"Syukur adalah seni mengenali rahmat dalam hal kecil, tunduk dalam nikmat besar, dan taat meski belum melihat jawaban."
Syukur, Nafas Keimanan yang Terlupakan
Kita sering mengucapkan “Alhamdulillah” dalam obrolan sehari-hari, tapi adakah rasa syukur itu benar-benar bersemayam di hati?
Bersyukur bukan sekadar kalimat manis di bibir, tapi laku hidup yang menuntut kesadaran, ketundukan, dan penghambaan yang tulus. Dalam dunia yang makin bising oleh keluhan dan tuntutan, syukur adalah pelita hati yang menyala dari dalam. Ia meneduhkan, menenangkan, dan mengangkat derajat manusia di hadapan Allah.
Dalam artikel ini, kita akan menelusuri tanda-tanda orang yang sejatinya bersyukur, berdasarkan Al-Qur’an, hadis Nabi ﷺ, serta pengalaman hidup para ulama terdahulu yang menggetarkan.
Syukur itu sendiri ada 3 tahapan. Pertama, tingkat strategis-eksistensial. Kedua, tingkat etikal-praktikal, dan ketiga : tingkat emosional-reflektif.
Semoga tulisan ini menjadi pengingat, bukan hanya untuk pembaca, tapi juga bagi penulisnya, bahwa syukur sejati bukan hal remeh. Ia adalah puncak iman dan kunci ketenteraman jiwa.
Tingkat Strategis-Eksistensial (Akar & Fondasi Syukur yang Hakiki):
1. Menyadari Bahwa Semua Nikmat Berasal dari Allah
Ini adalah inti paling esensial dari syukur: kesadaran tauhid. Tanpa ini, seluruh tindakan lahir tak punya makna batin. Menyadari sumber nikmat adalah fondasi utama segala bentuk syukur.
Orang yang bersyukur memiliki satu prinsip utama dalam hidupnya: segala nikmat adalah dari Allah semata. Tak ada “kebetulan”, tak ada “karena usaha saya sendiri”, apalagi takdir yang bisa ditawar.
Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhuma: