Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Megawati Ketuk Pintu Cendana, Piye Kabare Pak Harto?

25 November 2020   09:30 Diperbarui: 25 November 2020   09:39 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Grafiti bertema mantan Presiden Soeharto di bak truk (tribunnews.com).

Kini kesempatan itu ada, dan muncullah pernyataan di atas yang disampaikan kepada Menteri Pendidikan Nadiem Makarim. Bola ada di tangan Nadiem dan akademisi yang berkompeten.

Mega mengangkat kembali isu pelurusan sejarah tahun 1965 untuk memilah mana yang fakta dengan mana yang propaganda atau hoax. Di sana ada perebutan tafsir yang terjadi antara dua klan politik yang berpengaruh.

Kubu pro Cendana ingin melanggengkan versi orba, antara lain lewat gencarnya isu PKI sejak Jokowi maju Pilpres 2014. Ketika ia maju Pilgub DKI 2012 di mana Gerindra menjadi pengusung, tak ada isu PKI itu.

Poster film tentang penumpasan G 30S PKI karya sutradara Arifin C Noer yang diproduksi ketika Soeharto berkuasa (Foto: detik.com).
Poster film tentang penumpasan G 30S PKI karya sutradara Arifin C Noer yang diproduksi ketika Soeharto berkuasa (Foto: detik.com).
Salah satu fakta otentik yang dapat dilacak lewat jejak yang masih hangat adalah wacana nonton bareng film pemberontakan PKI. Film tersebut adalah bentuk komunikasi sejarah versi Soeharto yang ketika Jenderal Gatot Nurmantyo jadi panglima ingin dihidupkan kembali.

Gatot kemudian menjadi tokoh KAMI pasca-pensiun dari dinas TNI dan mengatakan ia dipecat gara-gara soal film PKI itu. Istana menolak klaim Gatot itu dan malah menganugerahi Bintang Mahaputera.

Fakta lain adalah bergabungnya Prabowo ke kubu Jokowi. Klan Soeharto tak ikut, tetap bersama oposan lain seperti KAMI, FPI, PA 212, dan simpatisannya yang konsisten vocal dengan isu kebangkitan komunisme. Bandingkan dengan Demokrat yang relatif netral meski tak ikut diboyong ke istana.

Mega sebagai pimpinan tertinggi PDIP, partai pengusung presiden petahana, tentu tak senang menjadi korban  persekusi sejarah tahun 65. Namun apa yang dilontarkannya bukan berupa serangan balik secara langsung. Ia hanya membuka tantangan kepada semua pihak, beranikah bersikap terbuka atas tragedi di penghujung kekuasaan bapaknya.

Ibarat dua sopir adu mulut di pinggir jalan setelah tabrakan. Satu ngotot merasa paling benar, satu mengajak ke kantor polisi.

Sekarang tinggal menunggu polisi sejarah dan akademisi untuk menjadi wasit pengadil. Bagaimana sesungguhnya kejadian pada tahun 1965-1966 berlangsung perlu disampaikan ke publik, demikian keinginan Megawati.

Sementara di ujung kubur sana barangkali Pak Harto semakin gelisah. Masa lalunya terancam diajukan ke mahkamah sejarah sedangkan kekuasaan tak ada lagi dalam genggaman.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun