Mohon tunggu...
Agustine Ranterapa
Agustine Ranterapa Mohon Tunggu... Guru

Aku seorang Guru SD. Tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku. Aku tidak pernah berjalan diatas air dan aku juga tidak mampu membela lautan. Tetapi yang aku tahu, aku adalah seorang pemimpin pembelajaran yang mencintai anak-anak didikku. Karena menurutku seni tertinggi seorang guru adalah bagaimana ia menciptkan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan". Alhamdulillaah ditakdirkan menjadi seorang guru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tirani Yang Bersembunyi di Balik Hukum dan Keamanan

31 Agustus 2025   14:07 Diperbarui: 31 Agustus 2025   14:07 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam lanskap politik kontemporer, peringatan dari Jose Rizal, seorang pejuang kebebasan dari Filipina, terasa semakin relevan: "Tak ada tirani yang lebih menyakitkan daripada tirani yang mengatasnamakan hukum dan keamanan." Kata-kata ini bukan sekadar keluhan historis terhadap kolonialisme, melainkan sebuah diagnosis abadi tentang wajah kekuasaan yang paling berbahaya yang tidak mengenakan seragam militer, tetapi justru bersembunyi di balik jubah legalitas dan narasi ketertiban. Tirani semacam ini membangun penjara tanpa jeruji besi, di mana kebebasan dibatasi oleh pasal-pasal yang samar, dan oposisi dilumpuhkan oleh tuduhan-tuduhan yang dibuat-buat. Ini adalah bentuk penindasan yang jauh lebih licik karena ia mengikis kepercayaan publik dari dalam, meruntuhkan fondasi moral sebuah negara, dan membuat warga negara ragu untuk membedakan antara keadilan dan ketidakadilan yang terselubung. Singkatnya, tirani yang berlandaskan pada hukum dan keamanan adalah sebuah pengkhianatan terhadap nilai-nilai yang paling mendasar, yakni keadilan dan kebebasan.

Paradoks yang menyakitkan ini kini menjadi realitas yang tak terhindarkan di Indonesia, sebuah negara yang secara formal mengaku menganut demokrasi. Meskipun sistem hukum dan tata negara kita berlandaskan pada konstitusi, praktiknya sering kali mencerminkan adanya penyimpangan yang mengkhawatirkan. Pasal-pasal "karet" digunakan untuk menjerat mereka yang berani mengkritik, aksi-aksi damai yang seharusnya menjadi esensi dari kebebasan berekspresi dibatasi dengan dalih menjaga ketertiban umum, dan suara rakyat yang paling tulus sering dipertukarkan dengan janji stabilitas semu yang pada akhirnya hanya melayani kepentingan segelintir elit. Inilah titik di mana hukum, yang seharusnya menjadi benteng keadilan bagi semua, justru menjelma menjadi senjata penindasan. Keamanan, yang seharusnya menenteramkan dan melindungi rakyat, malah menjadi alat intimidasi yang menumbuhkan ketakutan. Situasi ini menciptakan ketidakpercayaan yang mendalam, karena rakyat menyadari bahwa mereka tidak lagi berhadapan dengan musuh yang jelas, melainkan dengan sebuah sistem yang mengklaim sebagai pelindung, padahal secara diam-diam menggerogoti hak-hak asasi mereka. Maka, peringatan Rizal bukan hanya relevan, melainkan sebuah cermin yang menantang kita untuk bertanya: apakah kita benar-benar hidup dalam sebuah negara hukum yang menjunjung tinggi keadilan, atau justru terjebak dalam tirani yang paling menyakitkan ?. 

Hukum sejatinya adalah janji peradaban untuk menjamin keadilan. Allah Swt. berfirman:

"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan." (QS. An-Nahl: 90)

Namun, bagaimana jika hukum yang ditetapkan justru melanggar substansi keadilan itu sendiri? Bagaimana jika pasal-pasal hukum digunakan bukan untuk melindungi, melainkan untuk membungkam ?. Fenomena pasal karet di Indonesia, terutama dalam UU ITE, adalah cermin paling jelas. Banyak aktivis, jurnalis, bahkan rakyat biasa, dijerat hanya karena menyampaikan kritik. Apa yang sejatinya merupakan hak demokratis diubah menjadi "pelanggaran hukum." Ironinya, masyarakat dipaksa untuk menerima kondisi ini, karena aturan tersebut tampak sah secara formal. Di titik inilah perkataan  Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu relevan untuk direnungkan:

"Kezaliman yang dilakukan oleh pemerintah yang adil lebih dahsyat daripada keadilan yang dilakukan oleh pemerintah yang zalim."

Kenapa demikian ?. Karena saat hukum telah dilegitimasi oleh negara, rakyat nyaris tidak memiliki ruang untuk membantah !!!.

Dalam sebuah negara, keamanan sering kali dianggap sebagai kebutuhan dasar yang menjadi alasan utama bagi keberadaan pemerintah. Namun, ironisnya, konsep ini sering kali disalahgunakan. Keamanan yang seharusnya berfungsi sebagai payung perlindungan bagi rakyat, justru dimanipulasi menjadi alat pembatasan hak-hak sipil. Aksi protes yang merupakan manifestasi dari kebebasan berekspresi sering dicap sebagai ancaman, kritik konstruktif dianggap sebagai potensi kekacauan, dan bahkan aspirasi tulus dari rakyat kerap dicap sebagai provokasi. Narasi semacam ini menciptakan sebuah paradoks di mana negara, yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, justru menjelma menjadi entitas yang ditakuti. Padahal, esensi dari kepemimpinan yang ideal adalah tanggung jawab. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah : "Penguasa adalah penggembala, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." Hadits ini menegaskan sebuah prinsip fundamental bahwa tugas utama penguasa adalah melayani dan melindungi, bukan mengendalikan melalui intimidasi. Jika rakyat justru merasa takut kepada "penggembala" mereka, maka keamanan yang dijanjikan telah kehilangan makna sejatinya. Keamanan yang sejati bukanlah stabilitas semu yang ditegakkan melalui ketakutan, melainkan sebuah kondisi di mana setiap individu merasa terlindungi, dihormati hak-haknya, dan memiliki kebebasan untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik tanpa rasa cemas akan pembalasan. Singkatnya, keamanan yang autentik adalah produk dari kepercayaan dan akuntabilitas, bukan dari dominasi dan ketakutan.

Inilah yang dimaksud Rizal sebagai tirani paling menyakitkan: penindasan yang dibungkus hukum dan keamanan. Luka itu kini dirasakan banyak rakyat Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan pembungkaman kritik publik dengan jerat hukum yang elastis, pembatasan aksi demonstrasi dengan alasan ketertiban umum, stigma terhadap oposisi sebagai ancaman stabilitas dan pelemahan lembaga independen dengan dalih reformasi birokrasi. Semua tampak sah di atas kertas. Semua bisa dijustifikasi dengan bahasa hukum dan prosedur. Tetapi di baliknya, kita menemukan luka demokrasi: rakyat yang kecewa, mahasiswa yang dibatasi, media yang dibungkam, dan oposisi yang dilemahkan. Apakah ini bukan bentuk tirani terselubung ?.  Tirani yang bersembunyi di balik hukum adalah yang paling sulit dilawan. Bukan karena rakyat tidak menyadari ketidakadilan, tetapi karena rakyat dipaksa untuk patuh pada sesuatu yang diberi stempel "legal." Namun, sejarah membuktikan bahwa hukum yang zalim tidak pernah abadi. Kesadaran kritis rakyat selalu menjadi api yang mampu meruntuhkan benteng penindasan. Dari Revolusi Perancis, perlawanan Rizal di Filipina, hingga gerakan reformasi 1998 di Indonesia, semua diawali dari rakyat yang berani berkata: "Ini bukan hukum, ini adalah penindasan yang dilegalkan."

Dalam ajaran Islam, melawan kezaliman bukan hanya sebuah pilihan, melainkan sebuah kewajiban moral yang diemban oleh setiap individu. Seperti yang ditegaskan dalam hadis Rasulullah , "Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar di hadapan penguasa yang zalim," hal ini menunjukkan bahwa keberanian untuk menyuarakan kebenaran di tengah kekuasaan yang menindas adalah bentuk perjuangan tertinggi. Hadits ini mengajarkan kita bahwa jihad tidak selalu harus diartikan secara fisik, tetapi juga melalui keberanian moral dan intelektual untuk menentang ketidakadilan. Diam di hadapan hukum yang zalim, yang sengaja dirancang untuk menindas dan memanipulasi, sama saja dengan menjadi bagian dari sistem tersebut. Tindakan diam tersebut secara tidak langsung memberikan legitimasi pada kezaliman dan membiarkannya terus berakar. Oleh karena itu, prinsip dalam Islam mendorong umatnya untuk menjadi garda terdepan dalam menjaga keadilan dan kebenaran, menolak untuk bersekutu dengan kezaliman, baik melalui tindakan maupun kebisuan. Sikap ini menuntut keberanian untuk berbicara dan bertindak, demi tegaknya keadilan bagi semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun