Pencurian ikan oleh nelayan asing di Natuna semakin meningkat saat pandemi corona merajalela. Laut Natuna adalah perairan kaya ikan favorit nelayan asing tetapi jarang dijelajahi nelayan kita. Bobot kapal nelayan lokal umumnya kecil-kecil, kurang pede berhadapan dengan kapal pencuri yang gede-gede.
Selain penjarahan dengan kerugian Rp 56 triliun per tahun tersebut, kini kembali diperbincangkan polemik ekspor benih lobster dan rencana legalisasi cantrang. Orientasi kemaritiman Kementerian Kelautan dan Perikanan dianggap bergeser dari eksploitasi berkelanjutan menjadi eksploitasi sepenuhnya. Cepat untung di depan tetapi berisiko di belakang hari.
Tak sabar dengan masa depan laut yang suram, mantan Menteri KKP Susi Pudjiastuti bersuara. Meski sekarang lebih banyak mengisi waktu bersama keluarga tetapi perhatiannya terhadap konservasi laut tidak mengendur. Tak hanya menyoal (lagi) baby lobster yang diincar Vietnam, Susi juga memprotes izin kapal ikan besar dan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
Susi Pudjiastuti, 10/ 06/ 2020 (twitter.com/ @susipudjiastuti):
"Ikan sudah banyak saatnya Kapal2 Raksasa Cantrang, Trawl, Purseiners dll mengeruk kembali.. Saatnya panen bibit lobster yg sudah ditunggu tunggu Vietnam. Inilah Investasi yg kita banggakan...."
Beroperasinya kapal penangkap ikan berbobot 200 GT (gross tonnage) ke atas menurut Susi dapat menimbulkan konflik horizontal dengan 2,7 juta nelayan yang kapalnya cuma 7-10 GT. Sementara itu 8 alat penangkap ikan (API) yang dipermasalahkan, sebelumnya merupakan alat tangkap terlarang atau belum diatur penggunaannya. Delapan API yang berpotensi merusak daur hidup biota laut tersebut yaitu:
1. pukat cincin pelagit kecil dengan dua kapal,
2. pukat cincin pelagit besar dengan dua kapal,
3. payang,
4. cantrang,
5. pukat hela dasar udang,
6. pancing berjoran,
7. pancing cumi mekanis (squid jigging), dan,