Mohon tunggu...
Agus Puguh Santosa
Agus Puguh Santosa Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Menulis adalah jalan mengenal sesama dan semesta.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

[Mistery Topic III] Surat dari Sutomo, untuk Rakyat Bumiputera Zaman Now

20 Mei 2020   21:04 Diperbarui: 20 Mei 2020   21:03 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dr. Sutomo dan Nyonya Everdina Bruring (Sumber foto: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Hari Kebangkitan Nasional selalu identik dengan Budi Utomo. Sebab tanggal 20 Mei yang diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional diambil dari sejarah berdirinya organisasi moderen yang aku prakarsai bersama kawan-kawan seperjuanganku.

Namaku Sutomo, salah seorang pelajar Sekolah Kedokteran Jawa atau juga dikenal dengan nama STOVIA, yang merupakan singkatan dari School tot Opleiding van Inlandsche Artsen. Aku adalah seorang pemuda asli Nganjuk, Jawa Timur. Nama asliku adalah Subroto dan aku dilahirkan pada tanggal 30 Juli 1888. Bila dihitung secara matematis, di bulan Juli nanti usiaku genap 132 tahun!

Bagi anak zaman now, mungkin nama-nama kawan mudaku -- yang pada masa itu ikut mendirikan organisasi Budi Utomo, terdengar kurang populer di telinga mereka. Sementara nama artis seperti Black Pink atau BTS mungkin jauh lebih "membumi" dan melekat di hati.

Berdirinya Budi Utomo itu sebenarnya adalah berkat saran seniorku yang usianya terpaut 36 tahun lebih tua dariku. Dialah Dokter Wahidin Sudirohusodo. Kami mengenal beliau sebagai seorang dokter yang dermawan dan suka bergaul dengan rakyat jelata. Kebiasaan suka bergaul dengan rakyat inilah yang sekarang populer kalian sebut "blusukan".

Semangat Dokter Wahidin begitu membara dan berkobar-kobar untuk melakukan usaha-usaha yang dikemudian hari diharapkan bisa membebaskan rakyat  dari belenggu penjajahan. Tentang pemikiran ini, kita sekarang mengenalnya dengan istilah "kemerdekaan".

Oiya, pada zaman itu, Dokter Wahidin berinisiatif mengumpulkan dana untuk mencerdaskan rakyat yang tidak bisa bersekolah, yang dikenal dengan nama Studie Fond. Tujuannya sudah jelas dan pasti yaitu untuk membuka wawasan dan pemikiran rakyat agar tergugah dan punya tekad  untuk berjuang bersama mengusir penjajah dari Bumi Pertiwi.


Saat mendirikan Budi Utomo, aku dan kawan-kawanku tidak pernah menyangka bahwa tanggal pendirian kelompok kami, di kemudian hari dijadikan salah satu tonggak sejarah bangsa ini. Bahkan, organisasi kami diakui sebagai organisasi awal pergerakan nasional. Sebuah nama yang keren dan membanggakan, bukan?

Tapi jujur saja kusampaikan, bahwa pada zaman itu, di kepalaku dan di kepala kawan-kawanku tak pernah terbersit akan menerima pengakuan seperti itu. Kami hanya berniat untuk mendirikan sebuah organisasi pelajar yang bisa kami jadikan sarana untuk memajukan pendidikan dan pengajaran, dengan beragam kegiatan yang kebanyakan bersifat sosial. Organisasi yang kami dirikan bukanlah organisasi politik, sebab organisasi sejenis itu sangat dilarang oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Nama Budi Utomo sendiri lahir bukan dari hasil pemikiranku sendiri, melainkan usul dari salah seorang kawanku yang bernama Suraji Tirtonegoro. Dia ahli bahasa Jawa. Dialah yang menjadi "penterjemah" antar anggota Budi Utomo dengan masyarakat Bumiputera yang "hanya memahami" bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Usia Suraji hanya terpaut satu tahun denganku.

Selain nama-nama di atas, aku juga ingin menceritakan tentang sahabat karibku yang bernama Gunawan Mangunkusumo. Kami memberikan kepercayaan kepadanya untuk menjabat sebagai sekretaris Budi Utomo. Berkat kepiawaiannya dalam berkomunikasi, keberadaan Budi Utomo begitu disegani baik oleh kawan maupun lawan kami. Syukurlah, visi, semangat, dan pandangan politiknya selalu "seia sekata" denganku.

Itu tadi sedikit perkenalan tentang nama para penggagas dan pendiri Budi Utomo di tahun 1908 silam. Nama kelompok kami ini diambil dari bahasa Sanskerta, yaitu bodhi atau budhi yang bermakna keberbukaan, kesadaran, akal, atau pengadilan. Dan pada masa itu manuver yang kami lakukan terbatas di daratan Jawa dan Madura.

Jika boleh kusebutkan, ada lima hal yang menjadi tujuan pendirian Budi Utomo. Pertama, menyadarkan kedudukan masyarakat Jawa, Sunda, dan Madura pada diri sendiri. Menumbuhkan kesadaran ini di kalangan masyarakat zamanku tidaklah mudah. Saat itu belum ada yang namanya Instagram, facebook, twitter, WhatsApp, atau beragam jenis media sosial lainnya. Sementara pertemuan-pertemuan yang kami adakan sangatlah dibatasi Belanda.

Kedua, berusaha meningkatkan kemajuan mata pencaharian serta penghidupan bangsa dengan memperdalam kesenian dan kebudayaan. Sebagai salah satu pendiri Budi Utomo, aku merasa senang karena sampai saat ini masih banyak masyarakat di Indonesia yang mau mempelajari sekaligus melestarikan budaya, tradisi, dan adat istiadat daerahnya. Meskipun aku sebenarnya juga merasa kecewa akibat segelintir anak bangsa yang lebih "mengagung-agungkan" bahasa dan budaya milik bangsa asing. Secara tidak sadar mereka mungkin tidak pernah merasa bahwa dirinya sudah "dijajah" bangsa lain! Coba seandainya mereka-mereka ini pernah hidup di zamanku, pasti mereka akan mengalami bagaimana rasanya dijajah itu. Sungguh tidak enak!

Tujuan ketiga adalah menjamin kehidupan sebagai bangsa yang terhormat. Semangat inilah yang sebenarnya membakar kami para pelajar STOVIA yang tergabung dalam Budi Utomo untuk mencari jalan bagi terwujudnya kemerdekaan Indonesia. Logikanya sederhana sekali, situasi dan kondisi sebagai "bangsa terjajah" tidak pernah menjadikan bangsa kami dihormati oleh bangsa lainnya di dunia ini. Orang-orang di luar Indonesia hanya tahu bahwa Indonesia adalah Hindia Belanda, negara jajahan sejak zaman VOC dahulu. Titik!

Nah, tujuan keempatnya adalah fokus pada masalah pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan. Menurut hemat kami, bila rakyat Bumiputera dapat berkemajuan di bidang pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan sekaligus, maka semua itu bisa menjadi "pintu awal" untuk menyatukan visi, misi, dan semangat kebangsaan kita untuk menjawab pertanyaan, "Mau dibawa kemana bangsa ini?"

Dan tujuan kelima perkumpulan Budi Utomo adalah membuka pemikiran penduduk Hindia  seluruhnya (baca: Indonesia Raya) tanpa melihat perbedaan keturunan, kelamin, dan agama. Sejak zaman nenek moyang kita dahulu, Indonesia itu memiliki keunikan dan kekayaan yang tidak dimiliki oleh bangsa manapun di dunia ini.

Sebagai organisasi pelajar STOVIA, Budi Utomo pada zaman itu selalu dimata-matai Belanda. Bahkan saudara-saudari kita para bangsawan yang menjadi penguasa birokrasi dan "kong-kalikong" dengan Belanda, menganggap kami sebagai "ancaman". Mereka takut dan khawatir, bila usaha-usaha Budi Utomo nantinya akan memberangus kekuasaan dan kemapanan yang mereka alami selama ini sebagai pemberian dari Pemerintah Hindia Belanda.

Karena pada zaman itu belum ada medsos dan internet, maka kami hanya memanfaatkan majalah stensilan kami yang terbit bulanan. Majalah itu kami beri nama "Goeroe Desa" yang dijiwai oleh niat kami untuk memajukan kaum Bumiputera di bidang pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan.

Dalam kesempatan ini aku juga ingin membagikan kisahku tentang STOVIA. Para pelajarnya adalah anak muda usia 14-15 tahun dan merupakan murid-murid berprestasi di sekolah sebelumnya. Pada zamanku, kebanyakan pelajar di STOVIA ini "bukan" berasal dari keluarga bangsawan atau ningrat, namun merupakan anak kaum "priyayi rendahan."

Mungkin nama Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tidak asing lagi di zaman ini. Dan STOVIA ini adalah cikal bakal keberadaan fakultas tersebut. Juga nama RSPAD Gatot Subroto Jakarta yang pastinya sangat terkenal se-Indonesia. Dulunya rumah sakit ini bernama Weltevreden yang berkedudukan di Batavia yang menjadi Ibukota Hindia Belanda.

Setelah menamatkan pendidikan di STOVIA, seorang Bumiputera akan mendapatkan gelar kedokteran yang disebut Dokter Jawa. Gelar itu berubah menjadi Inlandsch Arts (Dokter Bumiputera) dan kemudian diubah lagi menjadi Indisch Arts (Dokter Hindia).

Sekolah STOVIA yang berdiri tahun 1851 ini, sejak 1890 hanya menerima siswa dari tamatan sekolah dasar Belanda (Europesche Lagere School); karena dipandang mempunyai kecakapan berbahasa Belanda. Aturan ini berlaku hingga tahun 1915.

Sebagai seorang dokter, nuraniku merasa terusik dengan apa yang sudah terjadi di Indonesia saat ini. Tentu berita pandemi covid-19 menjadi salah satu berita populer yang ramai dibicarakan di mana-mana di tahun 2020. Pandemi yang disebabkan oleh virus corona jenis baru ini memang belum ada di zamanku. Tapi aku mau berbagi sedikit cerita tentang "wabah lain" yang pernah menjadi momok sekaligus memakan korban jiwa yang tidak sedikit di masa lalu.

Kami mengenal wabah itu dengan istilah "Maut Hitam". Wabah itu disebabkan oleh kutu-kutu tikus yang menjangkiti manusia dan dikenal dengan penyakit pes. Sejak 1910, Malang dilanda wabah ini. Menurut kabar, pada abad ke-14, wilayah Eropa juga pernah dilanda wabah mematikan ini. Sepertiga penduduknya tewas karenanya. Bila jumlah penduduk yang tewas saat itu digabungkan dengan kejadian serupa di Asia, India, Timur Tengah, dan Tiongkok, jumlah korbannya mencapai 75 juta jiwa! Angka yang fantastis, bukan?

Saat seseorang terjangkiti wabah ini, maka akan terjadi pembengkakan kelenjar getah bening, ketiak, atau pangkal pahanya. Ukurannya mulai sebesar biji telur sampai buah apel. Sebagian orang ada yang selamat, namun tak sedikit yang meninggal dalam rentang waktu tak sampai seminggu.

Karena banyak dokter asli Belanda "ogah" turun tangan untuk menangani wabah ini, maka aku bersama Dokter Cipto Mangunkusumo dan beberapa dokter pribumi memberikan diri untuk menjadi "garda terdepan" bagi rakyat Bumiputera yang menderita.

Jika sekarang tenaga medis dilengkapi dengan APD, obat-obatan, dan peralatan kedokteran yang serba canggih dalam menangani pandemi covid-19; di zaman kami semua itu belum ada. Tanpa masker, tanpa penutup mulut dan wajah, kami para dokter lulusan STOVIA, blusukan ke kampung-kampung untuk menolong para korban penyakit Maut Hitam itu. Kami sudah menyerahkan diri kami seutuhnya kepada nasib, biarlah perlindungan Allah SWT yang menjadi kekuatan bagi kami.

Kerajaan Belanda memberikan apresiasi kepada perjuangan kami. Kawanku yang bernama Dokter Cipto diberi anugerah gelar Ridder in de Orde van Oranje Nassau. Bagi kami gelar itu tidak banyak berarti, karena sebagai dokter, tugas menolong masyarakat Bumiputera adalah menjadi "panggilan jiwa" kami!

Wah, mengenang nostalgia masa lalu itu sebenarnya indah. Apalagi di bulan suci Ramadan 1441 H yang sebentar lagi akan berakhir. Mungkin di lain waktu kisah ini akan kulanjutkan. Sebelum kututup kisahku, aku mewakili kawan-kawanku anggota organisasi Budi Utomo, ingin mengucapkan kepada kalian semua, "Taqabbalallahu minna wa minkum, ja'alana minal a'idin wal fa'izin". Mohon maaf lahir dan batin dan selamat merayakan Hari Raya Lebaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun