Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Papua Barat: Sebuah Kisah Belum Berakhir

4 Mei 2021   21:07 Diperbarui: 4 Mei 2021   21:23 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 KRI IRIAN 201 (sumber: webgisinteligence via DEFENSE STUDIES)

Setahun setelah penandatanganan kedaulatan tahun 1949, masalah Papua masih belum jelas.  Meja perundingan yang digunakan Indonesia sebagai alat perjuangan mengembalikan Papua dari kolonisasi Belanda, berakhir kegagalan. Sebagai kekesalan, Indonesia membawa kasus Papua ke forum PBB yakni tahun 1954, 1955, 1957 dan 1960. Namun, tidak ada kemajuan berarti.

Presiden Soekarno dalam biografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Karangan Cindy Adams, menuliskan kekesalannya. Perjuangan diplomasi dinilai gagal. Untuk itulah Presiden Soekarno mengubah taktik diplomasi ke konfrontasi militer. "Tidak ada lagi diskusi. Mulai saat ini kami menjawab dengan meriam." Kemarahan Bung Karno itu disampaikan kepada Menteri Luar Negeri Amerika, Christian Herter pada tahun 1960.

Untuk mendukung perjuangan tersebut dilakukanlah  upaya pembelian (berhutang) senjata ke Blok Barat, yakni negara-negara Eropa dan Amerika. Hasilnya tidak memuaskan. Senjata mematikan dan menggetarkan (deterrent) yang diinginkan Indonesia tidak disetujui negara produsen.

Memanfaatkan situasi yang panas antara Blok Barat dan Blok Timur, Indonesia mengalihkan garis politiknya untuk condong ke Blok Timur. Lawatan Soekarno ke negara-negara Blok Timur untuk berburu senjata membuahkan hasil. Di Moskow tahun 1960, Soekarno disambut hangat oleh Perdana Menteri Nikita Krushchev. Apa yang diinginkan Soekarno terwujud. Mesin perang kualitas terbaik mengalir dari Uni Soviet. Negara China, Chekoslowakia juga turut mengirimkan mesin perangnya. Tahun  1960-an militer Indonesia menjelma menjadi kekuatan militer paling mengerikan di belahan bumi selatan.

Tanggal 19 Desember 1961, Tri Kora (Tiga Komando Rakyat) dikumandangkan Presiden Soekarno. Pengumuman perang terbuka Indonesia terhadap Belanda tersebut  mengejutkan banyak pihak, terutama Amerika. Dengan pesawat mata-mata, U-2 Dragon Lady, terungkaplah bahwa keberanian Indonesia, karena sokongan dari Blok Timur terutama Uni Soviet. Secara visual U-2 Dragon Lady melihat deretan Pesawat Pembom Strategis semisal Pesawat TU-16 Badger, Pesawat Mig-21 di Pangkalan TNI-AU Maospati (Iswahyudi), Madiun. Di tambah deretan kapal perang dan kapal selam yang siap tempur di Pangkalan TNI AL di Surabaya.

Perang besar tidak terjadi. Tekanan Amerika terhadap Belanda mampu membuat Belanda berfikir ulang. Pada akhirnya PBB terlibat dan membentuk UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority). Badan PBB untuk Papua sebelum diserahkan ke Republik Indonesia. Akhirnya UNTEA menyerahkan Papua ke pangkuan Republik Indonesia, 1 Mei 1963 dengan catatan; tahun 1969 harus diadakan Pepera (penentuan pendapat rakyat).

Merawat Papua

Papua masih menjadi PR bagi pemerintah hingga saat ini. Adanya gangguan keamanan yang dilatarbelakangi keinginan merdeka adalah masalah yang harus segera diselesaikan. Tahun 2019 ada 20 orang tewas akibat penembakan yang dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Tahun 2020 intensitasnya meningkat, ada 46 aksi teror yang mengakibatkan 9 orang tewas. Jawa Pos (19/04/2021). Kasus terbaru yakni penembakan terhadap Brigjen TNI, I Gusti Putu Danny Kaya Nugraha pada Minggu (25/04), serta baku tembak di Kabupaten Puncak, Selasa (27/04) yang menewaskan aparat kepolisian, yakni Bharada Komang.

Integrasi Papua ke dalam NKRI sudah final dan legal secara historis. Tidak ada ruang untuk negosiasi lagi. Saat ini fokus pemerintah adalah meyakinkan dengan tindakan bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia yang punya hak sama dengan wilayah lainnya. Akar masalah Papua menurut penelitian LIPI bersama change.org (2017) adalah, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, pelanggaran HAM, ketidakadilan dan rasisme. Solusinya adalah kesejahteraan, pendidikan dan pembangunan serta akuntabilitas pelanggaran hak azazi dan keadilan.

Otonomi khusus (Otsus) dengan menggelontorkan dana yang cukup besar untuk percepatan pembangunan fisik adalah salah satu cara untuk menyejahterakan Papua. Tahun 2021 dana Otsus dalam RAPBN 2021 mencapai 7,8 trilyun. Pembangunan jalan Trans Papua sepanjang 4.330 km, menelan dana kurang lebih 18 trilyun. Itu adalah upaya nyata keseriusan pemerintah membangun Papua.

Rekonsiliasi

Tidak ada salahnya Pemerintah Indonesia belajar dari kasus Afrika Selatan. Politik Apartheid yang menyengsarakan kehidupan orang kulit hitam. Namun, setelah kulit hitam menang pemilu dan mengantarkan Nelson Mandela sebagai presiden, dibentuklah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi untuk menyudahi dendam masa lalu, mengakhiri kekerasan, dan menatap masa depan bagi Afrika Selatan.

Komisi ini memberikan kesempatan kepada para korban untuk bersaksi terkait pelanggaran HAM yang pernah dialami. Selain itu, memberikan kesempatan pelaku kejahatan mengakui kesalahannya. Ada proses pengampunan untuk mengakhiri kisah pilu tersebut. Merawat dendam akan beranak dendam dan tidak ada ujung pangkalnya. Kepedulian untuk saling memahami, menerima masa lalu dan menghindari berulangnya masa kelam adalah tujuan dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dengan berbagai catatan, upaya tersebut telah dinilai sukses oleh dunia. Apa yang dilakukan Afrika Selatan adalah keberanian; tepatnya, kebesaran hati untuk berdamai dengan masa lalu.

Merawat Papua bisa juga dilakukan dengan cara tersebut, namun dimodifikasi, sesuai kultur Indonesia. Senjata hanya melahirkan dendam. Ini berlaku terhadap kedua belah pihak. Pendekatan militeristik atau perlawanan militeristik terbukti bukan lagi pilihan efektif. Korban selalu berjatuhan di kedua belah pihak yang bertikai. Kasus Aceh juga bisa menjadi pelajaran berharga. Bukan senjata yang mengakhiri, namun ketika pihak yang berseteru duduk bersama, berbicara dari hati ke hati.

Kesungguhan saling memahami, menerima masa lalu sebagai pelajaran, adalah obat yang bisa menyudahi kekerasan di Papua. Sebagaimana kata orang bijak, kekerasan tidak bisa di akhiri dengan kekerasan. Kekerasan hanya bisa diakhiri dengan cinta dan kasih sayang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun