Mohon tunggu...
Agus Tjakra Diredja
Agus Tjakra Diredja Mohon Tunggu... Pengajar

Hapus batas dunia, jelajahi isinya. Jika jenuh, menulislah karena menulis adalah pelarian dan cara terbaik berbagi cerita. https://usudo.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sang Peraga Abadi : Elegi Jaranan, antara Mitos, Manusia dan Harga Diri yang Tak Terbeli

25 Juni 2025   09:15 Diperbarui: 25 Juni 2025   09:15 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Jaranan Pentas di Sekolah. Dok Ptibadi

Di setiap sudut zaman, tersembunyi bisikan-bisikan masa lalu, melodi-melodi yang tak terdengar oleh telinga yang tak terlatih. Di antara gemuruh modernitas yang tak henti, suara-suara kuno berjuang untuk tetap lestari, seringkali diabaikan, kadang terlupakan. Namun, di sanalah, di celah-celah keriuhan, ada beberapa jiwa yang memilih untuk menjadi penjaga, penanggung jawab atas bara yang hampir padam, sebuah warisan yang lebih berharga dari emas. Kisah ini adalah tentang salah satu dari mereka, tentang sebuah napas kebudayaan yang menolak menyerah, dan tentang hati yang berdedikasi tanpa batas.

Di jantung sebuah lorong yang diselimuti keheningan, di mana jejak-jejak waktu terukir pada setiap retakan dinding, berdiri tegak sebuah paradoks yang hidup. Ia adalah Sang Peraga Abadi, sosok dalam balutan kostum Jaranan yang megah sekaligus meresahkan. Riasan wajahnya, sebuah karya seni yang diukir dari serat-serat mitologi, menatap dengan pandangan kosong namun penuh makna, memancarkan aura kuno yang tak bisa ditaklukkan oleh bisingnya modernitas. Jumbai-jumbai hitamnya yang menjuntai berat, manik-manik merah dan kuning yang melingkar di dada, bukan sekadar hiasan; ia adalah penanda identitas, sebuah bahasa bisu yang berdialog dengan ruh-ruh leluhur, sekaligus menjadi titik fokus di mana kisah-kisah purba menemukan wujud kontemporernya.

Sosok ini adalah metafora berjalan, sebuah alegori tentang keberanian budaya dalam menghadapi arus homogenisasi. Dalam setiap lipatan kainnya, dalam setiap gerak tubuh yang seolah diatur oleh irama gamelan yang tak terdengar, terkandung narasi epik tentang perlawanan. Ia adalah puisi yang terukir dalam gerak, drama yang tak membutuhkan dialog, sebuah epos hidup tentang dedikasi yang tak teruji oleh waktu atau godaan materi. Simbolisme raut wajah Jaranan --- seringkali dikaitkan dengan kekuatan protektif dan roh penjaga --- diperkuat oleh keberadaan manusia di baliknya; ini adalah fabel modern tentang seorang penjaga yang memilih untuk tetap berada di garis depan, bukan dengan senjata, melainkan dengan warisan yang ia pikul dengan gagah berani, menghadirkan kesunyian heroik dalam pose ini, sebuah melankoli yang indah tentang seni yang mungkin tak lagi dipahami sepenuhnya, namun tetap diperjuangkan dengan segenap jiwa sebagai karakter utama dalam sebuah novel yang tak pernah ditulis, kisah tentang kesetiaan yang melampaui logika duniawi.

Figur ini tak lain adalah tiang penyangga, akar yang menancap kuat di tanah tradisi, menjaga agar fondasi budaya tak goyah di tengah guncangan zaman. Jaranan bukan sekadar tari; ia adalah praktik ritual, sebuah jembatan ke alam spiritual, medium komunikasi dengan entitas tak kasat mata, dan sosok ini adalah personifikasi dari kolektif memori budaya yang menolak dilupakan. Ia mengemban tugas sakral untuk membawa kembali narasi-narasi kuno ke permukaan, menjaga agar generasi kini tidak tercerabut dari akarnya; keberadaannya, berdiri tegak di tengah lorong yang mungkin adalah bagian dari fasilitas umum atau sekolah, adalah sebuah pernyataan tanpa kata: bahwa budaya tradisional tidak hanya milik masa lalu atau museum, melainkan bagian hidup dari ruang-ruang kita saat ini. Ia adalah penjaga api unggun kebudayaan, memastikan bara tetap menyala, bahkan di tengah embusan angin dingin globalisasi, dan ia melakukan ini, bukan karena mandat atau imbalan, melainkan karena ia adalah pewaris dan pembawa obor itu sendiri---sebuah kesadaran akan tanggung jawab historis yang lebih besar dari diri pribadi, yang mendorongnya untuk terus menari, tanpa henti.

Di balik rias wajah yang misterius itu, tersembunyi sebuah kisah tentang ketahanan semangat manusia dan makna dedikasi tanpa pamrih. Di sana bersemayam seorang individu yang secara sukarela mengabdikan diri pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya, manifestasi dari "panggilan" batin, sebuah altruisme budaya yang tak terukur dengan nilai materi. Bagaimana seseorang bisa begitu setia, begitu gigih, melestarikan seni yang mungkin tak lagi menjanjikan kemewahan atau ketenaran? Jawabannya terletak pada nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam: kebanggaan akan identitas, ikatan dengan komunitas, rasa hormat terhadap leluhur, dan keyakinan akan pentingnya menjaga keragaman ekspresi manusia; sosok ini adalah contoh nyata bagaimana seni dan budaya membentuk jiwa, memberikan tujuan, dan menanamkan rasa memiliki, menjadi sebuah pertanyaan filosofis yang berwujud nyata: Apa arti "kekayaan" sejati jika bukan keberanian untuk menjaga apa yang tak bisa dibeli atau dijual? Ia adalah "Manusia Jaranan" yang menolak menjadi komoditas, memilih untuk menjadi penjaga sebuah warisan yang tak ternilai harganya, dan dalam kesendirian yang terpancar, namun dengan kekuatan yang tak tergoyahkan, Sang Peraga Abadi ini bukan hanya menari; ia berbicara, ia berbisik tentang mitos yang hidup, tentang budaya yang tak pernah mati, dan tentang humanitas yang menemukan kemuliaan tertingginya dalam kesetiaan pada apa yang tak terbayar, terus mengalirkan semangat Jaranan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Sebelum Pentas : Dok.Pri
Sebelum Pentas : Dok.Pri
Ketika tirai kehidupan digital perlahan menutup panggung-panggung tradisional, sosok ini, Sang Peraga Abadi, akan terus berdiri sebagai mercusuar. Ia adalah pengingat bahwa keindahan sejati tidak selalu terletak pada gemerlap panggung atau sorotan lampu, melainkan pada ketulusan hati yang menjaga. Dedikasinya yang tanpa pamrih adalah elegi yang tak berkesudahan, sebuah bukti bahwa nilai-nilai budaya dan kemanusiaan akan selalu menemukan jalannya, selama ada jiwa-jiwa berani yang mau memanggul paras Jaranan, menari di antara mitos dan kenyataan, memastikan derap kuda-kuda Jaranan tak pernah benar-benar sunyi dari ingatan. Semoga bisikan tradisi ini terus mengalir, dari satu penjaga ke penjaga berikutnya, abadi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun