Mohon tunggu...
Agustine Ranterapa
Agustine Ranterapa Mohon Tunggu... Guru

Aku seorang Guru SD. Tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku. Aku tidak pernah berjalan diatas air dan aku juga tidak mampu membela lautan. Tetapi yang aku tahu, aku adalah seorang pemimpin pembelajaran yang mencintai anak-anak didikku. Karena menurutku seni tertinggi seorang guru adalah bagaimana ia menciptkan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan". Alhamdulillaah ditakdirkan menjadi seorang guru.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Musim Yang Tidak Pernah Kembali

25 September 2025   15:45 Diperbarui: 25 September 2025   15:47 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto Lantern Of Heart

Awan berarak di atas langit kelabu, seolah menanggung beban yang tak terucapkan. Langit itu, seperti hati manusia, kadang cerah membiru, kadang kelabu dan murung. Di bawahnya, aku duduk bersila di teras rumah yang menghadap ke sebuah taman kecil. Daun-daun cokelat, kering, dan rapuh berserakan di atas tanah, menunggu sapuan angin untuk membawa mereka pergi. Ini musim gugur. Musim di mana alam mengajarkan kita tentang perpisahan dan permulaan yang baru, tentang kematian dan kehidupan. Dan di dalam jiwa, aku merasakan musim gugurku sendiri.

Beberapa waktu terakhir, hidup terasa seperti sepotong cermin yang retak. Setiap bayangan yang dipantulkannya terasa kabur, tidak utuh. Kata-kata bijak yang sering kudengar yang diucapkan oleh para penyair, para sufi, dan orang-orang saleh menggema di benakku, namun seolah kehilangan maknanya.

"Kalau kamu ingin mengetahui hakikat jujur, kamu akan ditipu terlebih dahulu."

Kalimat itu, yang dulu hanyalah deretan kata-kata indah, kini terasa seperti paku yang menancap di ulu hati. Aku telah ditipu. Bukan oleh orang asing, melainkan oleh seseorang yang sangat kupercaya. Kejujuran, yang selalu kuanggap sebagai tiang utama dalam setiap hubungan, ternyata memiliki sisi yang begitu rapuh. Aku membayangkan kejujuran sebagai sebuah kristal bening, murni tanpa cela. Namun, pengkhianatan itu adalah palu yang menghantam kristal itu hingga pecah. Kepingan-kepingannya berserakan, dan aku mencoba mengumpulkannya, berharap bisa menyatukannya kembali. Namun, di setiap kepingan, aku melihat bayanganku yang begitu bodoh, begitu naif.

Rasa sakit itu tidak hanya mengikis kepercayaan terhadap orang lain, tetapi juga menggoyahkan kepercayaanku pada diri sendiri. Apakah aku terlalu mudah percaya? Apakah aku tidak cukup peka? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar tanpa henti, meracuni setiap sudut pikiran. Aku mencoba memahami apa yang salah, mencari-cari jawaban di dalam setiap interaksi, setiap janji yang terucap. Namun, yang kudapati hanyalah kekosongan, sebuah ruang hampa yang ditinggalkan oleh ketidakjujuran.

Saat itu, aku merenungkan kembali firman Allah dalam Surah Al-Anfal, ayat 27, yang mengingatkan kita untuk tidak mengkhianati amanah. Namun, apa yang terjadi jika amanah itu dikhianati oleh orang lain? Apakah kita hanya bisa diam dan menerima? Di tengah kegelapan itu, sebuah bisikan lembut datang. Bukankah Allah Maha Mengetahui segala isi hati? Bukankah kebenaran, pada akhirnya, akan menemukan jalannya?

Aku menyadari, hakikat jujur bukan hanya tentang percaya pada orang lain. Lebih dari itu, ia adalah ujian bagi kejujuran diri sendiri. Di hadapan pengkhianatan, apakah aku akan tetap memegang teguh kejujuran? Ataukah aku akan membalas dengan kebohongan, meracuni diri dengan dendam? Jujur, ternyata, adalah sebuah pilihan. Pilihan untuk tetap menjadi diri sendiri, meski dunia di sekeliling terasa palsu. Jujur adalah komitmen kepada Allah, bahwa kita akan tetap berada di jalan-Nya, tak peduli seberapa berat ujian yang datang. Pengkhianatan itu tidak menghancurkan kejujuran, melainkan menguji fondasinya. Dan hanya dengan melewati ujian itu, aku bisa memahami bahwa kejujuran sejati bukanlah ketiadaan pengkhianatan, melainkan keteguhan di hadapan pengkhianatan.

Sore berganti senja. Mentari perlahan tenggelam, mewarnai langit dengan palet jingga, ungu, dan merah. Sebuah pemandangan yang begitu indah, namun menyimpan kenangan pahit. Pahitnya kegagalan.

"Kalau kamu ingin sukses, kamu akan jatuh berkali-kali terlebih dahulu."

Kalimat ini, seperti yang pertama, adalah sebuah pukulan telak. Aku telah jatuh. Berkali-kali, dalam berbagai bentuk. Proyek yang gagal, pekerjaan yang hilang, mimpi yang pupus. Setiap kali jatuh, rasanya seperti seluruh dunia runtuh di atas pundakku. Aku melihat orang lain melompat dengan mudah dari satu puncak ke puncak lainnya, sementara aku terperosok di lembah. Ada saat-saat di mana aku merasa lelah, sangat lelah, untuk bangkit. Rasanya ingin menyerah, membiarkan diri terkubur dalam puing-puing kegagalan.

Namun, dalam kegagalan, aku menemukan sesuatu. Aku menemukan diriku yang sebenarnya. Di tengah kesuksesan, sering kali kita memakai topeng, berpura-pura kuat, berpura-pura sempurna. Tapi dalam kegagalan, topeng itu terlepas. Kita melihat diri kita yang rapuh, yang penuh kekurangan. Kita melihat kelemahan-kelemahan yang selama ini kita sembunyikan. Dan di sanalah, di titik paling rendah itu, aku menemukan kekuatan yang sesungguhnya.

Kegagalan, ternyata, bukanlah akhir dari segalanya. Ia adalah sebuah jeda, sebuah titik untuk berhenti sejenak, mengevaluasi, dan merenungkan. Firman Allah dalam Surah Al-Inshirah (Alam Nasyrah) menggema di telinga, "Sesungguhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan." Ayat ini bukan hanya sekadar janji, tetapi sebuah blueprint kehidupan. Kesukaran dan kemudahan adalah dua sisi dari koin yang sama. Mereka datang beriringan. Tanpa kesulitan, kita tidak akan pernah menghargai kemudahan. Tanpa kegagalan, kita tidak akan pernah memahami hakikat kesuksesan.

Kesuksesan sejati bukanlah pencapaian materi atau pengakuan publik. Ia adalah keberhasilan dalam mengelola hati, dalam bangkit kembali setelah jatuh, dalam bersabar saat diuji. Setiap kegagalan adalah pelajaran, setiap jatuh adalah kesempatan untuk mengukur kekuatan diri. Aku belajar bahwa sukses bukanlah tentang tidak pernah jatuh, melainkan tentang berani bangkit setiap kali jatuh. Dan setiap kali aku bangkit, aku menemukan diriku sedikit lebih kuat, sedikit lebih bijaksana, dan sedikit lebih dekat dengan-Nya.

Malam pun tiba. Angin berembus dingin, membawa serta aroma tanah basah dan daun-daun kering. Di balik jendela, aku memandang keheningan malam yang pekat. Aku memikirkan cinta.

"Kalau kamu ingin mengetahui hakikat cinta, kamu harus menikmati rasa patah hati terlebih dahulu."

Ini mungkin yang paling menyakitkan. Aku telah mencintai, dengan tulus dan segenap hati. Aku telah berkorban, aku telah berharap, aku telah bermimpi. Dan kemudian, mimpi itu hancur. Hati yang dulu terasa utuh, kini remuk redam. Patah hati, bagaikan ribuan jarum yang menusuk tanpa henti. Setiap kenangan adalah sengatan, setiap lagu adalah air mata. Aku merasa kehilangan arah, seolah kompas dalam jiwaku telah rusak.

Namun, di tengah puing-puing patah hati, aku menemukan ruang yang kosong. Ruang yang dulunya terisi penuh oleh cinta duniawi, kini menjadi tempat bagi sesuatu yang lain. Aku menyadari, cinta yang kukejar selama ini hanyalah bayangan. Cinta sejati tidak bersemayam pada manusia, pada kecantikan, pada kekayaan, atau pada pengakuan. Cinta sejati bersemayam di Arsy-Nya.

Patah hati, ternyata, adalah cara Allah membersihkan hati kita. Ia membersihkan segala cinta yang salah, segala ketergantungan yang tidak pada tempatnya. Ia memaksa kita untuk kembali ke satu-satunya sumber cinta yang tidak pernah padam, yang tidak pernah mengecewakan: Allah. Cinta kepada manusia adalah sebuah jembatan, bukan tujuan akhir. Jembatan untuk mengenal cinta yang lebih agung. Patah hati adalah rambu, yang menunjukkan bahwa kita telah salah arah, bahwa kita terlalu terpaku pada jembatan, bukan pada tujuan akhir.

Ketika hati terasa kosong, aku memenuhinya dengan dzikir, dengan salat, dengan membaca Al-Qur'an. Aku belajar untuk mencintai-Nya, mencintai Rasul-Nya, mencintai diri sendiri sebagai ciptaan-Nya. Patah hati bukanlah akhir dari cinta, melainkan awal dari cinta yang sesungguhnya. Cinta yang tidak mengharap balasan, cinta yang ikhlas, cinta yang berlandaskan iman.

Daun-daun di taman kini terlihat berbeda. Mereka bukan lagi simbol perpisahan yang menyedihkan, tetapi pengingat akan siklus kehidupan. Mereka gugur untuk memberi ruang bagi tunas baru.

Kadang begitulah kehidupan. Ia adalah serangkaian ujian, sebuah perjalanan yang berliku. Kita ditipu untuk belajar tentang kejujuran. Kita jatuh untuk memahami arti sukses. Kita patah hati untuk menemukan hakikat cinta. Setiap luka adalah pelajaran, setiap air mata adalah pembersih hati.

Di tengah semua itu, ada satu hal yang tak boleh hilang: semangat.

"Tetap semangat ya. Jangan lelah berharap dan berdoa."

Kalimat itu, yang dulu sering kudengar, kini menjadi mantra dalam jiwaku. Semangat bukan berarti tidak pernah merasa lelah. Semangat adalah kesediaan untuk terus berjalan, meskipun kaki terasa berat. Semangat adalah keyakinan bahwa setiap kesulitan pasti akan berakhir. Semangat adalah api kecil yang terus menyala, bahkan di tengah badai.

Dan yang paling penting, jangan lelah berharap dan berdoa. Doa adalah senjata seorang mukmin. Harapan adalah pelita dalam kegelapan. Kepada siapa lagi kita berharap jika bukan kepada Dzat yang Maha Mendengar, Maha Mengabulkan?

Di balik awan kelabu, matahari masih bersinar. Di balik daun-daun yang gugur, akar-akar masih menyimpan kehidupan. Di balik setiap luka, ada kebijaksanaan yang menunggu untuk ditemukan.

Aku berdiri, membiarkan angin sejuk menyentuh wajahku. Aku tersenyum. Bukan senyum karena bahagia, tetapi senyum karena pasrah dan ikhlas. Aku pasrahkan segala yang terjadi pada-Nya. Aku ikhlaskan setiap luka dan setiap kegagalan.

Hidup bukanlah tentang menghindari kesulitan, melainkan tentang menghadapi kesulitan dengan iman. Musim gugur di hatiku telah mengajarkanku hal itu. Dan aku tahu, setelah musim gugur ini, akan datang musim semi. Musim semi yang akan menumbuhkan kembali bunga-bunga kejujuran, pohon-pohon kesuksesan, dan taman-taman cinta yang sejati, semuanya bersemi di atas pondasi yang kokoh, di atas jalan yang lurus, di jalan-Nya.

Semoga Allah selalu membimbing langkah kita, ya. Dan semoga kita tak pernah lelah untuk terus berjuang. Aamiin.

Langit-langit di atas kita selalu sama, meski warnanya berubah dari biru cerah menjadi kelabu pekat, dari jingga senja menjadi hitam pekat malam. Seperti hati manusia, langit punya siklusnya sendiri, dan di bawahnya, kita semua berlayar dalam kapal kehidupan. Namun, seringkali, kita lupa bahwa nahkoda sejati dari perjalanan ini bukanlah kita, melainkan Dia yang Maha Menentukan arah. Kita terlalu sibuk mengayuh, hingga lupa menengadah dan merasakan betapa dekatnya Dia, sedekat urat nadi di leher kita.

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sendiri." (QS. Qaf: 16)

Ayat itu, sejatinya, adalah sebuah pelukan yang tak terlihat. Ia mengingatkan kita bahwa setiap bisikan lara, setiap rintihan yang tak terucap, setiap doa yang terangkai dalam hening malam, tidak pernah luput dari pendengaran-Nya. Di saat dunia terasa begitu luas dan kita merasa begitu kecil dan sendirian, ketahuilah bahwa Dia tidak pernah jauh. Dia mendengar tangis yang tumpah di atas sajadah, merasakan beratnya beban yang kita pikul, dan menyaksikan setiap tetesan keringat yang mengalir dari perjuangan kita.

Setiap cobaan yang datang, entah itu pengkhianatan dari orang yang kita percaya, kegagalan yang meremukkan mimpi, atau patah hati yang memilukan, bukanlah hukuman. Ia adalah ujian. Sebuah kalibrasi halus dari Sang Pencipta untuk membersihkan hati kita dari cinta-cinta yang salah, untuk menguatkan iman yang rapuh, dan untuk menuntun kita kembali ke jalan yang lurus. Patah hati, pada hakikatnya, adalah pengingat bahwa cinta sejati bukanlah pada makhluk yang fana, melainkan pada Al-Hayyu Al-Qayyum, Yang Maha Adil Perkasa dan Maha Bijaksana.

Maka, biarkanlah air mata itu mengalir. Biarkanlah rasa sakit itu singgah sejenak, karena di dalamnya tersimpan pelajaran berharga. Jangan pernah biarkan dirimu putus asa dari rahmat Allah. Putus asa adalah pintu masuk bagi kegelapan yang tak berujung, sementara harapan adalah cahaya yang terus menyala. Jadikanlah setiap cobaan sebagai jalan untuk kembali kepada-Nya, karena sesungguhnya, hidup ini hanyalah sebuah perjalanan pulang. Perjalanan dari yang fana menuju Yang Abadi.

Kuatkanlah imanmu, peliharalah harapanmu, dan yakini dengan sepenuh hati bahwa setiap takdir yang datang adalah bagian dari skenario terindah yang telah Ia rancang untukmu. Yakinlah, di balik badai terberat, pelangi akan muncul. Di balik air mata terhangat, senyum akan kembali merekah. Teruslah berjuang, teruslah berdoa, dan teruslah percaya. Karena Dia, Sang Maha Pengatur, tak pernah meninggalkan hamba-Nya walau sedetikpun.

🌿 “Biarlah rindu ini menetap, seperti edelweys yang abadi di puncak sunyi, menjadi saksi waktu yang tak pernah lelah menunggu.”

||Dalam Ruang Rindu Edelweys||Lamasi Timur 25 September 2025||

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun