ari situ ia belajar bahwa hidup tidak selalu sesuai rencana, dan bahwa kegagalan bukan akhir segalanya. Jika orang tua buru-buru menghapus pengalaman gagal itu---misalnya dengan selalu membela anak atau memberi "hadiah hiburan" pesan pentingnya hilang bahwa bangkit setelah jatuh adalah keterampilan hidup.Â
Penelitian tentang resilience menegaskan, anak yang terbiasa menghadapi kegagalan kecil cenderung lebih tahan menghadapi masalah besar di masa dewasa. Dengan kata lain, membiarkan anak kecewa bukan bentuk pengabaian, melainkan persiapan agar ia mampu menghadapi badai kehidupan yang lebih besar.
Dalam kehidupan nyata, kritik dan penolakan tidak terelakkan. Dunia kerja, relasi sosial, bahkan rumah tangga akan penuh dengan umpan balik yang tidak selalu menyenangkan.Â
Jika anak selalu dipuji tanpa diberi koreksi, atau selalu dibela meski salah, ia akan mengembangkan harga diri rapuh (fragile self-esteem). Konsep growth mindset (Carol Dweck) relevan di sini. Anak yang terbiasa diberi ruang untuk menerima kritik akan melihat kesalahan sebagai peluang belajar, bukan ancaman. Sebaliknya, anak yang "disterilkan" dari kritik akan kaget dan defensif ketika dunia tidak memberinya perlakuan istimewa.Â
Di sinilah kita melihat betapa berbahayanya pola asuh yang terlalu protektif sehingga ia menciptakan generasi yang rapuh, bukan generasi yang siap bersaing secara sehat. Seperti otot yang hanya bisa kuat jika dilatih dengan beban, demikian pula mental anak.Â
Tantangan adalah beban yang perlu dilalui untuk membentuk kekuatan psikologis. Anak yang tidak pernah berhadapan dengan kesulitan akan mudah cemas, panik, atau putus asa ketika situasi sulit datang.Â
Meichenbaum menyebut proses ini sebagai stress inoculation: paparan stres dalam dosis kecil justru menjadi "vaksin" yang mempersiapkan individu menghadapi tekanan besar. Dengan kata lain, membiarkan anak menghadapi kesulitan bukanlah bentuk ketidakpedulian, melainkan kasih sayang yang lebih dewasa.
Kasih sayang sejati bukanlah tindakan menjauhkan anak dari semua bahaya, melainkan membekali mereka dengan keterampilan untuk menghadapinya. Peran orang tua yang berlebihan sebagai "pengendali total" justru merampas hak anak untuk eksplorasi, mencoba, dan berani salah. Kesalahan adalah laboratorium terbaik bagi kemandirian dan resiliensi.Â
Dalam konteks pendidikan karakter, kita harus fokus pada pembentukan tanggung jawab dan keberanian, bukan kepatuhan yang rapuh. Anak yang dibungkus oleh perlindungan berlebihan akan tumbuh menjadi pribadi yang cemas dan tidak berdaya (learned helplessness).
 Sebaliknya, anak yang dibekali dengan alat adaptasi, alih-alih dilindungi dari realitas, akan menjadi individu tangguh yang siap menghadapi kompleksitas dunia global. Kita harus menjadi fasilitator pertumbuhan, bukan penghalang otonomi.
Pengasuhan modern harus bergeser dari penciptaan zona nyaman permanen menuju pemberian ruang eksplorasi dan pengalaman belajar nyata. Bukan tugas orang tua menjadi pemadam kebakaran yang menghilangkan setiap kesulitan, melainkan menjadi fasilitator yang memberi anak kesempatan mencoba dan gagal, agar mereka menginternalisasi keberanian untuk bangkit.Â