Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Luruh Daun Jatuh, Di Antara Dua Paris

31 Juli 2011   17:47 Diperbarui: 27 Juli 2018   01:04 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Detak jantung pertamalah, saat kita masih janin dalam rahim, yang memicu kesadaran batang otak bahwa kematianmu sudah lebih dulu hadir menunggu.

“Bukan!” tukasmu cepat. “Batang otaklah yang lebih dahulu dibangunkan oleh kematian untuk mengingatkan agar jantung segera berdetak, dan itulah waktu ke-nol dari hidupmu!”“Hahahahaaa…, kenapa selalu kita berdebat tentang sesuatu yang tidak bisa kita ingat Hannah. Tidak penting sesungguhnya, apakah yang lebih dulu memulai hidup, apakah kesadaran dalam batang otak, ataukah detak jantung pertama. Bahkan ketika Kau lebih tua beberapa bulan saat Kau lahir, takkan terbetik dalam pikiranmu untuk bertanya tanggal berapakah saat itu.”Hei…, jangan Kau samakan aku dengan dirimu atau orang-orang kebanyakan yaa…! Tidak hanya tanggal yang aku tanyakan, atau di manakah aku berada, bahkan sempat kumarahi pula mereka, betapa keriangan mereka menyambut kehadiranku sungguh sangat-sangat berisik!”

Saat itu, suhu udara kiranya turun 60C dari suhu normal. Aku senantiasa mengingat percakapan-percakapan itu yang nyaris abadi seperti pahatan pada batutulis. Ahooi…, andai sang waktu bermurah hati mengembalikan kebersamaan kita itu walau separuh saja.

“Kaulah yang berkata, jarak terjauh yang takkan pernah bisa tertempuh adalah masa lalu. Jadi, kenapa selalu saja Kau ulang-ulang pembahasan tentang mesin waktu, perjalanan ke masa silam, tamasya ke masa depan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu?”“Barangkali karena aku masih akui kata “Seandainya” dan “Mungkin” tertera dalam kamus hidupku.”“Itulah, dua kata yang menciptakan dinding pemisah dirimu dengan masa kini. Hiduplah Martin! Hiduplah tanpa “Seandainya” dan “Mungkin”. Maka akan Kau dapati hidupmu berada pada masa kini!”

Kalender meja yang kupandangi itu agak buram nampaknya. Bukan oleh debu atau jamur, pasti. Aku selalu membersihkannya dengan hati-hati. Barangkali asam atau residu kimia dalam dirinya sendiri. Sungguh aneh, bahkan kalender pun pada akhirnya akan lapuk dimakan usia.Angka di sudut kiri atas menunjukkan seharusnya ia sudah berganti 7 kali, pada bulan di mana suhu udara harian akan turun beberapa derajat bila dibandingkan dengan bulan lain. Itulah saat kuputuskan untuk bercerai dengan segala macam administrasi yang berhubungan dengan waktu.

“Begitulah Hannah,” ujarku, “Kalender dan arloji adalah aparat yang paling berkuasa, diktator yang kita ciptakan sendiri tanpa kita kuasa memberontak dan membebaskan diri. Kapan kita janjian, kapan kakakmu menikah, atau kapan manusia pertama mendarat di bulan. Itulah diktator yang mengendalikan hidup kita, “Kapan” itu! Kalender dan arloji mengiris waktu menjadi serpihan-serpihan setajam kaca yang menyayat kalbu....”“Tapi, bukankah tidak kurang Tuhan juga yang mengajar kita agar hidup dengan administrasi yang ketat?”“Benar, Dia telah menjadwalkan segala sesuatu pada waktunya, menurut kepastian dengan presisi dan akurasi Maha Sempurna, tidak setetes air hujan jatuh, atau selembar daun luruh, yang lolos dari PengetahuanNya. Dan berlaku pula JadwalNya itu pada diri kita. Kita yang jasad, yang memiliki darah dan daging dengan protein yang serupa dengan protein pada darah dan daging hewan, atau pada kacang polong-polongan. Sedangkan diri yang “Diri” seharusnyalah merdeka buat menentukan apakah akan tunduk pada Jadwal itu ataukah tidak!”“Aku tak paham!”Hmmm…, itu mungkin karena Kau tidak menyimak, Engkau hadir di sini, tetapi kesadaranmu tertambat di rumah, atau pergi ke tempat yang berbeda. Tetapi baiklah, untukmu aku bersedia mengulang dan menjelaskannya kembali,” jawabku kesal.

Sesungguhnya aku tidak paham apa yang membuatmu berbeda sekarang. Manajemen perusahaan baru dengan visi yang berkarat, semacam keterhanyutan dalam trend masa kini, aku, ataukah mungkin hormon dari kelenjar-kelenjar dalam tubuhmu yang telah mengatur ulang perubahan itu. Perubahan yang berada di luar kuasa atau keterlibatanku.Tidak setiap gerak berada dalam wilayah kekuasaanmu. Pada saat tidur, kau serahkan kapal proteinmu pada seseorang, semacam pilot otomatis, atau supir tembak, yang boleh saja berkhianat tanpa kau tahu. Tahukah,  pada suatu pagi ketika matahari baru setinggi galah, aku bangun dengan kebas di lengan. Kupandangi lengan itu seolah-olah punya siapa. Itulah pertama kali aku berjarak dengan diriku sendiri. Sejak itu kami jadi saling curiga, saling mengintai.Tentu saja perasaan tak aman terus-menerus itu menghisap susut habis darahku seperti lintah. Sehingga, bukan sekali dua kuhanyutkan nasibku serupa daun kering yang luruh pada anak sungai di hulu, menemu muara, dan menuju muara lain yang lebih besar.

“Aku benci dengan hobi fatalistikmu!”“Sebagaimana aku juga benci dengan kehendak bebasmu!”“Di manakah keseimbangan, lalu?”“Di suatu tempat di tapal batas, di antara siang dan malam, di antara benda dan bayangan!”

Bayanganmu, ilusi optik yang selalu ada dalam jangkauan jarak pandangku, entah dekat, entah jauh, entah ketika lelap, entah ketika jaga. Dalam 21 jam 35 menit perjalanan di antara dua Paris, kelebatmu kian kerap.Hai, Kau datang 2 jam lebih cepat, tunggu, kubuatkan kopi tumbuk, sebentar saja, tinggal menyeduh saja kok. Tentu kau lelah setelah sekian jam dalam perjalanan.”

Perjalanan. Salah satu minatku dalam hidup ini adalah kartografi, melanjutkan pertanyaan-pertanyaan dan rasa penasaran masa kanakkanak pada simpul-simpul jalan yang kulalui. Di manakah masing-masing ujungnya, jika punya. Seperti juga selalu kau tanyakan nasib kerabat atau sahabatmu yang sekian lama tak jumpa. Pertanyaan konfirmasimu itu bukan untuk menentukan di mana posisi dia, namun lebih ke posisimu sendiri. Atau ketika reuni sekolah menengah yang kauhadiri, kepentinganmu bukan menumpahkan rasa kangen, tapi untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan, di mana peringkatmu berada. Lalu kau bangga, betapa tinggi kedudukanmu di antara mereka, atau kau resah, betapa jauh engkau tertinggal.“Perjalanan apa yang paling meletihkan?”“Perjalanan yang tidak Kau ketahui di mana sesungguhnya akhir dari tujuan perjalananmu itu.”Oooh…, begitukah?”Yaah, tentu saja, semua orang tau itu!”“Tapi aku tidak!”“Aku bilang semua orang, kuulangi O-R-A-N-G!”Hahahahaaaa…, sialan Kau! Kadang-kadang Kau memang sungguh-sungguh sialan!”Aku mengelak, dan kertas yang kau remas itu lewat di atas kepalaku.

Aku menangis dalam diam tanpa air mata. Sudah cukup tetes-tetes air hujan di pelupuk jendela yang mewakilinya. Naturaleza Muerta Sarah Brightman yang bening, sepi bergeming. Kopi yang kupesan sudah dingin sedari tadi, tanpa sereguk pun kuhirup.  Kehangatannya saja barangkali yang berhasil mengalir lewat dekapan telapak tangan. Mungkin karena bukan kau yang menyeduhnya, atau karena kau tak lagi akan hadir di sini, maka aku enggan.

“Martin, pusaran waktu takkan mampu Kau lawan. Hidup adalah gedung dengan bilik-biliknya. Kau tidak dapat berada di dua bilik dalam waktu yang bersamaan. Keputusanmulah yang menentukan urutan bilik-bilik yang akan Kau masuki, dan setiap bilik memiliki pernak-perniknya sendiri. Kau boleh menjelajahinya menurut anjuran orang-orang, atau mengikuti petunjuk di buku panduan, atau kau tentukan rute yang Kau pilih sendiri. Hanya satu peraturannya, sekali lagi, Kau tidak dapat berada dalam dua bilik secara bersamaan. Hanya itu, dan se-simple itu.”

Dalam diam itu aku merenung, betapa kau lebih banyak benarnya dengan kata-katamu, ternyata. Benarlah juga mengenai pusaran, bilik waktu, dan aturan yang simple itu. Aku telah mengacaukan semuanya hingga menjadi rumit. Tapi, siapakah yang tahu rumit tidaknya masa depan, sedang aku kadung gagal memahami masa kini, atau masa lalu yang telah terjadi.

Paris van Java senja itu sedang lengang, hanya satu dua pelayan yang menunggu di sudut-sudut, tidak seperti biasanya. Entahlah apa sebab, mungkin karena hari itu hari kerja, mungkin juga karena senja itu sendiri, yang mengeluh kedinginan dalam dera gerimis tak berkesudahan.Sesungguhnya beberapa potong t-shirt sudah akan kubeli, sudah kuberi tanda dalam ingatan. Namun di ujung koridor itu aku tertegun, menemumu  berdiri, membaca dengan tekun.Tidak biasa di dalam distro orang memajang buku, walaupun cuma beberapa judul saja. Tetapi itulah yang terjadi. Semenarik apa sih buku yang dijual di sini, yang dibaca gadis itu?“Maaf buku itu sudah dipesan!,” jawab pelayan.“Tigatiganya?,” tanyaku tentang buku yang tersisa.“Boleh, kalau Mbaknya ini mengijinkan.”Dan kau tersenyum.“Silakan, ambil saja satu, tadinya memang sudah mau saya ambil untuk oleh-oleh,” katamu ramah, senyum yang terbit begitu saja tanpa maksud apa-apa, semata-mata karena kau memang ramah.Ohh, terima kasih…!,” kataku kembali mengulang, ketika kau pun lalu menolak untuk membiarkanku membayar sendiri buku itu.

Dan, mistik keseharian*), yang kuperoleh darimu telah menjadi monumen termahal yang kumiliki sekarang. Masih kunikmati tiap sela huruf-huruf dan kalimatnya, bersama kopi tumbuk rembang petang .Kini, kujelajahi bilik-bilik kehidupanku satu demi satu, tanpamu, dengan suatu regangan emosi yang terentang antara kalender meja buram dan masa lalu tujuh tahun silam. Mungkin sebaiknya aku hidup di masa kini saja, sesuai dengan saranmu dahulu. Tetapi bagaimana bisa? Itu berarti harus kutinggalkan semua kenangan, termasuk meruntuhkan monumen penanda kehadiranmu dalam beberapa fase hidupku, sedang kau tiada pernah akan kembali menggantikannya. ***

…disini, saat ini…


 *) Heidegger dan Mistik Keseharian, ditulis oleh Francisco Budi Hardiman, 2003. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun