Konsep kehidupan orang Jawa tempo doeloe, nampaknya tak lekang oleh jaman. Salah satu yang poluler adalah konsep untuk hidup andhap asor yang dimaknai dengan sopan, rendah hati dan tidak sombong. Lebih lanjut, bagi orang Jawa sikap andhap asor ini juga mengandung makna kompleks; mampu mengendalikan diri ketika memiliki kekuasaan, kepandaian, maupun kekuatan.
Secara eksplisit pengendalian diri ini tertuang dalam serat Wulang Reh (Pakubuwana VI); ana pocapanipun, adiguna adigang adigung, pan adigang kidang adigung pan esthi, adiguna ula iku, telu pisan mati sampyoh. Jika diterjemahkan secara bebas bahwa seseorang yang memiliki sifat sombong dengan mengandalkan kekuasaan, kepandaian maupun kekuatannnya, maka pada akhirnya akan mati/tumbang. Â
Pada konteks kekinian, sikap adigang, adigung dan adiguna seolah menyusup dalam kehidupan berpolitik. Dengan senjata adigang, adigung, adiguna, para oknum elit politik bertriwikrama dari manusia biasa menjadi manusia setengah dewa yang seolah tak terjamah. Bukan hanya tak terjamah oleh rakyat yang telah menyerahkan mandat padanya, tapi mungkin juga tak terjamah oleh hukum yang berlaku.
Cukup banyak contoh yang dipertontonkan oknum elite politik pada rakyat dari sikap adigang, adigung dan adiguna. Mulai dari perkataan hingga perilaku yang -- tidak hanya melukai tapi -- menghancurkan hati masyarakat. Celakanya, semua itu dilakukan dengan sadar dan minim empati. Wah gawat !!!
Lantas apa yang mesti dilakukan agar sikap itu hilang, atau setidaknya berkurang kadar dan intensitasnya? Seperti kata pepatah arab yang sudah ditafsirkan dalam bahasa Indonesia dan berseliweran di jagad maya; "Jika seseorang tidak bisa dinasehati dengan kata-kata, maka ia akan dinasehati dengan peristiwa". Nampaknya, nasehat inilah yang sedang terjadi di negeri ini.
Dalam kurun seminggu belakangan, 'nasehat peristiwa' sedang menampakkan ujud aslinya. Tanpa membenarkan perilaku vandalism dan bentuk tindakan pidana, namun ada hikmah besar yang harusnya dapat dipetik dari para oknum elite politik yang mengedepankan sikap adigang, adigung dan adiguna. Bahwa kekuasaan, kepandaian dan kekuatan sejatinya ada di tangan rakyat.
Kontestasi untuk menuju bagian dari elite politik tidaklah salah, bahkan negara menjamin itu, siapapun orangnya. Tidak peduli apakah aktivis, artis atau politisi kelas kampung, asal memenuhi syarat maka berhak untuk kontestasi. Namun menanggalkan sikap adigang, adigung dan adiguna wajib hukumnya. Sebaliknya harus beriringan dengan pepatah lama tentang keberadaan manusia "Sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi sesama". Dalam bahasa Jawa disebut "Migunani marang liyan" atau "Khairrunnas anfa'uhum linnas".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI