"Kerendahan hati untuk terus belajar adalah tanda kematangan seorang profesional sejati."
Seberapa sering Anda berada dalam sebuah diskusi, lalu lawan bicara dengan enteng berkata: "Saya sudah tahu"?
Saya sendiri sering mengalaminya. Sungguh menggemaskan, dan sebagian lagi - maaf - menyebalkan. Dalam obrolan yang awalnya hangat dan seru, suasana bisa langsung berubah kaku begitu tiga kata itu terucap. Yang lebih menggelitik, fenomena ini ternyata sering berulang - di mana saja, dan dengan siapa saja. Mulai dari lingkup keluarga, obrolan ringan dengan tetangga, hingga forum diskusi, seminar, bahkan percakapan santai.
Sekilas, memang terdengar sepele. Wajar saja kalau orang ingin menunjukkan bahwa dirinya sudah familiar dengan topik tertentu. Tetapi di mata seorang profesional sejati - entah ia seorang penulis, blogger, trainer, coach, akademisi, pebisnis, maupun insan pembelajar, ucapan sederhana ini justru bisa menjadi "pagar besi". Yaitu yang membatasi ruang tumbuh. Perlahan tapi pasti, kalimat itu juga bisa meredupkan reputasi.
Mengapa bisa begitu? Mari kita telusuri lebih dalam.
1. Menutup Pintu Belajar
Profesional sejati sadar bahwa pengetahuan itu berlapis, dan luas. Setiap penjelasan, meski terdengar familiar, sering membawa sudut pandang baru. Dengan berkata "saya sudah tahu", seseorang menutup kemungkinan menangkap detail segar atau insight berbeda. Padahal, mungkin saja itu malah menjadi kunci inovasi berikutnya.
2. Terlihat Arogan dan Kurang Empatik
Ucapan "saya sudah tahu" bagi saya pribadi itu seperti bauran dari ego, kurang empatik dan superior. Tak jarang juga nyaris terdengar seperti bentuk defensif atau bahkan meremehkan. Bagi rekan kerja, klien, pembaca, atau audiens, kalimat ini bisa mematikan semangat berbagi. Profesional sejati tentu akan menghindarinya. Karena mereka paham, reputasi dibangun bukan hanya lewat kecerdasan, tapi juga lewat kerendahan hati.
Mau bersabar mendengarkan pendapat secara lengkap dan utuh, dan mau mendengar dengan kelapangan hati perbedaan yang ada.
3. Diskusi Menjadi Buntu
Kalimat "saya sudah tahu" ini seringkali menurunkan selera diskusi dan obrolan. Bahkan tak jarang juga menghentikan percakapan di titik awal. Padahal, diskusi yang terbuka justru bisa menumbuhkan ide, memperkaya jejaring, dan memperluas perspektif. Seorang penulis, blogger, atau trainer yang rendah hati untuk terus mendengar, akan mendapatkan lebih banyak bahan, kisah, dan insight untuk karyanya.
4. Antara Tahu dan Terampil
Banyak orang tahu teori, tetapi belum tentu terampil menerapkannya. Mengucapkan "saya sudah tahu" seakan menyamakan pengetahuan dengan penguasaan. Padahal, perbedaan di antara keduanya ibarat membaca resep dengan benar-benar mahir memasak.
Hingdranata Nikolay, seorang master trainer NLP, pernah menyampaikan pesan yang sangat tegas: "Jangan pernah berucap 'saya sudah tahu' sampai Anda sudah mempraktikkan dan mendapat hasil yang Anda inginkan secara konsisten.
Lebih jauh, Pak Hing - begitu yang biasa akrab dipanggil, menambahkan, "Pengetahuan sama sekali bukan power. Knowledge is not power. Action is. Melakukan yang dipelajari itulah power!".
5. Citra dan Personal Branding
Profesional di era digital hidup dari kredibilitas. Kalimat "saya sudah tahu" bisa merusak citra diri sebagai pribadi yang terbuka dan bersahabat. Sebaliknya, mereka yang selalu ingin mendengar dan belajar, meski dari hal yang sederhana, akan lebih dihargai dan dipercaya.
Alternatif Ungkapan yang Lebih Elegan
Daripada menutup pintu dengan "saya sudah tahu", seorang profesional bisa menggunakan kalimat yang lebih membangun:
"Saya pernah mempelajarinya, tapi saya ingin dengar sudut pandang Anda."
"Topik ini menarik, mungkin ada hal baru yang bisa saya tangkap."
"Saya familiar, tapi silakan lanjut, siapa tahu ada insight berbeda."
Kalimat-kalimat ini menunjukkan sikap terbuka, menghargai lawan bicara, sekaligus menjaga reputasi.
Ingatah Selalu, Profesional Sejati Selalu Rendah Hati
Bagi penulis, blogger, akademisi, trainer, coach, dan pebisnis, kalimat sederhana bisa berdampak besar. Ucapan "saya sudah tahu" bukan sekadar tiga kata, tapi cermin sikap terhadap ilmu, orang lain, dan diri sendiri.
Profesional sejati memilih untuk tidak membatasi diri dengan kesombongan halus. Mereka tahu bahwa setiap pertemuan, setiap tulisan, dan setiap diskusi adalah peluang. Ya, peluang baru untuk belajar, bertumbuh, dan membangun citra yang lebih kokoh.
Karena itu, jika ingin terus relevan, berwibawa, dan dipercaya: pantanglah mengucapkan "saya sudah tahu."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI