Tak lama kemudian, seorang gadis remaja berlari keluar. Rambutnya dikepang sederhana, wajahnya bersih, senyumnya jernih seperti embun pagi.
"Waaah, mie ayam! Kue juga! Ayah... terima kasih. Ini makanan terenak di dunia," ucapnya sambil memeluk erat tubuh renta itu.
Pelukan itu membuat hati sang ayah retak. Dalam benaknya, ia tetap merasa gagal. Dulu ia bisa memberi segalanya, sekarang hanya mie ayam. Namun pelukan hangat itu merajut kembali rasa percaya dirinya.
Hingga tiba-tiba gadis kecilnya, yang kini beranjak remaja, berkata pelan dengan mata berkaca-kaca,
"Yah, aku ingin jujur. Beberapa bulan terakhir, aku sengaja tidak minta uang jajan lagi."
Ayah itu terkejut. "Kenapa, Nak?"
Anaknya tersenyum. Ia menunjukkan selembar kertas berisi nilai ujian yang tinggi.
"Aku belajar keras, Yah. Aku tahu kondisi Ayah. Jadi biarlah aku berusaha mandiri. Nilai ini hadiah kecilku untuk Ayah. Karena bagiku, mie ayam sederhana ini lebih dari cukup... yang penting Ayah pulang dengan sehat, dan kita bisa makan bersama."
Air mata sang ayah akhirnya pecah, deras, tak terbendung. Ia membalikkan tubuh, pura-pura mengambil air minum di dapur agar anaknya tak melihat tangis itu. Di depan anaknya, ia tetap berusaha tegar. Namun hatinya luluh, bukan karena sedih, melainkan karena bahagia yang begitu dalam.
Plot twist itu menghantam jantungnya: ternyata bukan dirinya yang berjuang membahagiakan anak. Melainkan, anaknya pun selama ini menjaga harga diri ayahnya dengan cara paling lembut: prestasi, kemandirian, dan ketulusan.
Di meja makan bambu sederhana itu, mie ayam dan dua bungkus kue tersaji. Keduanya terasa jauh lebih mahal daripada semua makanan mewah di kafe mana pun. Karena untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, ayah dan anak ini benar-benar makan bersama. Dengan cinta yang tulus, tanpa pura-pura, tanpa penyesalan.