Secara kritis, pendidikan karakter di sekolah sering berhenti sebagai slogan normatif. Sekolah harus berkolaborasi erat dengan keluarga untuk menjadikan daya tahan (resiliensi) sebagai pengalaman praktis, bukan sekadar nilai hafalan. Tantangan terbesar terletak pada paradigma masyarakat.Â
Selama ini, masyarakat kita cenderung mengagungkan capaian akademis yang mulus tanpa cela, secara implisit menolak proses jatuh bangun. Budaya yang menuntut kesempurnaan tanpa memberi ruang pada kesalahan adalah resep instan untuk melahirkan generasi pencemas dan rapuh.Â
Perubahan harus dimulai dari akar yang berarti bahwa kita perlu menghargai kegigihan, ketekunan, dan keberanian menghadapi tantangan melebihi hasil instan. Hanya dengan menghargai proses yang penuh perjuangan, masyarakat dapat membentuk generasi mendatang yang benar-benar resilien dan siap menghadapi kompleksitas dunia, bukan sekadar generasi yang terdidik di atas kertas.
Pada akhirnya, kita harus kembali pada kesadaran mendasar bahwa anak adalah amanah substantif dari Tuhan, dititipkan bukan sekadar untuk diamankan dari luka, melainkan untuk dipersiapkan secara komprehensif menghadapi kompleksitas kehidupan.Â
Persiapan ini harus mencakup dimensi iman, ilmu, dan keteguhan mental. Strategi pengasuhan yang berfokus pada perlindungan total dari segala kesulitan terbukti kontraproduktif dan bukanlah jalan terbaik.Â
Yang lebih utama adalah mendidik anak agar siap mengelola tantangan apa pun dengan kesabaran dan tawakal (penyerahan diri yang aktif). Ayat Al-Qur'an (QS. An-Nis': 9) secara eksplisit mengingatkan orang tua untuk takut meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka. Ayat ini menegaskan bahwa tugas utama kita bukan hanya memastikan anak "selamat" secara fisik di masa kecil, tetapi mencegah mereka menjadi generasi yang tidak berdaya saat dewasa.Â
Memberi ruang yang terukur bagi anak untuk mengambil risiko, gagal, dan kemudian belajar untuk bangkit adalah proses esensial dalam pendidikan karakter yang membentuk daya tahan psikologis.Â
Maka, sebagai orang tua, kita wajib melakukan redefinisi ulang terhadap makna kasih sayang. Jangan sampai cinta kita menjadi penghalang otonomi yang mengurung anak dalam kenyamanan semu.Â
Sebaliknya, cinta harus berfungsi sebagai panduan etis dan rasional yang memfasilitasi mereka menghadapi realitas dunia.Â
Ajarkan mereka menghadapi konsekuensi dari pilihan mereka, dan tunjukkan pentingnya bersandar pada prinsip iman dalam menghadapi kesulitan sebab daya tahan mental sejati (resiliensi) berakar dari keyakinan yang kokoh.Â
Melalui pendekatan ini, kita tidak hanya membesarkan anak yang cerdas secara kognitif, tetapi juga individu yang tangguh secara spiritual dan emosional, yang siap menapaki jalan kehidupan dengan pemahaman bahwa "sesungguhnya bersama kesulitan selalu ada kemudahan" (QS. Al-Insyirah: 6). Inilah investasi jangka panjang terbaik untuk masa depan mereka.