Kita tumbuh dengan membayangkan Superman sebagai pahlawan. Sosok tegap dengan jubah merah dan simbol "S" di dadanya, melayang di langit, menantang gravitasi dan menegakkan keadilan. Tapi sedikit yang bertanya; bukan apa kekuatannya, tapi dari mana ia datang, dan mengapa ia harus menyembunyikan siapa dirinya sebenarnya.
Superman bukan sekadar tokoh fiksi. Ia adalah mitos modern. Tapi tak seperti dewa-dewa Yunani yang dilahirkan di puncak gunung atau di lautan emas, Superman lahir dari trauma, dari rasa kehilangan, dari kerinduan untuk memiliki rumah.
Pada tahun 1938, di tengah dunia yang belum pulih dari Depresi Besar dan mulai bergidik melihat bayang-bayang fasisme di Eropa, dua anak muda Yahudi ; Jerry Siegel dan Joe Shuster, menciptakan Superman. Mereka bukan raja industri. Mereka bukan pemilik kekuasaan. Mereka adalah anak dari imigran miskin asal Eropa Timur, yang dibesarkan dalam komunitas yang tahu rasanya jadi "yang lain".
Mereka tahu seperti apa rasanya disalahpahami, dikucilkan, dan hidup dalam masyarakat yang diam-diam (dan kadang terang-terangan) menolak keberadaannya. Maka tak heran kalau karakter pertama yang mereka ciptakan bukan pahlawan, tapi alien. Seorang bayi dari planet yang hancur, dikirim ke bumi oleh orangtuanya agar bisa selamat. Bukan karena kuat, tapi karena rapuh.
Dan dari situlah kisah dimulai.
Superman, atau Kal-El, nama aslinya, bukan pahlawan yang muncul karena ingin jadi terkenal. Ia bukan manusia super yang mendambakan kekuasaan. Ia hanya seorang anak dari tanah yang musnah, yang tumbuh di dunia baru dengan identitas yang tak pernah benar-benar bisa ia ungkapkan. Ia dibesarkan oleh pasangan petani sederhana di Kansas, Jonathan dan Martha Kent, yang mengajarkannya nilai-nilai kemanusiaan, kerja keras, dan kasih sayang.
Tapi bahkan ketika ia tumbuh dan menyadari kekuatannya, ia tetap menyembunyikan siapa dirinya sebenarnya. Ia menjadi Clark Kent; pria canggung berkacamata, wartawan biasa yang berbicara pelan dan menunduk saat berjalan. Sosok ini bukan sekadar samaran. Ia adalah cerminan dari banyak imigran Yahudi saat itu: orang-orang yang mengganti nama, mengubah cara berpakaian, menyembunyikan aksen, hanya agar bisa diterima sebagai bagian dari "Amerika".
Di sinilah ironi Superman begitu menyentuh: ia bisa menghancurkan dunia dengan satu pukulan, tapi takut untuk menunjukkan siapa dirinya. Ia memilih menyatu, bukan menonjol. Ia memilih melindungi, bukan mendominasi. Ia memilih menahan diri, bukan membalas.
Itulah cerita diaspora.
Dan itu pula yang membuat Superman lebih dari sekadar karakter komik. Ia adalah manifestasi dari pengalaman diaspora Yahudi, yang telah berpindah dari tanah ke tanah, dari negeri ke negeri, membawa warisan rasa bersalah, kehilangan, dan harapan. Ia adalah simbol dari mereka yang selamat --- tapi tak pernah benar-benar pulih. Dari mereka yang memberi banyak pada tempat baru, tapi tetap merasa asing di dalamnya.