Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Identitas, Tes DNA, dan Udel yang Suka Seenaknya Sendiri

21 Oktober 2019   00:03 Diperbarui: 21 Oktober 2019   00:53 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi model fragmen DNA (irishtimes.com).

Ada satu novel yang dahulu pernah hampir saya abaikan hanya karena ukurannya yang terlalu tipis sehingga  tampak 'kurang meyakinkan'.  

Untunglah nama sang pengarang  segera menghentikan perburuan literal pada hari itu yang berlangsung random.  Milan Kundera.

Membaca "Identitas"  membawa saya pada suatu dimensi yang sedikit berkabut berlapis.

Novel  penulis Ceko ini seolah menyajikan labirin sehingga memaksa pembacanya  untuk merenung dan membaca berulang kali penuturannya.

Sampai pada satu kesadaran bahwa  ada pesan subtil yang agaknya hendak disampaikan Kundera. Kita sesungguhnya tak pernah selesai bertarung di dalam diri sendiri untuk menemukan identitas.

Saya tantang Anda untuk menunjukkan jati diri secara utuh.

Apakah akan menepuk dada? Lho itu kan dada, bukan Anda.

Apakah akan menepuk jidat? Lho kok malah bingung.

Atau, Anda mau menunjuk udel? Lho, apa nggak malu?

Secara fisik saja sulit sekali kita mengidentifikasi manusia karena tubuh tersusun oleh banyak organ yang secara simultan menjadi  individu itu sendiri.

Potret diri yang tak pernah selesai

Descartes mengatakan satu pernyataan tentang eksistensi,  yang sangat terkenal hingga sekarang:   "cogito ergo sum". Aku berpikir maka aku ada. Kesadaran  atau pikiranlah  yang (paling) mungkin  dapat mewakili keberadaan  diri kita dalam semesta.

Persoalannya; pikiran, logika, atau  goresan di dalam hati  itu sendiri tidak pernah statis. Selalu berubah. Banyak ambigu, inkonsistensi,  atau kontradiksi, seperti yang dapat kita lihat bertebaran di sekeliling kita.

Peribahasa Jawa "esuk dhele sore tempe", menunjukkan ke-tidakkonsisten-an  yang dipandang  negatif sebagai sikap tidak punya pendirian atau berubah terlalu cepat.

Jika kita tarik garis lurus ke dalam kehidupan manusia  termasuk sosial politik, gejalanya ada. Berlimpah.

Tidak perlu heran adanya fenomena politisi balik kanan, kemarin oposisi sekarang berada di sisi. Sementara yang tadinya berada di sisi (karena gerah) malah sedang mencari jalan beroposisi.

Hijrah itu dinamis

Di dalam keyakinan beragama juga begitu, ada (dalam istilah Islam) fenomena hijrah; bahkan ada yang beralih keyakinan, mualaf atau murtad.

Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa manusia sejatinya tak pernah berhenti mencari untuk menemukan. Menemukan sesuatu yang entah, yang akan baru ia ketahui justru setelah mendapatkannya.

Pencarian itu  kadang gagal, karena tertipu tampilan, bias asumsi, atau ilusi.

Yang paling otentik  sebagai salah satu rujukan adalah pengembaraan spiritualitas Ibrahim. Petunjuk yang ia ikuti adalah benda-benda langit, yang dapat dilihat secara kasat mata .

Ibrahim mencari 'sesuatu' yang tidak mungkin ia temukan kecuali 'sesuatu' itu sendiri yang memperkenalkan diri-NYA.  Tuhan.

Ibrahim (dilanjutkan para nabi keturunannya) menempuh jalan seperti  itu dan sudah selesai. Tuntas. Kita tidak mungkin mengulangi, mencari dari bentuk yang paling mentah; kalau tidak mau tersesat.

Karena sekarang agama  --seperangkat paket lengkap tata cara ber-Tuhan--  sudah ada, maka kita tinggal menikmati 'sajian' yang tersedia. Sesuai selera (baca: keyakinan) masing-masing.

Dalam jamuan makan kita hanya bisa 'promosi'. 

"Gurami asam manis ini enak lho Mbak" atau "arsik ikan mas ini maknyuss lho Mas".

Tidak bisa kita mengancam "Bapak Ibu, hadirin semua, pecel lele yang saya makan ini adalah yang paling enak. Oleh karena itu Anda semua harus ikut makan yaa! Kalau tidak, saya pentung satu per satu!"

Ketika berada dalam satu wadah keyakinan, persoalan pencarian identitas tidak lantas selesai.

Muncul lagi tantangan baru untuk mempurifikasi.  Ada  proses dinamis  yang tidak pernah rehat.

Ia saya Islam, tapi Islam apa? Abangan, santri, atau bunglon?

Mazhab dan aliran juga banyak ragamnya. Ada Syafii, Maliki, Hambali, Hanafi. Komunitas atau gerakan pun macam-macam, bisa puluhan jumlahnya. Ada Wahabi, Aswaja (Ahlusunnah wal jamaah), Syi'ah. Sangat beragam.

Pantas dahulu Deddy Corbuzier sempat bingung. Kalau saya mau masuk Islam saya belajar sama siapa?

Tidak ada satu umat beragama yang sedari lahir hingga saat ini masih utuh seperti sejak awal terbentuk.

Indonesia dites DNA-nya

Pada tataran kebangsaan, gejala untuk  identifikasi diri itu tidak jauh berbeda polanya. Serupa tapi tak sama.

Yang kita sebut Indonesia itu awalnya adalah satu gagasan imajiner. Tentang sekelompok penduduk, segugusan wilayah, yang diikat sekaligus dikelola oleh satu kesepakatan yang disebut konstitusi.

Sekarang kita balik. Kita punya konstitusi, tapi penduduknya tidak mengakui lagi kesepakatan yang tertuang di dalamnya. Apa yang terjadi? Bubar.

Di situlah titik kritis kebangsaan. Titik yang berada dalam relasi antara konstitusi  tekstual dengan  kesadaran  yang ada dalam pikiran warga negara untuk mengakui  dan tunduk pada kesepakatan di dalamnya.

Ambil contoh kasus Veronica Koman yang tengah hangat diperbincangkan.

Ketika Veronica Koman diburu polisi atas keterlibatannya dalam kerusuhan Papua, maka seharusnya dia elegan bertanggung jawab, membela diri dengan tata cara yang sesuai dengan konstitusi kita. Hukum yang berlaku di Indonesia.

Fakta bahwa dia malah lapor ke Parlemen Australia mengarahkan kita pada satu pertanyaan: Veronica Koman  itu warga Indonesia atau Australia?

Veronica Koman dengan anggota Parlemen Australia setelah membahas keadaan yang berlangsung di Papua (okezone.com).
Veronica Koman dengan anggota Parlemen Australia setelah membahas keadaan yang berlangsung di Papua (okezone.com).
Konstitusi kita UUD dan Pancasila yang lahir (disepakati) tahun 1945. Sementara penduduknya sudah ada jauh lebih tua dari waktu itu. Dengan identitas etnis dan agama masing-masing yang dianutnya.

Ketika  muncul wacana dikotomis antara pribumi dan non-pribumi; pendatang dan penduduk lokal; maka jawaban ilmiah diperlukan untuk menyelesaikannya.

Berkaitan dengan isu identitas itu, Lembaga Biomolekuler Eijkman  meneliti DNA sejumlah relawan. Pesohor yang ikut tes DNA tersebut  antara lain: Najwa Shihab, Edo Kondologit, Ariel Noah, Ayu Utami, Riri Riza, dan Mira Lesmana.

Hasilnya, bagi yang paham biologi dasar, mudah diduga. Gen yang ada dalam tubuh penduduk Indonesia merupakan perpaduan dari aneka ras atau etnis yang ada di dunia.

Bahkan, tanpa tes semacam itu pun ada semacam keyakinan teoritis di kalangan ilmuwan genetika  untuk soal ini.

Seandainya di muka bumi ini hanya tertinggal cuma satu   etnis saja (akibat perang atau penyakit) maka dalam tempo sekian ribu tahun keragaman etnis akan pulih kembali!

Dengan kata lain genosida itu mustahil. Umat manusia saling berbagi informasi genetik di dalam dirinya sendiri.

Distribusi genetik yang ditampilkan dalam ASOI, Pameran tentang Asal Usul Orang Indonesia (kumparan.com).
Distribusi genetik yang ditampilkan dalam ASOI, Pameran tentang Asal Usul Orang Indonesia (kumparan.com).
Fakta-fakta di atas semestinya dapat mengikis nafsu eksistensial  yang berlebihan.

Bertindak rasialis kepada orang lain atau dengan sengaja malah mendiskriminasi diri sendiri. Tidak ada gunanya dan bertentangan dengan sains modern yang dapat diverifikasi.

Identitas dalam konteks apapun tidak pernah ada yang tunggal. Pasti beragam. Oleh karena itu politik identitas pasti akan menemui jalan buntunya sendiri. Setelah tabrak sana tubruk sini.

Irisan antar elemen  itu sendiri  bahkan menimbulkan jauh  lebih banyak lagi keragaman.

Di kalangan suku Jawa agama yang dianutnya pasti beragam. Demikian juga orang Sunda, Bali, Tionghoa,  Papua dan lainnya. Sebaliknya, dalam satu agama tidak ada satu etnis dominan yang berhak mengklaim sebagai representasi paling otentik dari agama itu sendiri.

Di sinilah letak pentingnya aturan main dalam berinteraksi.  Kata kuncinya antara lain: toleransi dan kesetaraan.

Aturan yang menjamin agar setiap entitas mampu eksis setara. Duduk sama rendah berdiri sama tinggi.

Agar tidak ada yang tersisih atau yang merasa lebih tinggi akibat ulah segelintir,  yang bertindak seenak udelnya sendiri. Dalam konteks kebangsaan aturan main itu dinamakan konstitusi itu tadi.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun