Mari jujur: kita semua pernah melihatnya. Seorang ASN cemerlang tak kunjung naik jabatan karena tak punya “jalur politik.” Seorang profesional muda tersingkir dari proyek karena tak “satu geng” dengan atasan. Atau ada istilah lain: "Gerbongnya berbeda". Bahkan dalam kampus, mahasiswa berprestasi kalah oleh mereka yang lebih pandai melobi.
Fenomena ini tidak hanya menurunkan produktivitas, tapi juga menciptakan luka sosial yang dalam, yaitu hilangnya rasa adil. Masyarakat menjadi korban jangka panjang dari keputusan yang salah arah. Dalam jangka waktu lama, koneksi tanpa kompetensi akan melahirkan state capture: negara yang dikuasai oleh jejaring pribadi, bukan kepentingan publik.
Pelajaran dari Negeri yang Lebih Maju
Bukti empiris menunjukkan, negara yang menegakkan meritokrasi memiliki setidaknya dua keuntungan. Pertama, tingkat korupsi yang lebih rendah, dan kedua; kepercayaan publik yang lebih tinggi. Singapura, misalnya, menempatkan merit sebagai nilai sakral dalam birokrasi. Transparansi rekrutmen dan penghargaan berbasis kinerja menjadikan sistemnya tangguh.
Sebaliknya, di negara-negara dengan budaya patronase kuat, seperti beberapa negara di Asia Selatan atau Afrika, indeks korupsi cenderung tinggi, dan kepercayaan warga terhadap institusi menurun drastis. Indonesia, sayangnya, masih berjuang di antara dua kutub ini: idealisme meritokrasi dan realitas koneksi.
Refleksi: Siapa yang Diuntungkan?
Pertanyaan pentingnya: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari sistem berbasis koneksi? Tentu saja mereka yang berada di lingkaran dalam. Namun, dalam jangka panjang, semua pihak senyatanya rugi. Bahkan juga bagi mereka yang kini di atas. Sistem yang tidak sehat pada akhirnya akan menggulung siapa pun di dalamnya.
Dan apakah publik sadar biaya sosial yang mereka tanggung akibat pejabat “titipan”? Setiap kebijakan yang salah arah, setiap anggaran yang bocor, setiap pelayanan publik yang lambat, semuanya ada harganya. Harga yang kita bayar dari sistem yang mengorbankan kompetensi demi kedekatan.
Antara Realitas dan Harapan
Meskipun begitu, bukan berarti harapan telah mati. Generasi muda Indonesia kini tumbuh di tengah akses informasi yang luas, dimana transparansi menjadi nilai baru. Banyak startup, komunitas profesional, dan lembaga swasta mulai menerapkan sistem penilaian berbasis hasil, bukan hubungan.
Namun, untuk mengubah budaya koneksi menjadi budaya kompetensi, dibutuhkan keberanian. Yaitu keberanian untuk menolak titipan, untuk tidak memaklumi “jalur cepat,” dan untuk membangun jaringan atas dasar kapabilitas. Bukan kepentingan.
Membangun Etika Sosial Baru
Solusinya bukan sekadar regulasi, tapi perubahan nilai sosial. Reformasi birokrasi harus menanamkan prinsip sederhana: layak karena memang layak, dan bukan karena dekat. Transparansi rekrutmen, audit kompetensi, dan reward berbasis kinerja harus menjadi budaya, bukan sekadar program.
Kita perlu menanamkan kesadaran bahwa koneksi dan kompetensi bukan musuh, selama koneksi lahir dari prestasi. Koneksi yang sehat adalah yang digunakan untuk membuka kesempatan bagi yang layak, bukan menutup pintu bagi yang pantas.
Penutup: Cermin untuk Kita Sendiri
“Integritas adalah mata uang sejati dalam dunia yang menjadikan koneksi sebagai alat tukar kekuasaan. Mereka yang berpegang pada kompetensi mungkin berjalan lebih lambat, tapi langkahnya meninggalkan jejak yang bertahan lebih lama.” ~ Ade Fuad Muliawan