Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam Al-Jawab al-Kafi bahwa doa, tawakal, dan amal saleh adalah bagian dari takdir itu sendiri. "Sebagaimana Allah menetapkan sebab dan akibat, maka siapa yang meninggalkan sebab berarti menolak takdir yang Allah tetapkan."
Artinya, berpikir positif, berdoa, atau beramal adalah bagian dari ikhtiar yang ditulis dalam ketetapan Allah, bukan cara untuk melawan atau mengubah takdir yang telah ditetapkan secara mutlak. Hal serupa ditegaskan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah: "Takdir yang digantungkan pada sebab-sebab tidak akan terjadi kecuali dengan sebab itu." (Majmu' al-Fatawa, 8/540).
Imam al-Ghazali rahimahullah dalam Ihy' 'Ulm ad-Dn melengkapi pandangan ini dengan menjelaskan bahwa doa dan niat bukanlah penentang qadar, melainkan bagian dari qadar itu sendiri. Pandangan ini menunjukkan keseimbangan aqidah salaf: manusia diperintahkan untuk berusaha secara sungguh-sungguh, termasuk memperbaiki pikiran dan niat. Namun, ia tetap beriman bahwa semua hasil berada dalam genggaman Allah.
Dengan demikian, pikiran bukanlah pengubah takdir, melainkan bagian dari sebab yang Allah tetapkan dalam perjalanan takdir itu sendiri.
Bahaya Kesalahpahaman dan Bahasa yang Menyesatkan
Ungkapan "Ubah Pikiran, Ubah Takdir" perlu ditempatkan secara hati-hati. Jika dipahami bahwa pikiran memiliki kekuatan mutlak untuk mengubah nasib, ini mendekati konsep self-determinism yang tidak sesuai dengan tauhid.
Kalimat seperti "Ubah Pikiran, Ubah Takdir" mudah disalahpahami sebagai seolah-olah manusia memiliki kuasa atas qadar Allah. Gaya bahasa ini juga mirip dengan konsep law of attraction dari filsafat Barat yang menekankan kekuatan pikiran sebagai penentu realitas. Padahal dalam Islam, penentu segala sesuatu hanyalah Allah Ta'ala.
Namun bila dimaksud bahwa pikiran positif mengantarkan pada amal, dan amal menjadi sebab perubahan hidup yang Allah izinkan, maka maknanya benar, dengan catatan teologis yang tepat.
Sebenarnya, kita mengubah diksi diatas agar menjadi reflektif dan aman secara aqidah, misalnya dengan judul :
+ "Pikiran Baik, Jalan Menuju Takdir Terbaik."
+ "Ubah Pikiran, Siap Menjemput Takdir Terbaik."
+ "Mindset Baru, Hidup Lebih Bermakna."
+ "Ubah Pikiran, Ubah Cara Menysikapi Takdir"
Kebijaksanaan dalam Menyampaikan Pesan
Karena itu, penggunaan istilah "takdir" dalam konteks psikologi atau motivasi harus dengan penjelasan aqidah yang lurus. Tujuannya agar tidak menyeret umat pada keyakinan yang halus tapi berbahaya: merasa "berkuasa atas takdir."
Dalam dakwah dan pendidikan, bahasa memiliki kekuatan besar. Karena itu, ketika menyentuh istilah yang bernuansa aqidah seperti takdir, sebaiknya disampaikan dalam bentuk reflektif, bukan deklaratif.
Misalnya:
"Ubah Pikiran, Ubah Takdir?" (bentuk pertanyaan dengan tanda tanya, bentuk reflektif)
atau "Bisakah Pikiran Mengubah Takdir?" (bentuk ilmiah yang mengundang tafakkur)