Mohon tunggu...
Agustine Ranterapa
Agustine Ranterapa Mohon Tunggu... Guru

Aku seorang Guru SD. Tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku. Aku tidak pernah berjalan diatas air dan aku juga tidak mampu membela lautan. Tetapi yang aku tahu, aku adalah seorang pemimpin pembelajaran yang mencintai anak-anak didikku. Karena menurutku seni tertinggi seorang guru adalah bagaimana ia menciptkan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan". Alhamdulillaah ditakdirkan menjadi seorang guru.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Diary || Gerimis Badai di Samudra Jiwa

10 Oktober 2025   11:37 Diperbarui: 10 Oktober 2025   11:37 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah renungan panjang untuk kalian keponakan-keponakanku yang kusayangi dengan setulus jiwa

Nak, duduklah sebentar di sampingku, di sini, dekat jendela ini. Dengarkan baik-baik gemericik gerimis yang memukul kaca, suara yang bagi sebagian orang terasa menenangkan, namun bagi dirimu, seringkali menjadi melodi kesedihan atau, yang lebih parah, semacam pengumuman takdir yang buruk. Ia hanya tetesan air, sebentuk pembasuhan yang lembut, namun mengapa ia sudah cukup untuk membuat pikiranmu enggan, seolah semua cahaya dalam dirimu redup seketika, seakan-akan seluruh energi dan potensi yang selama ini kau pupuk sirna begitu saja hanya karena sedikit perubahan cuaca. Padahal, jika kita telaah lebih jauh, gerimis ini adalah fenomena alam yang paling demokratis, ia menyentuh setiap permukaan tanpa pandang bulu, namun respons jiwa kitalah yang membedakan maknanya. Aku melihat sorot mata kelelahanmu, yang cepat sekali menyerah pada bayangan kesulitan, padahal kesulitan itu sendiri belum benar-benar menjelma menjadi kenyataan yang harus kau hadapi. Ini bukan tentang fisikmu yang lemah, Nak, tapi tentang pondasi mental dan spiritualmu yang belum kokoh menampung ketidakpastian. Keenggananmu ini adalah alarm, sebuah isyarat bahwa kau masih mencari kenyamanan permanen di dunia yang sejatinya fana dan selalu bergerak. Engkau perlu memahami bahwa setiap titik henti, setiap rasa enggan yang muncul, adalah kesempatan emas untuk bertanya pada diri sendiri: "Apa yang sebenarnya aku takuti?" Apakah kau takut gagal, atau justru takut pada tanggung jawab besar dari kesuksesan yang akan menantimu setelah kesulitan ini berlalu? Refleksikanlah, Nak, jangan biarkan mentalitas "korban" merenggut hakmu untuk menjadi "pemenang" atas takdirmu sendiri, meskipun tantangannya hanya sebatas rintik gerimis yang dingin).

Aku tahu, jiwa muda itu mudah sekali goyah, rentan terhadap keretakan dan patah arang. Seolah harapan adalah gelas rapuh yang jatuh pecah hanya karena tersentuh embun pagi yang dingin, padahal harapan sejati harusnya terbuat dari baja spiritual yang ditempa oleh keyakinan mendalam. Kau merasa lelah sebelum benar-benar memulai pertarungan, bahkan sebelum engkau menarik pedang perjuanganmu dari sarungnya, seolah-olah garis finish sudah terlalu jauh untuk dijangkau. Keinginanmu hilang seolah tak pernah ada, seperti bara yang mati tertiup angin sepoi-sepoi, padahal bara itu sesungguhnya adalah sumber panas dan energi yang bisa menggerakkan dunia di sekitarmu. Kehilangan keinginan adalah tragedi terbesar, Nak, sebab ia berarti kau telah mengizinkan potensi luar biasa dalam dirimu tertidur pulas dalam keputusasaan yang prematur. Engkau harus ingat bahwa setiap orang besar di dunia ini pernah menghadapi momen "gerimis" yang sama, momen ketika suara hati berbisik untuk menyerah. Bedanya, mereka memilih untuk mendengarkan bisikan lain: bisikan tentang tujuan, tentang amanah, dan tentang kekuatan yang tersimpan di sudut terdalam jiwa yang belum terjamah. Kehidupan ini adalah sebuah maraton, Nak, bukan lari sprint 100 meter, dan dalam maraton, ketahanan mental jauh lebih berharga daripada kecepatan awal. Gerimis hari ini bukanlah hukuman, melainkan blessing in disguise, sebuah "ujian pemanasan" yang didesain untuk menguji seberapa serius engkau dengan impian yang selalu kau sebutkan dalam doa-doamu. Jika pondasi kehendakmu sudah rapuh di fase gerimis, bagaimana engkau akan menemukan resilience saat badai kehidupan yang sesungguhnya menerjang dengan kekuatan penuh, menghantam segala yang kau anggap pasti dan aman?.

Justru di dalam jeda gerimis yang melanda ini, Nak, kita seharusnya menepi sejenak dan belajar. Belajar untuk menata napas, merapikan hati yang berserakan, dan yang terpenting, mengumpulkan kembali serpihan motivasi yang sempat tercecer. Sebab, jika hanya gerimis lembut ini saja sudah membuat langkahmu terhenti total, sudah cukup untuk membatalkan semua rencana besar yang kau susun dengan begitu rapi, lantas dengan kekuatan apa, dengan bekal keberanian dari mana, engkau akan mampu menghadapi badai kehidupan yang sesungguhnya? Ingatlah, badai itu tidak sekadar tetesan air yang jatuh, ia adalah realitas yang akan datang. Ia tak pernah meminta izin kepada agenda harianmu; ia datang membawa ombak setinggi gunung yang mengancam menenggelamkan bahteramu, angin yang menderu seolah ingin merobek setiap layar keyakinanmu, dan langit yang gelap gulita tanpa sedikit pun bintang penunjuk arah. Saat momen klimaks itu terjadi, Nak, kau tidak akan punya waktu, bahkan hanya sedetik pun, untuk duduk merenung dan mengeluh tentang betapa dinginnya gerimis di masa lalu. Kau hanya akan punya waktu untuk satu hal esensial: bertahan, menggunakan segala keterampilan, kearifan, dan keimanan yang telah kau kumpulkan. Maka, biarkan gerimis ini menjadi sahabat, menjadi gurumu yang paling sabar. Ia mengajarkanmu tentang ketahanan yang lembut, bahwa kekuatan tidak selalu harus berupa ledakan energi, tetapi bisa juga berupa keajegan dan ketekunan yang tak tergoyahkan. Ia mengingatkanmu bahwa setiap ketidaknyamanan, sekecil apa pun bentuknya, adalah latihan vital untuk mematangkan mental. Latihan untuk menemukan jangkar yang kokoh di dalam dirimu, jangkar yang tidak terbuat dari materi duniawi, melainkan dari ruh keikhlasan dan tawakal.

Jangkar itu, Nak, harus kau pahami, bukan terletak pada keadaan di luar dirimu bukan pada jaminan ekonomi yang stabil, bukan pada pujian orang lain, dan tentu saja, bukan pada cerahnya hari yang sementara. Melainkan, ia bersemayam teguh pada keyakinan yang kau tanam di dalam hati yang paling dalam: bahwa setelah kesulitan, pasti ada kemudahan; bahwa setelah hujan sekecil apa pun itu pelangi akan selalu merekah sebagai tanda perjanjian baru antara dirimu dan Sang Pencipta. Ini adalah hukum semesta yang tak pernah bisa kau bantah. Jangan pernah biarkan sedikitnya kesulitan, sedikitnya tekanan, sedikitnya ejekan, sedikitnya hambatan, merampas besarnya cita-cita dan takdir agung yang telah disiapkan untukmu. Setiap kali engkau merasa enggan dan nyaris lumpuh karena hanya tersentuh gerimis masalah, tarik napas dalam-dalam dan ingatlah wajah orang-orang yang kau cintai, ingatlah janji yang pernah kau ukir di malam-malam penuh doa, dan ingatlah bahwa badai yang akan datang menuntut persiapan yang jauh lebih besar. Badai menuntut jiwa yang lebih tangguh, pikiran yang lebih jernih, dan yang terpenting, harapan yang tak pernah padam sedikit pun. Harapanmu adalah kompas yang akan membimbingmu melewati kegelapan. Mulai hari ini, Nak, ketika gerimis itu turun dan mencoba memadamkan semangatmu, tersenyumlah. Anggaplah ia bukan sebagai penghalang, tetapi sebagai panggilan lembut dari semesta dan dari Tuhanmu: "Persiapkan dirimu, Nak. Kau jauh lebih kuat, lebih berharga, dan lebih berpotensi daripada yang kau sangka. Samudramu luas, takdirmu agung, jangan pernah karam hanya karena genangan air yang dangkal." Biarkan setiap tetes air menjadi penguat tekad, bukan pelemah semangat.

Nak, setelah kita bicara tentang gerimis dan badai, marilah kita tutup renungan ini dengan meletakkan semua upaya dan kepasrahan kita di tempat yang seharusnya, dalam naungan kearifan Ilahi. Semua keengganan dan keputusasaan yang kau rasakan saat 'gerimis' melanda adalah ujian terhadap keimananmu, terhadap seberapa besar engkau meyakini janji-janji Allah. Ingatlah firman-Nya dalam Al-Qur'an: "Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan." (QS. Al-Insyirah: 5-6) Ini adalah sebuah pengulangan yang menekankan, sebuah penegasan yang menjadi prinsip fundamental dalam hidup seorang Mukmin. Kesulitan ('Usr) tidak pernah datang sendirian; ia selalu didampingi, bahkan dibelakangnya, oleh kemudahan (Yusr). Jadi, ketika gerimis datang, dan badai mengancam, pandanglah itu sebagai kesempatan untuk mempraktikkan Tawakkal.

Tawakkal sejati bukanlah hanya diam dan menunggu mukjizat. Tawakkal adalah ketika engkau telah mengikat untamu (melakukan usaha maksimalmu) dan kemudian menyerahkan hasil akhirnya kepada Allah (pasrah). Jika engkau sudah berjuang menguatkan mental saat gerimis (usaha), maka serahkanlah kekhawatiranmu tentang badai (tawakkal). Jadikan setiap tetes gerimis sebagai pengingat akan kasih sayang-Nya. Jika Allah mengujimu dengan hal-hal kecil, itu bukan untuk menghancurkanmu, tetapi untuk mengajarimu keuletan, keterampilan berlayar yang kelak akan kau butuhkan saat samudra kehidupan benar-benar bergolak. Jangan pernah merasa sendiri atau tanpa harapan. Kau memiliki Asmaul Husna sebagai pelindung dan pemandu. Ketika pikiranmu enggan, panggillah Al-Hayyu (Yang Maha Hidup) untuk menghidupkan kembali semangatmu. Ketika harapanmu hilang, panggillah Al-Wadud (Yang Maha Mengasihi) untuk merasakan kehangatan cinta-Nya. Bangkitlah, Nak. Bersihkan sisa-sisa engganmu. Hadapi gerimis dengan senyum, karena engkau tahu badai yang lebih besar sedang menanti, dan Allah telah membekalimu dengan keimanan yang jauh lebih kuat dari ombak mana pun. Keberanianmu hari ini adalah investasi abadi untuk ketenanganmu di hari esok. Jadikan dirimu pelaut tangguh, bukan penumpang yang mudah mabuk laut...

Untuk keponakan-keponakanku tercinta, Allaahumma baarikh [Fitriani Yusuf Ranterapa, Adam Fortuna Yusuf Ranterapa, Dian Bukra Sahara, Sulthan Sangga Langi', Malika Belorundun, Iffah Ramadhani, Wastry Pageno, Welvi Pageno, Nurdiana Tandi Pare, Irham Tandi Pare], yang kukasihi dengan sepenuh jiwa. Tulisan ini, yang berbicara tentang hati, sentuhan, dan kehadiran, sejatinya adalah surat yang kutulis dari lubuk hati yang paling dalam. Sejak kalian hadir, kalian telah menjadi matahari yang tak hanya menerangi hidup kami, tetapi juga mengajarkan arti cinta yang paling murni dan tak bersyarat. Setiap helai kalimat dan setiap pilar pengasuhan di sini adalah refleksi dari harapan-harapan kami yang terangkai indah untuk masa depan kalian. Saya berharap, melalui setiap pelukan, setiap kata maaf, dan setiap momen yang kita bagi, kalian akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas dan sukses, tetapi juga tangguh, berhati lembut, dan tahu betul betapa berharganya diri kalian.

Keponakan-keponakanku tersayang, sebelum menutup lembaran refleksi ini, izinkanlah saya mengucapkan terima kasih yang paling tulus karena kalian sudah menjadi anak-anak yang begitu baik, yang begitu sabar, dan yang senantiasa membawa kebahagiaan ke dalam keluarga kita. Kalian adalah anugerah terindah, dan keberadaan kalian adalah sumber kekuatan yang tak terhingga. Namun, sebagai orang tua meski peran kami terbatas sebagai wali, pendamping, atau guru hanyalah manusia biasa. Kami sadar, dalam proses mendidik dan membimbing kalian, mungkin ada kata-kata yang salah terucap, janji yang luput terpenuhi, atau kekakuan yang lahir dari keterbatasan ilmu dan kelemahan kami sebagai manusia. Maka, dengan segala kerendahan kami memohon maaf yang sebesar-besarnya. Maafkan segala kekurangan dan keterbatasan kami. Teruslah terbang tinggi, Nak. Bawalah harapan-harapan indah yang kalian genggam ke langit yang tak pernah selesai dilukis oleh doa. Ingatlah selalu, bahwa apa pun yang terjadi, di mana pun kalian berada, kalian selalu dikasihi dan didoakan dengan sepenuh jiwa. Kalian adalah cinta kami.

Dengan Kasih Sayang,

Bibi Edelweys Flower yang kalian sapa Mama Agung

Pelalan 10 Oktober 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun