"Sehat jiwa adalah kunci agar harapan tumbuh, kerja bermakna, dan hidup terasa layak dijalani."
Bisakah kita membayangkan, bila separuh tenaga kerja Indonesia datang ke kantor dengan tubuh sehat, tetapi jiwanya lemah? Hatinya lelah, cemas, atau putus asa. Tak terbayang, apa jadinya bangsa ini?
Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2025 mengingatkan kita bahwa krisis mental bukan sekadar angka statistik. Melainkan itu denyut kehidupan sehari-hari dan cerminan kualitas hidup kita. Baik itu di ruang kelas, di meja kerja, maupun di layar ponsel kita. Tema globalnya menyoroti kesehatan jiwa dalam situasi bencana, sementara Indonesia menekankan pentingnya "Sehat Jiwa dalam Segala Situasi."
Namun, apakah kita sudah benar-benar siap menjadikan kesehatan mental sebagai hak semua orang, bukan sekadar isu kalangan tertentu?
Sehat Jiwa dalam Segala Situasi
Tanggal 10 Oktober setiap tahun dunia memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Tema "Sehat Jiwa dalam Segala Situasi." ini mengingatkan pentingnya menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik dalam segala kondisi. Baik saat tenang, sibuk, maupun menghadapi tekanan, serta mendorong masyarakat untuk peduli, saling mendukung. Juga berani mencari bantuan saat dibutuhkan
Tahun ini, momentum tersebut terasa semakin penting bagi Indonesia. Di tengah derasnya arus digital, kompetisi hidup yang kian menekan, serta jejak panjang pandemi yang masih terasa, isu kesehatan mental bukan lagi persoalan individu belaka, melainkan tantangan kolektif bangsa.
Sebagai seorang insan pembelajar, saya percaya bahwa "Psikologi untuk Semua" bukan sekadar slogan. Ia adalah gerakan moral, ilmiah, dan sosial untuk memastikan bahwa setiap warga negara berhak atas kesejahteraan psikologis. Mulai dari pelajar hingga pekerja, dari ibu rumah tangga hingga pejabat publik.
Realitas Kesehatan Jiwa di Indonesia
Realitas kesehatan jiwa di Indonesia tahun 2025 menunjukkan tantangan serius. Betapa tidak, 1 dari 5 orang Indonesia mengalami gejala gangguan mental seperti kecemasan dan depresi berat. Data Kementerian Kesehatan menyebutkan peningkatan masalah kesehatan mental pada remaja usia 15-24 tahun, termasuk depresi, kecemasan, PTSD, dan ADHD. Angka bunuh diri remaja juga cukup tinggi. Mereka membutuhan akan pemeriksaan kesehatan mental dan deteksi dini untuk mencegah masalah lebih besar. Sungguh, ini juga sebuah kebutuhan yang mendesak.
Meski kesadaran meningkat, stigma sosial masih menjadi penghalang besar untuk mencari bantuan. Akses ke layanan kesehatan mental masih terbatas dan terkonsentrasi di daerah perkotaan dan Pulau Jawa-Bali. Sementara di daerah terpencil, mengalami kesulitan akses yang signifikan. Pemerintah telah meluncurkan program pemeriksaan kesehatan gratis dan memperluas layanan psikologis di puskesmas, serta mendukung digitalisasi layanan melalui aplikasi konseling online. Namun, anggaran kesehatan mental masih kurang dari 5% dari total APBN sektor kesehatan.
Digitalisasi dan program edukasi mental sejak dini menjadi solusi penting untuk mengatasi masalah ini. Disisi lain, tantangan internet dan literasi digital juga masih ada di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Kerja sama multisektor dan inovasi telemedicine memberikan harapan yang cukup menggembirakan. Khususnya dalam memperbaiki akses dan kualitas layanan kesehatan mental di Indonesia.