Mohon tunggu...
Agustine Ranterapa
Agustine Ranterapa Mohon Tunggu... Guru

Aku seorang Guru SD. Tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku. Aku tidak pernah berjalan diatas air dan aku juga tidak mampu membela lautan. Tetapi yang aku tahu, aku adalah seorang pemimpin pembelajaran yang mencintai anak-anak didikku. Karena menurutku seni tertinggi seorang guru adalah bagaimana ia menciptkan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan". Alhamdulillaah ditakdirkan menjadi seorang guru.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Syukur dan Ikhlas, Dua Sisi Penting Etika Kehidupan

7 September 2025   19:27 Diperbarui: 13 September 2025   23:36 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Berusahalah membalas Kebaikan orang, meski dengan sekadar berdoa yang baik untuknya. Tetapi janganlah mengharap balasan kebaikanmu kepada orang." -- {KH. AHMAD MUSTOFA BISRI}

Dalam perjalanan hidup, manusia tidak pernah benar-benar berdiri sendiri. Kita senantiasa dikelilingi oleh kebaikan orang lain, baik yang tampak maupun yang tidak terlihat. 

Ada kebaikan sederhana seperti senyuman, teguran yang tulus, atau doa diam-diam yang dipanjatkan orang lain untuk kita. Ada pula kebaikan besar berupa pertolongan nyata ketika kita berada di titik terendah. 

Namun, di era serba cepat hari ini, kebaikan sering diperlakukan seperti berita singkat yang segera terlupakan begitu ada hal baru yang lebih menarik perhatian. 

Budaya digital yang memanjakan ingatan instan, membuat manusia terbiasa mengingat kesalahan orang lain lebih lama daripada kebaikan yang pernah ia terima. 

Akibatnya, rasa syukur menjadi kabur, seakan tidak ada ruang untuk mengakui jasa orang lain yang telah menguatkan kita di saat sulit.

Ikhlas dalam memberi juga tengah diuji keras di zaman yang serba transaksional seperti saat ini. Banyak orang berbuat baik dengan harapan mendapatkan balasan, baik berupa materi, pujian, atau sekadar validasi sosial di media. 

Kebaikan yang sejatinya lahir dari ketulusan hati, kini kerap berubah menjadi ajang pencitraan atau strategi untuk menjaga gengsi. Tak jarang kita mendapati seseorang yang menolong lalu kecewa karena tidak mendapat ucapan terima kasih atau balasan setimpal. 

Padahal, esensi kebaikan bukanlah tentang dihitung dan dibalas, melainkan tentang kerelaan hati untuk berbagi, tanpa terikat pada pamrih duniawi. Ketika ikhlas berubah menjadi pamrih, kebaikan kehilangan kekuatan spiritualnya dan berubah menjadi sekadar transaksi sosial yang rapuh dan mudah patah.

Ironisnya, pergeseran ini terjadi justru di tengah masyarakat yang semakin terhubung. Media sosial memudahkan kita untuk saling memberi perhatian, tetapi juga menjadikan manusia cepat melupakan, cepat menuntut, dan cepat berpindah pada sensasi berikutnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun