Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Transformative Human Development Coach | Penulis 4 Buku

Agung MSG – 🌱 Transformative Human Development Coach ✨ Mendampingi profesional bertumbuh lewat self-leadership, komunikasi, dan menulis untuk reputasi. 📚 Penulis 4 buku dan 1.400+ artikel inspiratif di Kompasiana. 💡 Penggagas HAI Edumain – filosofi belajar dan berkarya dengan hati, akal, dan ilmu. 📧 agungmsg@gmail.com | 🔗 bit.ly/blogagungmsg | 📱 @agungmsg 🔖 #TransformativeCoach #LeadershipWriting #GrowWithAgung “Menulis bukan sekadar merangkai kata, tapi merawat jiwa dan meninggalkan jejak makna.”

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sepotong Monas

16 Agustus 2025   19:01 Diperbarui: 16 Agustus 2025   16:31 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monas - simbol kejayaan yang kini ditagih janji untuk menyalakan kembali obor persatuan bangsa.|Image: Ilustrator AFM 

Di tengah lapangan luas yang pernah jadi saksi sumpah,
berdiri tegak sepotong Monas,
bukan lagi mercusuar kejayaan,
hanya miniatur mungil yang dikagumi pandangan,
namun tak lagi memantulkan makna.

Indonesia -katamu dulu tanah surga,
dengan hutan rimba, lautan mutiara,
tambang emas yang berkilau dalam perutnya,
dan senyum sawah yang tak pernah lelah menumbuhkan padi.
Tapi kini,
sisa gemuruhnya hanya gema yang patah,
hanya sepotong Monas yang masih kita miliki.

Pancasila kini berdebu di atas lembaran kertas,
tak lagi berkobar di dada pemilik negeri.
Bhineka Tunggal Ika terurai seperti benang rapuh,
tak ada lagi simpul persaudaraan.
Sumpah Pemuda tinggal serapah yang ditertawakan,
Pembukaan UUD 1945 - sebuah kitab suci
yang hanya jadi naskah tanpa penghayatan.

Oh Ibu Pertiwi,
air matamu telah kering,
bahkan luka pun tak lagi berdarah.
Korupsi merajalela,
politik terjungkir balik,
ekonomi patah, utang menganga,
dan para pemimpin hanya menari
dalam lingkaran kecil penuh dusta.

Budaya yang dulu luhur,
kini hanyalah topeng di atas panggung murahan.
Adab mati perlahan,
iman dijajakan di pasar-pasar kekuasaan.

Ya Tuhan…
ampunilah dosa kami,
ampunilah anak-anak negeri
yang terlalu sibuk menjual tanah warisan
demi sebutir kursi, demi selembar rupiah.

Berikanlah kami seorang pemimpin,
yang jujur dan tak gentar,
yang berani menegakkan kepala
untuk sekali lagi,
dengan dada penuh keberanian,
menyanyikan lagu Indonesia Raya
bukan sebagai formalitas,
melainkan sebagai doa,
sebagai janji,
sebagai kebangkitan.

Dan semoga,
kelak di bawah bayangmu,
Monas tak lagi sepotong miniatur yang tragis,
melainkan obor abadi
yang menghidupkan kembali jiwa bangsa,
dan harga diri

Note:
* Kemerdekaan sejati lahir ketika bangsa berani menyalakan kembali api kejujuran, persatuan, dan keberanian di dada rakyatnya. Karena, bangsa runtuh bukan karena musuh, tapi karena hilangnya jiwa dari dirinya sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun