"Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku."
- (Hadis Qudsi, riwayat Bukhari-Muslim)
Hidup yang Berubah Karena Prasangka
Pernahkah kita bertemu seseorang yang hidupnya penuh keberkahan, meski jalan hidupnya terjal dan penuh luka? Atau, pernahkah kita menginginkan sesuatu dengan penuh harap, lalu tanpa kita sadari, doa-doa itu perlahan menjadi nyata dalam hidup kita?
Mungkin juga kita pernah menyaksikan seseorang yang bangkit dari keterpurukan. Dan kini, ia menjalani hidup dengan senyum, lebih kuat, lebih bahagia, semata karena satu hal: ia yakin bahwa Allah tidak pernah meninggalkannya.
Lalu, apa yang membuat seseorang tetap tenang meski kehilangan? Tetap optimis meski dihantam ujian bertubi-tubi?
Jawabannya bisa dirangkum dalam satu kata: husnudzon, prasangka baik kepada Allah.
Husnudzon bukan sekadar positive thinking. Ia adalah energi spiritual yang bersumber dari keyakinan terdalam. Ia bisa mengubah realitas, bahkan ketika segala hal tampak mustahil. Dan lebih dari itu, husnudzon adalah bagian penting dari tauhid. Bukti, bahwa kita benar-benar percaya: Allah Maha Pengasih, Maha Tahu, dan tidak pernah menyia-nyiakan hamba-Nya.
"Husnudzon" bukan sekadar sikap positif. Ia adalah energi spiritual yang mampu mengubah realitas hidup, bahkan di tengah keterbatasan dan rasa tak pasti. Dan lebih dari itu, ia adalah bagian penting dari Tauhid. Yaitu, bukti keyakinan seorang hamba bahwa Tuhannya Maha Pengasih dan Maha Mengetahui.
Makna Husnudzon: Lebih dari Sekadar Positive Thinking
Dalam budaya populer, kita mengenal istilah positive thinking. Ia sering dijadikan mantra dalam dunia motivasi dan pengembangan diri. Namun, husnudzon kepada Allah memiliki kedalaman spiritual yang jauh melampaui sekadar berpikir positif.
Jika positive thinking bertumpu pada sugesti diri, maka husnudzon bertumpu pada keyakinan kepada sifat-sifat Allah. Yaitu, Allah Maha Penyayang (Ar-Rahman), Maha Mengetahui jalan terbaik (Al-Hakim), dan Maha Mengatur takdir dengan sempurna (Al-Mudabbir).
Berprasangka baik kepada Allah bukan berarti menghindari realita. Justru sebaliknya, ia adalah cara berpikir realistis dalam terangnya cahaya iman. Yakni, meyakini bahwa di balik semua peristiwa, selalu ada hikmah dan rahmat tersembunyi.