadi tidak mudah tersinggung bukanlah tentang menutup total diri atau menjadi "keras hati," tetapi tentang menjadi bijak dalam membaca dan merespon dunia suatu pendidikan hidup yang mengajarkan keseimbangan esensial antara empati dan rasionalitas. Posisikan diri sebagai pendamping yang sabar, konsisten, dan penuh kasih , membimbing anak melewati kompleksitas emosional yang wajar, karena dari fondasi pengasuhan yang suportif inilah tumbuhlah jiwa yang kuat dan matang secara mental dan sosial, siap menghadapi dunia dengan kebijaksanaan emosional.

Kelanjutan dari proses pengasuhan yang suportif ini adalah peran krusial orang tua sebagai penyedia 'dosis aman' frustrasi dan ketidaknyamanan, yang secara ilmiah dikenal sebagai stress inoculationmsebuah metode melatih sistem saraf anak untuk tidak panik di bawah tekanan kecil. Daripada buru-buru menyingkirkan semua hambatan (lawnmower parenting), kita harus mendorong anak untuk bernegosiasi dengan kekecewaan, misalnya saat tidak mendapatkan nilai terbaik atau saat mainannya rusak, sehingga mereka membangun toleransi terhadap ambiguitas dan ketidaksempurnaan. Dengan memvalidasi perasaan mereka ("Wajar kamu sedih/marah, Nak"), diikuti dengan pertanyaan reflektif ("Apa langkahmu selanjutnya?"), orang tua menggeser fokus dari trauma emosional sesaat menuju pembelajaran solusi dan resiliensi, mengajarkan bahwa respons emosional pertama mereka bukanlah respons final yang harus mendefinisikan diri mereka di tengah hiruk pikuk realitas sosial yang tak terhindarkan. Maka, sebagai penutup dan pegangan bagi kita semua, ingatlah selalu bahwa tujuan akhir dari proses membangun ketahanan emosional anak bukanlah menghasilkan robot yang tanpa perasaan, melainkan melahirkan pribadi yang bijaksana dalam merasakan. Dorong anak untuk berani mengakui kerapuhan mereka, sebab vulnerability yang dikelola dengan baik adalah sumber kekuatan, bukan kelemahan. Jadilah mentor emosional yang mengajarkan bahwa luka batin adalah bagian dari kurikulum kehidupan, dan bahwa resiliensi sejati ditemukan dalam kemampuan untuk bangkit kembali setelah jatuh, membawa serta pelajaran berharga. Mari kita bertekad untuk berhenti melindungi anak dari gesekan dunia, melainkan melengkapi mereka dengan keterampilan esensial untuk menavigasi kompleksitasnya. Dengan fondasi kasih sayang yang teguh dan bimbingan yang konsisten, kita sedang menanam benih-benih jiwa yang matang, siap menghadapi badai hidup dengan ketenangan dan keyakinan diri yang paripurna. 

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun