Tanda tanya di akhir kalimat menunjukkan ajakan untuk berpikir, bukan penegasan doktrin. Inilah cara yang lebih selaras dengan etika ilmiah dan adab dakwah para ulama.
Menjaga Niat, Ilmu dan Etika Ilmiah
Para konselor, guru, pendidik, motivator Muslim dan pendakwah tentu memiliki niat baik untuk memotivasi umat. Mereka ingin memberi manfaat. Namun ketika menyentuh wilayah aqidah, hendaknya setiap istilah diikat dengan penjelasan ilmu agar tidak menimbulkan tafsir keliru. Begitu juga ketika menyentuh istilah teologis seperti takdir, taqwa, atau iman, perlu kehati-hatian agar tidak mengaburkan makna syar'i.
Dalam manhaj salaf, setiap perkara yang berkaitan dengan keimanan wajib ditegakkan di atas ilmu yang sahih, bukan sekadar semangat atau retorika. Dengan kata lain, dalam dakwah, setiap kata yang menyentuh wilayah aqidah wajib diikat dengan ilmu, bukan sekadar rasa atau semangat.
Keseimbangan Antara Akal dan Iman, Antara Ikhtiar dan Tawakal
Islam mendorong manusia untuk berpikir, berikhtiar, dan memperbaiki diri. Namun di atas semua itu, seorang mukmin yakin bahwa hasil akhir berada di tangan Allah.
Islam tidak menolak pengembangan pikiran, refleksi diri, atau teknik psikologi yang membantu umat menjadi lebih baik. Namun semua itu harus berdiri di atas fondasi tauhid: bahwa Allah-lah pengatur segala sesuatu.
Pikiran yang baik mengantarkan pada amal yang baik, amal yang baik menjadi sebab turunnya takdir terbaik.
Maka, marilah kita ubah pikiran kita, bukan untuk menentang takdir. Tetapi untuk menyiapkan diri menerima takdir dengan iman, ikhtiar, dan tawakal. Karena yang mengubah nasib suatu kaum bukan pikiran mereka semata, tapi perubahan amal dan hati mereka yang diridhai oleh Allah.
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka." (QS. Ar-Ra'd: 11)
Maka, ubahlah pikiranmu untuk memperbaiki niat dan amal, bukan untuk menantang takdir, tetapi untuk menjemput ketetapan Allah dengan hati yang tunduk dan yakin kepada-Nya.
Dari penjelasan diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa:
* Pikiran dapat menjadi sebab, tapi tidak pernah menjadi penentu takdir.
* Takdir dapat berubah dalam konteks mu'allaq melalui doa dan amal, dengan izin Allah.
* Bahasa motivasi harus dijaga agar tidak menimbulkan salah faham aqidah.
* Kita perlu menyampaikan dakwah dan pendidikan menjadi bentuk hikmah dan dengan disertai kehati-hatian ilmiah.
Wallhu a'lam bish-shawb.