Solusinya, cukuplah sederhana. Pertama, tetapkan ritual kecil sebelum menulis (misal: seduh kopi, buka laptop, 5 menit freewriting). Kemudian, ingatlah selalu bahwa frustrasi adalah tanda otak sedang membentuk jalur baru. Dan terakhir, rayakan pencapaian kecil. Meski baru satu paragraf yang selesai, tetap itu sebagai sebuah kemajuan. Tinggal lanjutkan ke paragraf berikutnya.
Relevansi untuk Penulis di Era Digital
Di tengah banjir konten media sosial, penulis yang bisa menjaga konsistensi akan menonjol. Strategi "21 jam sebulan" membuat artikel lebih cepat selesai. Kualitas meningkat perlahan tapi nyata, dan penulis terhindar dari "writer's block kronis".
Lebih penting lagi, pendekatan ini membuktikan: konsistensi mengalahkan bakat. Kegigihan mengalahkan kecerdasan.
Investasi Jam, Bukan Menunggu Bakat
Bakat mungkin membuat langkah awal terasa mudah. Namun, dalam jangka panjang, yang membedakan seorang penulis adalah disiplin berlatih.
21 jam sebulan bukan beban, melainkan tiket untuk naik level sebagai penulis. Dari sekadar menulis catatan harian, menuju artikel yang pantas dibaca ribuan orang.
Jika Kaufman bisa mempelajari yoga, ukulele, dan programming hanya dengan 20 jam fokus, maka seorang penulis pun bisa melatih keterampilan menulis headline, memperkaya gaya bahasa, atau meningkatkan kecepatan menulis dengan strategi yang sama.
Menulis bukan anugerah yang diturunkan. Ia keterampilan yang bisa dipelajari, diasah, dan ditingkatkan: 21 jam sebulan, satu artikel demi satu artikel.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI