Dunia adalah panggung sandiwara yang kadang bisa membuat kita tertawa karena lucu, bahagia bahkan berduka menjadi ungkapan yang tepat terkhusus untuk upaya kesehatan masyarakat (kesmas) negeri ini. Semoga panggung sandiwara upaya kesmas negeri ini berakhir dengan ending cerita yang indah, adil, damai dan sejahtera untuk seluruh rakyatnya.
Bagaimana tidak lucu, ketika seorang sahabat sekaligus guru, orang tua atau saudara dari kalangan akademisi praktisi maupun pemerhati kebijakan kesmas menyampaikan, “Lucu ya kebijakan kita ini, katanya upaya kesmas, meningkatkan kesmas tapi koq tidak ada indikator SKM (Sarjana Kesehatan Masyarakat) sebagai tenaga kesmas di sana, dikemanakan SKM, lalu siapa yang akan menjadi pelaksana dan penanggung jawab program-program kesmas di sana, apa diserahkan ke profesi lain yang bukan kompetensi utamanya, kalau iya maka kacaulah negeri ini.” Itu ucapan seorang sahabat yang pernah menjadi tenaga kesehatan teladan nasional 2009 dan seorang maestro Indonesia era BJ Habibie Penggagas paradigma sehat, program Indonesia sehat 2010.
Sudah cukup baik kebijakan tahun 2005 lalu di mana rasio SKM sebagai tenaga kesehatan masyarakat mencapai 49/100.000 penduduk guna mewujudkan paradigma sehat. Entah kenapa di saat rasio beberapa jenis tenaga kesehatan tertentu dinaikkan justru untuk SKM bukannya ikut dinaikkan tapi justru malah diturunkan drastis menjadi 13/100.000 penduduk pada tahun 2015 melalui Permenkes 33 tahun 2015.
Di saat itu juga fakta data jumlah penduduk semakin meningkat yang diikuti dengan meningkatnya kematian ibu, meningkatnya penyakit tidak menular akibat perilaku hidup yang juga kurang didukung kebijakan pemerintah, semakin tidak terkendali dan paling mendominasi.
Padahal Surat Keputusan Menteri Kesehatan tentang rencana strategis Kementerian Kesehatan 2015-2019 memprioritaskan tenaga kesehatan masyarakat tersedia di layanan primer. Lucunya kebijakan kesehatan masyarakat negeri ini. Katanya ideologi kita pancasila, apakah seperti ini kebijakan upaya kesmas yang adil dan beradab?
Kedua Perda tersebut tidak menyebutkan adanya SKM sebagai tenaga kesehatan masyarakat yang ditempatkan di desa atau kelurahan bersama dengan keempat jenis tenaga kesehatan lain. Yakinkah upaya kesmas akan berjalan baik dan lancar tanpa SKM? Negeri ini sudah menyediakan puluhan ribu SKM setiap tahun, jadi potensi emas yang sayang kalau tidak difungsikan, berikan kesempatan dan kepercayaan untuk menyehatkan bangsa ini.
Belum lagi kalau kita lihat sebuah data puskesmas tahun 2016 yang hingga kini sebagian besar baru 8.640 (89,5%) dari 9.655 puskesmas di Indonesia, belum memiliki tenaga kesehatan sesuai kebutuhan standar. Salah satu jenis tenaga kesehatan yang belum memenuhi itu adalah SKM. Sebuah data tenaga kesehatan puskesmas 2014 di salah satu provinsi Pulau Jawa mengungkapkan, setidaknya ada 3 kabupaten/kota tidak atau belum memiliki tenaga kesehatan masyarakat sama sekali (kosong) di seluruh puskesmasnya. Jika Pulau Jawa dengan akses yang lebih baik saja masih demikian, lalu bagaimana dengan keadaan tenaga kesmas di puskesmas luar Jawa.
Masihkah kita diam, berpangku tangan melihat keadaan yang demikian. Kesehatan masyarakat negeri ini terampas haknya dengan tidak adanya tenaga andal masalah kesehatan masyarakat, yaitu SKM sebagai tenaga kesehatan masyarakat. Jika fungsi puskesmas adalah upaya kesmas, mari coba lihat data, apa sudah ada tenaga kesmas yang diberdayakan, diturunkan untuk masyarakat, sesuai dengan tugas pokok dan kompetensinya.
Padahal jelas masalah publik adalah tanggung jawab negara tanggung jawab pemerintah termasuk pemerintah desa. Oleh karena itu, salah satu indikator IDM (Indeks Desa Membangun) Kementerian Desa adalah menempatkan SKM sebagai tenaga kesmas guna memenuhi hak kesehatan masyarakat sebagai indikator keberhasilan masyarakat dan pembangunan desa.
Masih banyak lagi kebijakan yang belum terimplementasi dengan baik bahkan tidak sedikit daerah yang belum memiliki kebijakan terkait pendayagunaan tenaga kesehatan sebagai pemenuhan kebutuhan dasar hidup masyarakat yaitu sehat. Negeri ini butuh pemimpin sekaligus pejuang paradigma sehat, yang lebih memikirkan rakyat untuk tetap sehat supaya tidak sakit, produktif dan kreatif. Bukan pemimpin yang hanya mempedulikan saat sakit atau pengobatan saja.
Data yang dihimpun Kementerian Desa 2016 mengungkap 28,7 penduduk miskin di Indonesia, 17,9 Juta penduduknya tinggal di desa, 14% dari 74.093 desa tidak memiliki sekolah dasar, 11 % KK dari 50,6 juta KK yang tinggal di desa belum ada akses listrik. 32,5 % dari 74,093 desa belum memiliki akses air bersih. 9,4 % desa di Indonesia tidak memiliki sinyal telekomunikasi, dan 14 % desa dengan akses jalan yang buruk.
Desa sangat tertinggal mencapai 13.453 Desa atau 18,25 %, desa tertinggal ada 33.592 desa atau 45,57 %, desa berkembang 22.882 desa atau 31,04 % , desa maju 3.608 desa atau 4,89 % desa mandiri hanya 174 desa atau 0,24%. Data ini merupakan sebuah fakta akan problem akses sebuah masyarakat yang dapat mempengaruhi pelayanan kesmas. Yakinkah pemerintah lebih memilih menempatkan tenaga kesehatan lain di daerah dengan akses serba minimalis seperti itu?
Sesungguhnya telah siap tenaga kesehatan yang dibekali pendidikan formal (sedikitnya empat tahun) dengan kompetensi tenaga teknis atau analis masalah kesehatan masyarakat, memiliki beberapa metode teknis membina perilaku dan pemberdayaan masyarakat yang sehat maupun yang sakit (bukan penyembuhan penyakit) untuk lebih sehat, kreatif dan produktif, mampu melibatkan kerja sama lintas sektor baik pemerintah maupun swasta terkait, guna menunjang terpenuhinya akses dan mutu layanan kesehatan yaitu Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM).
Berikut ini gambaran sebagian potret akses warga sehari-hari dari desa ke Kabupaten Sintang Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Malaysia untuk bisa mendapatkan kebutuhan pokok termasuk layanan kesehatan.
Program SKM turun desa atau program minimal satu SKM satu desa/kelurahan yang digagas salah satu anggota PERSAKMI (Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia) adalah program solusi yang tepat, efektif dan efesien berdasarkan kajian-kajian ilmiah.
Faktanya semakin banyak SKM terpilih menjadi tenaga kesehatan berprestasi dan teladan tingkat provinsi, nasional bahkan internasional. SKM bisa dan mampu mengubah perilaku, lingkungan dan akses masyarakat untuk hidup bersih dan sehat melalui terobosan-terobosan program inovatifnya.
Kebijakan penempatan SKM di desa/kelurahan tentu harus diimplementasikan secepat mungkin oleh semua pihak baik pemerintah, swasta maupun masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hak dasar hidup masyarakat, yaitu sehat. Bukan hanya itu keberadaan SKM dapat meningkatkan akses dan mutu layanan kesmas (berbeda dengan layanan kedokteran/medis).
Program penempatan SKM tersebut didukung dengan adanya berbagai kebijakan seperti Undang-Undang (UU) Kesehatan, UU desa, UU tenaga kesehatan, Indeks Desa Membangun bahkan di beberapa daerah diperkuat dengan peraturan daerah, dan peraturan desa. Tujuannya ialah memperbaiki masalah perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dengan metode pemberdayaan masyarakat melalui potensi lokal dan budaya setempat. Baik PHBS tempat-tempat umum seperti sekolah, pasar, tempat ibadah, tempat bekerja, pelayanan kesehatan, maupun PHBS rumah tangga. Sehingga dalam satu desa/kelurahan atau komunitas masyarakat minimal memilki petugas yang fokus memperhatikan dan membina (mencegah, memelihara, dan melindungi) masyarakat. Mari sehatkan setiap kebijakan kita, demi masa depan anak cucu kita.