Mohon tunggu...
Agustine Ranterapa
Agustine Ranterapa Mohon Tunggu... Guru

Aku seorang Guru SD. Tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku. Aku tidak pernah berjalan diatas air dan aku juga tidak mampu membela lautan. Tetapi yang aku tahu, aku adalah seorang pemimpin pembelajaran yang mencintai anak-anak didikku. Karena menurutku seni tertinggi seorang guru adalah bagaimana ia menciptkan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan". Alhamdulillaah ditakdirkan menjadi seorang guru.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Parenting: Kasih-Sayang atau Jerat Halus?

3 Oktober 2025   15:08 Diperbarui: 3 Oktober 2025   15:58 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Lantern of Heart

Menyoal Bahaya Perlindungan Berlebihan dalam Pengasuhan Anak

Di jantung masyarakat urban modern, naluri orang tua untuk melindungi keturunan mereka telah mengalami hipertrofin "pembesaran di luar batas normal". 

Secara biologis dan evolusioner, dorongan untuk memastikan anak aman, bahagia, dan bebas dari segala kesulitan adalah mekanisme pertahanan primal yang wajar. 

Bagi banyak orang tua saat ini, penderitaan anak, sekecil apa pun, diinterpretasikan sebagai kegagalan pengasuhan; rasa kecewa, kegagalan, atau bahkan ketidaknyamanan minor pada anak adalah indikator bahwa mereka belum cukup berusaha. 

Namun, di balik niat mulia ini, kita menyaksikan munculnya sebuah dilema psikologis yang serius: fenomena overprotection atau helicopter parenting. 

Perlindungan yang konstan dan intervensi yang berlebihan dalam setiap aspek kehidupan anak, mulai dari menyelesaikan pekerjaan rumah, menengahi setiap konflik pertemanan, hingga memilih jalur karier, sejatinya menutup akses anak pada mekanisme belajar yang krusial. 

Niat orang tua adalah cinta, tetapi praktik overprotection sering kali merupakan manifestasi dari kecemasan orang tua itu sendiri yang diproyeksikan kepada anak. 

Alih-alih membesarkan anak yang kuat dan resilien untuk menghadapi ketidakpastian dunia, kita berisiko menciptakan generasi yang tampak aman di bawah naungan kita, tetapi secara fundamental rapuh saat disajikan dengan realitas hidup yang tak terhindarkan. 

Tugas pengasuhan sejati bukanlah menghilangkan kesulitan, melainkan memberikan alat dan ruang yang aman untuk berlatih gagal, sebuah kegagalan yang diawasi, di mana anak belajar bangkit dan menjadi arsitek sejati dari takdirnya sendiri. 

Psikologi perkembangan menegaskan bahwa anak bukan hanya butuh rasa aman, tetapi juga pengalaman menghadapi tantangan. Erik Erikson dalam teori perkembangan psikososial menjelaskan bahwa setiap fase hidup manusia diwarnai oleh "krisis" yang harus dihadapi, misalnya tahap kemandirian (autonomy vs. shame and doubt) atau tahap inisiatif (initiative vs. guilt). 

Jika anak selalu dilindungi dari krisis itu, ia kehilangan kesempatan membangun identitas dan kemandiriannya. Fenomena "bubble parenting" atau "helicopter parenting" menjadi nyata dalam budaya urban dimana orang tua mengatur semua aspek kehidupan anak, dari pilihan mainan, teman, bahkan kegagalan yang seharusnya dialami. Akibatnya, anak tumbuh dalam ilusi kenyamanan. 

Dunia luar yan-menerus ini benar-benar bentuk kasih sayang yang efektif, atau justru merupakan jebakan halus yang menjamin kerapuhan di masa depan? Psikologi perkembangan juga menunjukkan bahwa kegagalan untuk menghadapi kesulitan di masa kecil dapat menghasilkan kerapuhan psikologis (psychological fragility) di masa dewasa. 

Anak-anak yang terlalu terlindungi sering kali memasuki masa remaja dan dewasa muda dengan: 1). Tingkat kecemasan (Anxiety) yang lebih tinggi dimana mereka tidak memiliki pengalaman empiris bahwa mereka mampu mengatasi kesulitan, sehingga dunia terasa lebih mengancam dan tidak terduga. 2). Ketidakmampuan beradaptasi (Maladaptive Coping) bahwa mereka cenderung menghindari konflik atau menyerah dengan cepat saat dihadapkan pada tantangan akademis, karier, atau hubungan yang kompleks. 3). Ketergantungan berlebihan dimana mereka mungkin terus memerlukan validasi dan panduan orang tua untuk mengambil keputusan mendasar, menunda proses individuasi dan otonomi.

Perlindungan orang tua yang berlebihan, yang sering disalahartikan sebagai kasih sayang tertinggi, sejatinya merupakan penghambat sistemik terhadap pembentukan kemandirian dan resiliensi psikologis anak. 

Naluri untuk menjamin kenyamanan anak secara terus-menerus adalah paradoks modern yang berbahaya. Kemandirian (autonomi) tidak pernah lahir dari lingkungan yang steril dari kesulitan, melainkan diolah dari pengalaman otentik mengelola ketidakpastian dan kegagalan. 

Anak yang setiap tantangannya dihalangi, setiap keputusannya diintervensi, dan setiap masalahnya diselesaikan oleh orang tua secara kritis menyebabkan anak  kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi diri (self-efficacy). Tanpa praktik yang memadai, kepercayaan bahwa diri mampu mengatasi rintangan tidak akan terbentuk. 

Secara ilmiah, hal ini mengarah pada konsep learned helplessness (ketidakberdayaan yang dipelajari). Individu yang terbiasa tidak mengambil kendali atas hidupnya akan menginternalisasi keyakinan bahwa tindakannya tidak relevan atau tidak efektif. 

Akibatnya, mereka akan merasa tidak mampu menghadapi situasi baru, bahkan ketika mereka memiliki sumber daya dan kesempatan untuk berhasil. 

Perlindungan yang awalnya dimaksudkan sebagai perisai cinta, bermutasi menjadi belenggu yang menghambat proses individuasi. Pada akhirnya, pola pengasuhan ini menciptakan generasi yang secara superfisial "aman" di bawah naungan orang tua, tetapi secara fundamental rapuh dan tidak siap menghadapi kompleksitas dunia nyata, tuntutan karier, dan dinamika hubungan interpersonal yang menuntut ketahanan emosi serta kemampuan pengambilan keputusan yang matang. 

Pemberian kasih sayang yang sejati seharusnya berfokus pada membentuk kemampuan anak untuk beradaptasi, bukan hanya memastikan kondisi mereka saat ini bebas dari masalah. Kita harus memilih antara membesarkan individu yang terlindungi sementara, atau individu yang tahan banting selamanya.

Tidak ada satupun manusia yang luput dari kegagalan. Justru kegagalan adalah "guru terbaik" yang membentuk ketangguhan. Anak yang kalah lomba, gagal ujian, atau ditolak bermain teman sedang menempuh latihan penting. 

ari situ ia belajar bahwa hidup tidak selalu sesuai rencana, dan bahwa kegagalan bukan akhir segalanya. Jika orang tua buru-buru menghapus pengalaman gagal itu---misalnya dengan selalu membela anak atau memberi "hadiah hiburan" pesan pentingnya hilang bahwa bangkit setelah jatuh adalah keterampilan hidup. 

Penelitian tentang resilience menegaskan, anak yang terbiasa menghadapi kegagalan kecil cenderung lebih tahan menghadapi masalah besar di masa dewasa. Dengan kata lain, membiarkan anak kecewa bukan bentuk pengabaian, melainkan persiapan agar ia mampu menghadapi badai kehidupan yang lebih besar.

Dalam kehidupan nyata, kritik dan penolakan tidak terelakkan. Dunia kerja, relasi sosial, bahkan rumah tangga akan penuh dengan umpan balik yang tidak selalu menyenangkan. 

Jika anak selalu dipuji tanpa diberi koreksi, atau selalu dibela meski salah, ia akan mengembangkan harga diri rapuh (fragile self-esteem). Konsep growth mindset (Carol Dweck) relevan di sini. Anak yang terbiasa diberi ruang untuk menerima kritik akan melihat kesalahan sebagai peluang belajar, bukan ancaman. Sebaliknya, anak yang "disterilkan" dari kritik akan kaget dan defensif ketika dunia tidak memberinya perlakuan istimewa. 

Di sinilah kita melihat betapa berbahayanya pola asuh yang terlalu protektif sehingga ia menciptakan generasi yang rapuh, bukan generasi yang siap bersaing secara sehat. Seperti otot yang hanya bisa kuat jika dilatih dengan beban, demikian pula mental anak. 

Tantangan adalah beban yang perlu dilalui untuk membentuk kekuatan psikologis. Anak yang tidak pernah berhadapan dengan kesulitan akan mudah cemas, panik, atau putus asa ketika situasi sulit datang. 

Meichenbaum menyebut proses ini sebagai stress inoculation: paparan stres dalam dosis kecil justru menjadi "vaksin" yang mempersiapkan individu menghadapi tekanan besar. Dengan kata lain, membiarkan anak menghadapi kesulitan bukanlah bentuk ketidakpedulian, melainkan kasih sayang yang lebih dewasa.

Kasih sayang sejati bukanlah tindakan menjauhkan anak dari semua bahaya, melainkan membekali mereka dengan keterampilan untuk menghadapinya. Peran orang tua yang berlebihan sebagai "pengendali total" justru merampas hak anak untuk eksplorasi, mencoba, dan berani salah. Kesalahan adalah laboratorium terbaik bagi kemandirian dan resiliensi. 

Dalam konteks pendidikan karakter, kita harus fokus pada pembentukan tanggung jawab dan keberanian, bukan kepatuhan yang rapuh. Anak yang dibungkus oleh perlindungan berlebihan akan tumbuh menjadi pribadi yang cemas dan tidak berdaya (learned helplessness).

 Sebaliknya, anak yang dibekali dengan alat adaptasi, alih-alih dilindungi dari realitas, akan menjadi individu tangguh yang siap menghadapi kompleksitas dunia global. Kita harus menjadi fasilitator pertumbuhan, bukan penghalang otonomi.

Pengasuhan modern harus bergeser dari penciptaan zona nyaman permanen menuju pemberian ruang eksplorasi dan pengalaman belajar nyata. Bukan tugas orang tua menjadi pemadam kebakaran yang menghilangkan setiap kesulitan, melainkan menjadi fasilitator yang memberi anak kesempatan mencoba dan gagal, agar mereka menginternalisasi keberanian untuk bangkit. 

Secara kritis, pendidikan karakter di sekolah sering berhenti sebagai slogan normatif. Sekolah harus berkolaborasi erat dengan keluarga untuk menjadikan daya tahan (resiliensi) sebagai pengalaman praktis, bukan sekadar nilai hafalan. Tantangan terbesar terletak pada paradigma masyarakat. 

Selama ini, masyarakat kita cenderung mengagungkan capaian akademis yang mulus tanpa cela, secara implisit menolak proses jatuh bangun. Budaya yang menuntut kesempurnaan tanpa memberi ruang pada kesalahan adalah resep instan untuk melahirkan generasi pencemas dan rapuh. 

Perubahan harus dimulai dari akar yang berarti bahwa kita perlu menghargai kegigihan, ketekunan, dan keberanian menghadapi tantangan melebihi hasil instan. Hanya dengan menghargai proses yang penuh perjuangan, masyarakat dapat membentuk generasi mendatang yang benar-benar resilien dan siap menghadapi kompleksitas dunia, bukan sekadar generasi yang terdidik di atas kertas.

Pada akhirnya, kita harus kembali pada kesadaran mendasar bahwa anak adalah amanah substantif dari Tuhan, dititipkan bukan sekadar untuk diamankan dari luka, melainkan untuk dipersiapkan secara komprehensif menghadapi kompleksitas kehidupan. 

Persiapan ini harus mencakup dimensi iman, ilmu, dan keteguhan mental. Strategi pengasuhan yang berfokus pada perlindungan total dari segala kesulitan terbukti kontraproduktif dan bukanlah jalan terbaik. 

Yang lebih utama adalah mendidik anak agar siap mengelola tantangan apa pun dengan kesabaran dan tawakal (penyerahan diri yang aktif). Ayat Al-Qur'an (QS. An-Nis': 9) secara eksplisit mengingatkan orang tua untuk takut meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka. Ayat ini menegaskan bahwa tugas utama kita bukan hanya memastikan anak "selamat" secara fisik di masa kecil, tetapi mencegah mereka menjadi generasi yang tidak berdaya saat dewasa. 

Memberi ruang yang terukur bagi anak untuk mengambil risiko, gagal, dan kemudian belajar untuk bangkit adalah proses esensial dalam pendidikan karakter yang membentuk daya tahan psikologis. 

Maka, sebagai orang tua, kita wajib melakukan redefinisi ulang terhadap makna kasih sayang. Jangan sampai cinta kita menjadi penghalang otonomi yang mengurung anak dalam kenyamanan semu. 

Sebaliknya, cinta harus berfungsi sebagai panduan etis dan rasional yang memfasilitasi mereka menghadapi realitas dunia. 

Ajarkan mereka menghadapi konsekuensi dari pilihan mereka, dan tunjukkan pentingnya bersandar pada prinsip iman dalam menghadapi kesulitan sebab daya tahan mental sejati (resiliensi) berakar dari keyakinan yang kokoh. 

Melalui pendekatan ini, kita tidak hanya membesarkan anak yang cerdas secara kognitif, tetapi juga individu yang tangguh secara spiritual dan emosional, yang siap menapaki jalan kehidupan dengan pemahaman bahwa "sesungguhnya bersama kesulitan selalu ada kemudahan" (QS. Al-Insyirah: 6). Inilah investasi jangka panjang terbaik untuk masa depan mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun