Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Transformative Human Development Coach | Penulis 4 Buku

Agung MSG – 🌱 Transformative Human Development Coach ✨ Mendampingi profesional bertumbuh lewat self-leadership, komunikasi, dan menulis untuk reputasi. 📚 Penulis 4 buku dan 1.400+ artikel inspiratif di Kompasiana. 💡 Penggagas HAI Edumain – filosofi belajar dan berkarya dengan hati, akal, dan ilmu. 📧 agungmsg@gmail.com | 🔗 bit.ly/blogagungmsg | 📱 @agungmsg 🔖 #TransformativeCoach #LeadershipWriting #GrowWithAgung “Menulis bukan sekadar merangkai kata, tapi merawat jiwa dan meninggalkan jejak makna.”

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Antara Koneksi, Kompetensi, dan Prestasi: Siapa yang Sebenarnya Berkuasa di Negeri Ini?

13 Oktober 2025   08:29 Diperbarui: 12 Oktober 2025   21:42 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Tanpa meritokrasi, jabatan berubah dari amanah menjadi transaksi.”

Kalimat ini mungkin terdengar idealistis. Tapi, justru itulah yang kini langka kita dengar. Dalam percakapan di kafe, di grup kantor, bahkan di ruang publik, kita sering mendengar keluhan serupa: “Yang penting punya ordal - orang dalam.” Bagi saya pribadi, ucapan itu bikin surprise, namun fakta kini sudah berbicara lain lagi. Ya, fenomena yang dulu kita anggap aib, malah kini terasa seperti norma baru.

Antara Mimpi Meritokrasi dan Realitas Patronase

“Di negeri di mana ‘orang dalam’ lebih berharga daripada nilai cum laude, seberapa jauh sebenarnya meritokrasi bisa melangkah?”

Asumsi dasar kita sederhana: jabatan publik atau posisi strategis semestinya diberikan kepada yang paling kompeten, berprestasi, dan berintegritas. Ada seabreg stock orang yang qualified ada di negeri ini. Baik itu lulusan dari luar negeri, maupun dari dalam negeri sendiri. Namun, realitas sosial-politik Indonesia ini memang “aneh bin ajaib”. Yang terjadi, justru sering kali menunjukkan sebaliknya. Ya, dalam banyak kasus, koneksi lebih berdaya dibanding kompetensi.

Tak jarang, saya pribadi suka kehilangan kata-kata untuk mensikapinya.

Meskipun demikian, sistem yang berakar pada patronase dan nepotisme ini sebenarnya bukan hal baru. Dari masa kerajaan jaman doeloe hingga era politik “modern” sekarang ini, hubungan patron-klien telah menjadi bagian dari budaya kekuasaan kita. Bedanya, di era sekarang, dampaknya jauh lebih luas. Akibatnya, kebijakan publik, pelayanan masyarakat, bahkan kepercayaan terhadap negara ikut terdampak.

Koneksi: Mata Uang Sosial atau Racun Halus?

Lucunya, pendukung sistem berbasis koneksi sering berargumen secara pragmatis. Ada semacam alasan yang sengaja diciptakan untuk masuk akal. Katanya, bahwa koneksi itu mempercepat koordinasi, menjaga loyalitas, dan memperkuat kepercayaan di antara pejabat. Katanya juga, “Dia sih orangnya ngerti dan klik dengan saya. Saya bicara sedikit saja, dia sudah tahu apa yang harus dia lakukan."

Tapi, senyatanya ada satu sisi yang mungkin orang lupa. Bahwa, loyalitas tanpa kompetensi justru menciptakan budaya “yes man”. Akibatnya, para pelaksana pada umumnya takut berbeda pendapat, padahal perbedaan itulah bahan bakar inovasi. Mereka juga memilih cara aman, yang penting posisi dan jabatan yang dipegang aman. Meski dalam pelaksanaannya yang bersangkutan seringkali mengeluh ini dan itu.

Selain alasan diatas, ada pula argumen budaya. Bahwa, dalam masyarakat yang menjunjung nilai balas budi, patronase dianggap wajar. Namun, dalam konteks modern governance, sistem ini menjadi racun halus yang mem; bunuh profesionalisme dari dalam. Struktur bisa rapuh, etos kerja bisa lemah. Akibat lebih jauh: kinerja menurun, moral ASN rusak, dan publik kehilangan kepercayaan pada negara.

Jika jabatan diberikan karena koneksi, maka proses seleksi kehilangan fungsi evaluatifnya. Hasilnya: orang yang mampu akan tersisih, malah yang dekat naik ke atas. Sementara yang berprestasi bisa berhenti berjuang.

Krisis Meritokrasi di Negeri yang Mengagungkan Relasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun