"Keselamatan jalan bukan hadiah, melainkan hasil dari keberanian kolektif untuk berubah dan berkolaborasi."
ODOL sebagai Masalah Kolektif
Pertama kali saya mendengar serius soal ODOL (Over Dimension Over Loading) adalah sekitar akhir 2020. Waktu itu saya sedang diminta memberikan pelatihan entrepreneurship selama satu tahun bagi Korsatpel dan staf pendamping di 95 Terminal Tipe A. Dari sesi diskusi, isu kendaraan ODOL selalu muncul sebagai tantangan besar di lapangan.
Sejak itu, dalam berbagai kesempatan - mulai dari FGD Leadership Management Transportasi Digital TPAJ, Executive Development Program untuk BPTD, hingga training di sejumlah BPTD di Indonesia sampai Mei 2024, saya semakin melihat betapa kompleksnya masalah ODOL. Bukan hanya menyangkut teknis kendaraan, tetapi juga menyentuh aspek hukum, sosial, ekonomi, hingga budaya kerja antar lembaga.
Narasi ini memperlihatkan bahwa ODOL bukan isu baru, melainkan persoalan kolektif yang selama bertahun-tahun membutuhkan terobosan, bukan sekadar wacana.
"Zero ODOL 2029" dalam artikel ini hanyalah gagasan konseptual penulis, bukan kebijakan resmi pemerintah. Ia ditulis sebagai sumbangan pemikiran untuk memperkaya wacana publik.
ODOL: Dari Masalah Teknis ke Tantangan Tata Kelola Transportasi
Saat ini, masalah kendaraan ODOL kembali menjadi sorotan. Dari kerusakan jalan nasional, tingginya angka kecelakaan, hingga inefisiensi biaya logistik, praktik ODOL telah menimbulkan kerugian besar yang tidak lagi bisa ditoleransi. Persoalan ini bukan sekadar soal teknis kendaraan, melainkan menyangkut banyak hal. Mulai dari tata kelola transportasi, regulasi, hingga perilaku ekonomi yang saling berkaitan.
Urgensinya jelas: jika dibiarkan, ODOL akan menghambat visi Indonesia membangun transportasi darat yang aman, efisien, dan berkelanjutan. Karena itu, solusi yang ditawarkan tidak bisa parsial. Ia menuntut kolaborasi lintas sektor yang kuat, serta transformasi digital untuk memastikan pengawasan berjalan transparan, real-time, dan konsisten.
Dampak ODOL: Infrastruktur, Keselamatan, dan Ekonomi
Data Kementerian PUPR mencatat lebih dari 40 persen kerusakan jalan nasional berhubungan langsung dengan kendaraan ODOL. Beban berlebih mempercepat degradasi aspal dan jembatan, sehingga biaya perawatan infrastruktur terus menggerus APBN.
Dari sisi keselamatan, kendaraan dengan muatan berlebih jauh lebih sulit dikendalikan. Rem menjadi tidak responsif, ban lebih cepat aus, hingga berujung kecelakaan fatal. Dampaknya bukan hanya pada sopir atau perusahaan angkutan, tetapi juga pengguna jalan lain yang menjadi korban tanpa salah.
Secara ekonomi, praktik ODOL memang tampak memberi "keuntungan sesaat" bagi sebagian pelaku usaha. Namun biaya sosial yang ditimbulkan jauh lebih besar: biaya logistik melonjak, waktu tempuh terganggu, dan daya saing nasional pun terkikis.
Kerusakan jalan, tingginya angka kecelakaan, dan beban ekonomi hanyalah gejala di permukaan. Fakta ini menunjukkan bahwa dampak ODOL memang begitu nyata. Pertanyaannya, mengapa praktik ini masih sulit dihentikan? Di balik fenomena tersebut, terdapat faktor-faktor struktural yang saling terkait, menjadikan ODOL seolah lingkaran tak berujung. Untuk memahaminya, kita perlu menelusuri dimensi masalah yang lebih dalam.
Dimensi Masalah ODOL
Jika ditelusuri lebih dalam, dampak tersebut lahir dari sejumlah dimensi yang saling terkait:
1. Keselamatan Jalan - ODOL meningkatkan risiko kecelakaan: rem yang tidak berfungsi optimal, ban pecah akibat beban, hingga kendaraan terguling di jalan tol.
2. Kerusakan Infrastruktur - Jalan, jembatan, dan pelabuhan darat mengalami keausan lebih cepat, memaksa pemerintah mengeluarkan biaya tambahan untuk perbaikan.
3. Kerugian Ekonomi - Beban anggaran perawatan infrastruktur dan biaya kecelakaan menimbulkan hidden cost bernilai miliaran rupiah setiap tahun.
4. Kepatuhan Regulasi - Banyak operator logistik masih mencari celah aturan. Akibatnya, penegakan hukum sering terlihat tidak konsisten dan menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku usaha yang patuh.
Tantangan Regulasi dan Penegakan
Sejumlah aturan sebenarnya sudah ada. Namun pelaksanaannya masih terbentur beberapa hambatan:
* Kelemahan pengawasan manual yang rentan pungli dan manipulasi.
* Fragmentasi regulasi antara pusat dan daerah yang membuat standar tidak seragam.
* Asimetri kepentingan antara regulator, pengusaha, dan sopir, di mana tekanan efisiensi biaya sering mengorbankan aspek keselamatan.
* Kesejahteraan sopir yang rendah, mendorong mereka kompromi terhadap pelanggaran.
Akibatnya, meski operasi penindakan sering dilakukan, efek jera belum tercapai. Dibutuhkan perubahan paradigma: dari sekadar menindak ke membangun ekosistem transportasi yang sehat dan transparan.
Dampak inilah yang memperlihatkan bahwa ODOL tidak berdiri sendiri sebagai isu teknis. Ia terhubung dengan dimensi regulasi, kepatuhan, hingga kesejahteraan sopir
Kolaborasi Lintas Sektor: Fondasi Penanganan ODOL
Penanganan ODOL jelas tidak bisa ditangani oleh satu lembaga saja. Kompleksitas masalah ini menuntut keterlibatan lintas sektor, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, pelaku usaha logistik, industri otomotif, akademisi dan peneliti, hingga sopir dan masyarakat pengguna jalan. Semua memiliki kepentingan, sekaligus peran strategis yang saling melengkapi.
Pendekatan kolaboratif dapat dirancang melalui model Public-Private-People Partnership (4P). Dalam kerangka ini, pemerintah pusat- melalui Kemenhub, Polri, Kemenkeu, dan Kemnaker - berperan menyatukan regulasi, mengintegrasikan data, serta memastikan penegakan hukum berbasis digital berjalan konsisten. Pemerintah daerah memperkuat pengawasan di terminal, jembatan timbang, hingga ruas jalan kabupaten/kota, sehingga kebijakan tidak berhenti di atas kertas.
Sementara itu, pelaku usaha logistik perlu menyesuaikan armada agar sesuai standar, menghindari praktik ODOL, sekaligus berhak mendapatkan insentif usaha bagi yang patuh. Masyarakat dan sopir juga tidak boleh dikesampingkan: mereka perlu dilibatkan melalui edukasi keselamatan, pelatihan, dan perlindungan sosial agar tidak lagi terdorong melanggar aturan demi mengejar setoran. Akademisi pun memegang peran penting dalam menyumbang riset, data, dan inovasi teknologi untuk mendukung kebijakan berbasis bukti.
Seorang pemerhati transportasi publik pernah mengingatkan, tanpa koordinasi lintas sektor, regulasi akan selalu kalah cepat dibanding praktik di lapangan. Karena itu, gagasan membentuk forum koordinasi nasional berbasis dashboard digital bersama layak dipertimbangkan. Forum ini berfungsi sebagai simpul komunikasi antarpemangku kepentingan sekaligus menyediakan data transparan untuk memperkuat kepercayaan publik.
Digitalisasi sebagai Pengungkit Transformasi Pengawasan
Pengalaman di berbagai terminal membuktikan, teknologi mampu menjadi "game changer" dalam mengendalikan praktik ODOL. Celah pengawasan manual yang kerap membuka ruang pungli atau manipulasi bisa ditutup dengan sistem digital yang transparan, real-time, dan berbasis data akurat.
Beberapa inisiatif strategis yang potensial antara lain:
* Weigh-in-Motion (WIM): sensor otomatis di jalan nasional dan tol yang merekam berat kendaraan tanpa menghentikan arus lalu lintas.
* Big Data Analytics: mengintegrasikan data SIM, STNK, KIR, dan hasil WIM untuk memetakan pola perjalanan, mendeteksi titik rawan ODOL, serta mengukur dampak kerusakan jalan.
* Blockchain & e-Manifest: memastikan transparansi rantai pasok dengan catatan digital yang permanen dan sulit dimanipulasi.
* E-Tilang & Bukti Elektronik: menghubungkan data WIM dengan CCTV dan sistem ETLE (Electronic Traffic Law Enforcement) Polri sehingga pelanggaran langsung ditindak secara otomatis.
* Dashboard Nasional ODOL: menjadi pusat kendali lintas kementerian (Kemenhub, Polri, Kemenkeu, Kemnaker) dengan akses real-time untuk pengawasan dan evaluasi kebijakan.
* Aplikasi Mobile untuk Sopir: menyediakan notifikasi status muatan sekaligus edukasi praktis mengenai risiko ODOL, agar pencegahan tidak hanya berbasis sanksi tetapi juga kesadaran.
Pemanfaatan teknologi ini bukan sekadar mendukung penegakan hukum, melainkan juga menggeser pola pengawasan dari reaktif menjadi proaktif. Dengan bukti digital yang kuat, proses penindakan lebih kredibel, sementara interaksi tatap muka yang berpotensi pungli dapat diminimalkan.
Jalan ke Depan
Daripada melihat ODOL sekadar sebagai "masalah pelanggaran," barangkali lebih tepat bila kita menempatkannya sebagai tantangan manajemen transportasi nasional. Dengan perspektif ini, solusi tidak lagi terjebak pada operasi sesaat, melainkan diarahkan pada perubahan sistemik yang terukur.
Dari berbagai diskusi, muncul pemikiran bahwa peta jalan jangka menengah hingga 2029 dibutuhkan sebagai kompas bersama. Peta jalan ini akan berfungsi sebagai pegangan lintas lembaga, dengan tiga elemen utama: penegakan hukum yang konsisten, insentif bagi operator patuh, serta digitalisasi pengawasan. Yang lebih penting, dokumen tersebut perlu disusun melalui kolaborasi antar pemangku kepentingan, sehingga terasa sebagai hasil kesepakatan nasional, bukan instruksi sepihak.
Roadmap Kebijakan Praktis
Peta jalan itu bisa dijabarkan secara bertahap:
Tahap 1 (2025-2026): Fondasi Digital & Regulasi
* Harmonisasi aturan ODOL antar kementerian.
* Pemasangan pilot WIM di jalur logistik utama Jawa dan Sumatra.
* Integrasi data kendaraan (STNK, KIR, e-Manifest) ke National Logistic Dashboard.
Tahap 2 (2027-2028): Ekspansi & Penegakan
* Implementasi skala nasional Jembatan Timbang Online dan WIM.
* Integrasi penuh e-Tilang otomatis dengan Polri.
* Insentif fiskal bagi perusahaan patuh, misalnya diskon pajak kendaraan logistik ramah aturan.
Tahap 3 (2029): Konsolidasi Zero ODOL
* Evaluasi dampak digitalisasi terhadap angka kecelakaan, kerusakan jalan, dan biaya logistik.
* Penguatan distribusi multimoda (kereta barang, tol laut) untuk mengurangi ketergantungan angkutan darat berat.
* Deklarasi "Zero ODOL" sebagai capaian nasional berbasis data.
Jika setiap tahap dijalankan konsisten, 2029 bukan sekadar target, melainkan momentum deklarasi Zero ODOL sebagai capaian nasional.
Aksi Kolaboratif yang Mendesak
Beberapa langkah yang dapat segera dilakukan:
* Pembentukan Komite Nasional ODOL Digital lintas kementerian, asosiasi logistik, dan akademisi.
* Peluncuran program Driver Welfare+ untuk meningkatkan kesejahteraan sopir melalui perlindungan sosial dan pelatihan.
* Implementasi Pilot Project Digitalisasi 360 di tiga koridor logistik utama: Pantura, Trans-Sumatra, dan Kalimantan.
* Kampanye publik nasional dengan pesan "Selamat Jalan, Selamat Sampai Tujuan - Zero ODOL 2029".
Jalan Menuju Zero ODOL
ODOL bukan semata masalah pelanggaran lalu lintas. ODOL juga bukan sekadar urusan teknis kendaraan, melainkan gambaran bagaimana kita mengelola sistem transportasi secara lebih modern, adil, dan berkeselamatan. Dengan kata lain, ODOL juga adalah cerminan dari kompleksitas tata kelola transportasi, tekanan ekonomi, dan lemahnya koordinasi lintas lembaga.
Jika kolaborasi dipadukan dengan digitalisasi, kita memiliki peluang besar menjadikan jalan raya Indonesia lebih aman dan efisien bagi semua.
Menjawabnya, Indonesia perlu menggabungkan dua fondasi utama: kolaborasi strategis dan digitalisasi pengawasan.
Dengan sinergi pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat, ditopang teknologi seperti IoT, big data, blockchain, dan e-Tilang, Indonesia berpeluang membalik situasi. Transportasi darat yang lebih aman, efisien, dan berkelanjutan bukan utopia, tetapi target realistis jika roadmap 2025-2029 dijalankan konsisten.
Langkah ini tidak hanya mengurangi kecelakaan dan kerusakan jalan, tetapi juga meningkatkan daya saing ekonomi nasional. Sebuah momentum yang menentukan apakah Indonesia siap menuju era logistik modern tanpa kompromi terhadap keselamatan.
Zero ODOL 2029 bukan hanya urusan regulator atau pengusaha, melainkan tanggung jawab kita bersama sebagai pengguna jalan. Pertanyaannya: berani kah kita berkolaborasi dan bertransformasi digital, atau terus membiarkan jalan raya jadi korban?
Disclaimer: Target "Zero ODOL 2029" dalam artikel ini bukan kebijakan resmi, melainkan sumbangan pemikiran penulis untuk mendorong kolaborasi dan digitalisasi penanganan ODOL.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI