Analisis institusional menunjukkan beberapa kelemahan utama yaitu 1). Desain Pengadaan yang Kompleks (Model tender yang membuka ruang bagi banyak subkontrak tanpa menjamin kapasitas mutu di tingkat bawah). 2). Insentif yang Salah (Kontraktor mendapatkan keuntungan proporsional dengan volume; tidak ada insentif kuat untuk kualitas/quality-linked incentives). 3). Kapasitas Dinas Daerah Terbatas (Banyak dinas pendidikan/dinas kesehatan kabupaten/kota belum memiliki kapasitas teknis untuk melakukan audit higienis rutin pada ratusan dapur). 4). Transparansi Minim (Data penggunaan anggaran per porsi dan daftar pemasok tidak selalu dipublikasikan secara real time sehingga pengawasan masyarakat sulit berjalan). 5). Politik Target (Tekanan politik untuk menampilkan angka cakupan besar bisa mendorong pemaksaan pelaksanaan tanpa kesiapan logistik). Kombinasi ini menciptakan kondisi di mana kualitas dapat dengan mudah dikorbankan untuk memenuhi target kuantitatif. Mengatasi akar kelembagaan memerlukan reformasi pengadaan, mekanisme audit independen, pelatihan kapasitas daerah, dan platform transparansi real-time.
Dari pengalaman implementasi program makanan sekolah di berbagai negara, ada dua model yang sering dibandingkan: (A) model sentralisasi lewat kontraktor besar; (B) model desentralisasi berbasis sekolah/orang tua/ koperasi lokal dengan pengawasan ketat. Keduanya punya kelebihan dan kekurangan. Model Sentralisasi (kontraktor besar): Mudah untuk standarisasi menu dan logistik; efektif untuk cakupan cepat; namun risiko korporatisasi, penurunan kualitas bahan, dan keterputusan dengan supplier lokal tinggi. Model Desentralisasi (sekolah + orang tua + koperasi): Lebih pro-lokal, memberdayakan petani, lebih mudah mengontrol mutu via komunitas; namun butuh kapasitas manajemen yang disiapkan, dukungan modal awal, dan mekanisme audit.
Bukti praktik di lapangan menunjukkan model yang melibatkan komunitas (orang tua + komite sekolah + koperasi lokal) sering lebih berhasil menjaga mutu makanan dan kebersihan, asalkan ada supervisi kesehatan dari dinas dan dukungan teknis yang memadai. Oleh sebab itu, rekomendasi kuat adalah mengembalikan sebagian pengelolaan MBG ke basis sekolah/komunitas, tetapi dengan tiga prasyarat: (1) ringkas standardisasi menu bergizi; (2) dana disalurkan transparan melalui transfer khusus yang dipantau; (3) audit kebersihan rutin dilaksanakan oleh tim gabungan (kesehatan, pendidikan, perwakilan orang tua). Model hybrid ini meminimalkan rantai pasok yang merugikan kualitas dan meningkatkan keterlibatan lokal. (law.stanford.edu).
Untuk mengatasi risiko penurunan mutu dan potensi penyalahgunaan dalam penyediaan makanan, kita perlu menerapkan serangkaian langkah operasional yang pragmatis dan dapat segera ditempuh. Langkah-langkah ini fokus pada penajaman prosedur, akuntabilitas kontraktual, partisipasi publik, dan pemberdayaan komunitas, tanpa menuntut revolusi administratif yang masif. Pertama, penetapan Standar Gizi Minimal yang Mengikat adalah kunci. Kementerian harus menyusun SOP gizi per porsi (mencakup energi, protein, dan vitamin) yang memiliki kekuatan hukum (legal-binding) bagi seluruh vendor. Kedua, kita perlu menerapkan Kontrak yang Terkait Mutu (Quality-linked Contracts). Pembayaran kepada vendor tidak boleh hanya berdasarkan volume, melainkan harus dikaitkan secara langsung pada indikator mutu, seperti hasil audit, tingkat kepuasan siswa/orang tua, dan hasil sampling laboratorium. Selanjutnya, transparansi melalui Publikasi Data Real-time akan menjadi alat pengawasan yang kuat. Harus dibangun platform digital yang memuat secara terbuka data pengadaan, daftar pemasok, biaya riil per porsi, dan hasil audit kebersihan. Akses publik ini secara otomatis akan mempermudah pengawasan oleh masyarakat. Keempat, Penguatan Dapur Sekolah atau Koperasi Sekolah perlu didukung dengan mengalokasikan anggaran khusus. Dana ini digunakan untuk meningkatkan fasilitas dapur, melatih petugas dapur, dan membangun sistem cold chain sederhana untuk menjaga kesegaran bahan baku.
Akuntabilitas eksternal diperkuat melalui Audit Independen Berkala. Penting untuk melibatkan pihak ketiga seperti perguruan tinggi atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) gizi untuk melakukan audit independen mutu makanan setiap kuartal. Selain itu, Pelibatan Komite Sekolah dan Orang Tua harus diperkuat. Hak kontrol orang tua wajib ditingkatkan; mereka harus menerima laporan bulanan yang transparan dan diberi peran aktif dalam pengawasan. Terakhir, harus ada Sistem Respons Cepat Insiden yang efektif. Perlu dibuat protokol yang jelas untuk penanganan segera terhadap insiden keracunan atau keluhan mutu, disertai dengan transparansi penuh mengenai penyebab dan langkah perbaikan yang diambil. Pendekatan ini menggabungkan kekuatan teknologi (publikasi data), akuntabilitas yang melekat pada kontrak, dan pemberdayaan komunitas dipandang sebagai model yang memiliki peluang efektivitas paling besar untuk menjamin kualitas dan integritas program.
Gagal menjaga kualitas MBG dalam jangka panjang berpotensi menimbulkan beberapa risiko serius: (1) kegagalan uji intervensi gizi yang menghambat penurunan stunting; (2) menurunnya kepercayaan publik terhadap program bantuan, membuat intervensi lain sulit diterima; (3) trauma psikologis bagi anak & orang tua ketika insiden kesehatan terjadi; (4) beban tambahan pada sistem layanan kesehatan akibat malnutrisi atau penyakit akibat makanan. Dari sisi moral, mengorbankan mutu demi cakupan adalah dilema etis: apakah anak sebagai subjek hak mendapat prioritas, ataukah program jadi alat statistik politik? Jawabannya harus tegas: anak adalah prioritas, bukan statistik. (docu.bkkbndiy.id).
Pembuat kebijakan, dinas daerah, dan seluruh pemangku kepentingan perlu mempertimbangkan tujuh rekomendasi strategis berikut untuk menjamin kualitas program pangan yang lebih baik dan berkelanjutan. Pertama, disarankan untuk mengadopsi Model Pengelolaan Hybrid. Pendekatan ini mengakui perbedaan kapasitas logistik antar daerah: sebagian besar sekolah, terutama di daerah dengan keterbatasan infrastruktur, sebaiknya dikelola oleh sekolah/komite/koperasi lokal dengan alokasi dana yang terikat. Sementara itu, di kawasan padat atau perkotaan, pengadaan dapat melibatkan vendor skala menengah yang terikat pada kontrak berdasarkan mutu (quality-linked contracts). Kedua, adalah wajib untuk menegakkan Standardisasi Menu dan Label Gizi. Walaupun menu harus tetap fleksibel agar dapat beradaptasi dengan kearifan dan bahan baku lokal, menu wajib nasional harus memenuhi standar minimal energi, protein, dan vitamin per porsi yang mengikat. Hal ini diikuti dengan komitmen pada Sistem Tender yang Transparan dan Audit Publik, di mana semua dokumen kontrak, proses tender, dan laporan hasil audit wajib dipublikasikan secara terbuka di portal pemerintahan, menjamin akuntabilitas.
Untuk memberdayakan akar rumput, diperlukan Dana Investasi Fasilitas Dapur Sekolah. Pemerintah harus menyediakan hibah modal yang terpisah agar koperasi atau dapur sekolah memiliki fasilitas yang memadai dan higienis. Ini harus berjalan beriringan dengan Pelatihan Hygiene dan Manajemen Pangan untuk Petugas Dapur, termasuk penetapan standar dan sertifikasi wajib bagi semua staf yang bertugas di dapur sekolah. Aspek ketahanan pangan dan ekonomi lokal diatasi melalui Kemitraan dengan Petani Lokal. Kebijakan pengadaan harus memprioritaskan pembelian bahan baku segar langsung dari petani lokal di sekitar sekolah, sehingga mendukung kualitas pangan sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi di daerah tersebut. Terakhir, akuntabilitas mutu harus didukung oleh Mekanisme Pelaporan Insiden yang Mudah Dipercaya, seperti penyediaan hotline dan protokol respons cepat untuk menangani setiap kasus keluhan atau dugaan keracunan. Seluruh upaya ini kemudian harus diawasi oleh Monitoring Independen oleh Akademisi dan LSM Gizi, yang bertugas melakukan evaluasi kuartalan dan mempublikasikan temuan mereka tanpa intervensi.
MBG adalah gagasan baik yang pada esensinya memanifestasikan perhatian negara terhadap masa depan generasi: memberi gizi hari ini, menyiapkan kecerdasan esok hari. Namun, ide baik memerlukan tata kelola yang arif. Ketika program besar dilandasi logika proyek dan keuntungan, anak anaklah yang membayar mahal: bukan hanya kehilangan gizi, tapi juga kepercayaan pada negara yang seharusnya melindungi mereka. Secara moral-agama, anak adalah amanah  bukan objek proyek. Dalam perspektif Islam, menjaga hak anak termasuk memberikan makanan yang halal, baik, dan sehat, serta perlindungan dari bahaya. Dalam perspektif sekuler humanis, anak adalah subjek hak ekonomi dan kesehatan. Kedua perspektif menuntut yang sama: integritas pengelolaan program harus diutamakan di atas kepentingan politik atau bisnis. Kembali pada solusi: mengembalikan pengelolaan MBG ke ranah lokal (sekolah, komite, koperasi petani), memperkuat pengawasan, dan memakai kontrak yang menghargai kualitas adalah langkah yang realistis, efektif, dan etis. Dengan desain seperti itu, MBG bisa menjadi jembatan antara hak sipil (hak atas gizi) dengan kebijakan pro-pembangunan yang berbasis komunitas. "Anak-anak harus diberi makan bukan sekadar untuk mengenyangkan, tetapi untuk menguatkan tubuh dan akal mereka agar mampu berpikir, berdoa, dan berbuat baik." Mari kita jaga amanah ini bersama bukan sebagai proyek besar yang menguntungkan segelintir, tetapi sebagai tugas kolektif yang menjaga martabat generasi penerus bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI