Mohon tunggu...
Agustine Ranterapa
Agustine Ranterapa Mohon Tunggu... Guru

Aku seorang Guru SD. Tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku. Aku tidak pernah berjalan diatas air dan aku juga tidak mampu membela lautan. Tetapi yang aku tahu, aku adalah seorang pemimpin pembelajaran yang mencintai anak-anak didikku. Karena menurutku seni tertinggi seorang guru adalah bagaimana ia menciptkan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan". Alhamdulillaah ditakdirkan menjadi seorang guru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

MERDEKA UNTUK SEMUA: "Menafsir Ulang Makna Kemerdekaan Indonesia"

17 Agustus 2025   18:51 Diperbarui: 17 Agustus 2025   18:51 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Happy Independence Day Indonesia yang ke 80 Tahun. #SebuahRefleksi !!!.

Setiap bulan Agustus, bangsa ini diselimuti semangat perayaan. Bendera merah putih berkibar di jalan-jalan, pidato berapi-api disampaikan, dan lagu perjuangan kembali mengalun. Namun di balik gegap gempita itu, kita perlu menundukkan kepala sejenak dan bertanya: apakah merdeka hanya sebatas simbol ?.  Ataukah ia sebuah makna yang hidup dalam denyut nadi rakyat ?. Soekarno pernah berkata dalam pidatonya pada 17 Agustus 1945: "Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad 'merdeka, merdeka atau mati !'" Namun, kemerdekaan yang ia maksud bukan hanya lepas dari penjajahan asing, melainkan juga kemerdekaan yang substantif yaitu kemerdekaan politik, ekonomi, dan budaya.

Hari ini, merdeka sering kali dirayakan dengan seremoni yang megah: parade militer, upacara kenegaraan, pesta rakyat, dan lomba-lomba yang penuh suka cita. Semua itu indah, tetapi adakah ia mencerminkan wajah asli kemerdekaan ?.  Di balik panggung, rakyat masih bergulat dengan kenyataan pahit: kemiskinan struktural, ketimpangan sosial, dan korupsi yang tak kunjung lenyap. Tan Malaka dalam Madilog (1943) menulis: "Politik tanpa ekonomi hanyalah omong kosong !!!." Kalimat ini menampar realitas kita pada hari ini: kemerdekaan politik telah lama kita capai, tetapi kemerdekaan ekonomi masih jauh panggang dari api. Segelintir elite menguasai sumber daya, sementara mayoritas rakyat hanya mendapat sisa remah. Apakah ini wajah bangsa merdeka ?!?.

Merdeka hari ini sejatinya adalah hidup dalam keringat petani yang terus menanam meski tanahnya diperas kebijakan yang timpang. Ia hidup dalam derap langkah buruh pabrik yang bekerja belasan jam, sering kali tanpa jaminan layak. Ia bersemayam dalam keberanian nelayan kecil yang melaut melawan gelombang dan dominasi kapal besar. Bung Hatta pernah menegaskan: "Indonesia merdeka bukanlah untuk segelintir orang, tetapi untuk semua orang. Kemerdekaan adalah jembatan emas bagi kesejahteraan rakyat !!." Jika rakyat kecil masih hidup dalam lilitan utang, upah rendah, dan akses kesehatan yang minim, maka jembatan emas itu belum pernah benar-benar kita seberangi.

Salah satu penyakit bangsa ini adalah menjadikan kemerdekaan sebagai panggung elit. Para penguasa berpidato lantang tentang keadilan, tetapi fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Kekuasaan digunakan sebagai alat mempertahankan status quo, bukan sebagai jalan mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Seperti yang pernah diperingatkan Soekarno dalam pidato 1960: "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri !!!." Kata-kata ini kini terbukti. Penjajahan baru datang dalam rupa korupsi, oligarki, privatisasi sumber daya, dan kesenjangan ekonomi. Bangsa ini tidak lagi dijajah oleh bangsa asing, tetapi oleh segelintir orang bangsanya sendiri.

Dalam pembukaan UUD 1945 termaktub cita-cita luhur: "mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Namun, pertanyaannya: sejauh mana cita-cita itu telah tercapai ?!?.  Jika hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, jika kebebasan berpendapat masih dibungkam, dan jika kemiskinan masih melilit sebagian besar rakyat, maka jelas kemerdekaan itu belum substansial. Seorang pemikir kontemporer, Rocky Gerung, pernah menyindir: "Kita merdeka, tapi pikiran kita masih terjajah." Merdeka bukan sekadar fisik lepas dari belenggu kolonial, tetapi juga merdeka dalam berpikir, berpendapat, dan menentukan arah bangsa tanpa dikendalikan oligarki dan kepentingan asing.

Merdeka harus menjadi nafas kolektif, bukan hak istimewa segelintir elit. Selama jurang antara kaya dan miskin semakin lebar, selama rakyat kecil dipinggirkan, selama suara mereka tenggelam oleh gemuruh elit politik, maka merdeka hanyalah ilusi. Tan Malaka mengingatkan: "Satu-satunya idealisme yang dapat diterima oleh bangsa Indonesia adalah idealisme kemerdekaan yang sejati." Kemerdekaan sejati itu menuntut solidaritas, kebersamaan, dan kesadaran kolektif. Bangsa tidak akan benar-benar merdeka jika sebagian besar rakyatnya masih hidup dalam keterbelengguan sosial dan ekonomi.

Merdeka bukanlah tujuan akhir, melainkan pintu masuk untuk memperjuangkan cita-cita bangsa. Ia adalah api yang harus terus menyala. Bung Karno pernah menegaskan: "Bangunlah dunia baru di atas reruntuhan dunia lama." Api kemerdekaan itu seharusnya membakar habis ketidakadilan, membongkar oligarki, dan menyalakan harapan bagi rakyat kecil. Namun, api itu kini sering dipadamkan oleh pragmatisme politik, transaksi kekuasaan, dan mentalitas konsumtif yang melupakan esensi perjuangan. Tugas kita adalah menjaga nyala api itu, agar tidak berubah menjadi bara kecil yang pelan-pelan padam.

Kini saatnya kita mengkaji ulang makna merdeka. Kemerdekaan tidak boleh berhenti pada parade militer atau lomba tujuh belasan, tetapi harus hadir dalam kehidupan sehari-hari rakyat: di sawah, di pabrik, di kampung, di sekolah, di rumah sakit. Merdeka adalah ketika anak-anak bangsa bisa bermimpi tanpa dibatasi biaya, ketika ibu-ibu bisa tersenyum karena hidup keluarganya terjamin, ketika rakyat kecil bisa berdaulat atas tanah dan lautnya sendiri.

Seperti kata Bung Hatta: "Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar di Jakarta, tetapi karena lilin-lilin kecil di desa !!!." Merdeka sejati lahir ketika setiap lilin kecil itu menyala---ketika rakyat kecil benar-benar menikmati hasil kemerdekaan, bukan hanya menjadi penonton dalam panggung elit. Merdeka untuk semua. Bukan untuk segelintir. Bukan untuk kepentingan politik sesaat. Tetapi untuk seluruh rakyat yang menjadi pewaris sah tanah air ini.

Kemerdekaan sejati tidak berhenti pada simbol bendera yang berkibar atau parade militer yang megah. Ia menuntut kehadiran nyata dalam kebijakan publik yang berpihak kepada rakyat. Tugas utama para pemimpin bangsa adalah memastikan bahwa makna merdeka tidak hanya dirayakan di podium dan istana, tetapi benar-benar hadir di meja makan rakyat, di sawah-sawah petani, di kapal-kapal nelayan, di ruang kelas anak-anak desa, dan di pabrik tempat buruh menggantungkan hidupnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun