"Lebih sekedar sebagai pemberi kabar, pers adalah mercusuar yang dapat menerangi jalan kebenaran dan keadilan. Di tengah badai informasi, integritas jurnalistik adalah benteng terakhir yang menjaga martabat kemanusiaan dan demokrasi."
Setiap 9 Februari, Indonesia memeringati Hari Pers Nasional (HPN) sebagai bentuk apresiasi terhadap peran vital pers dalam membingkai demokrasi, membuka ruang kebenaran, dan menjadi corong suara rakyat. Tahun 2025, HPN hadir di tengah paradoks: di satu sisi, kebebasan pers dijamin oleh UU No. 40/1999, sementara di sisi lain, dunia jurnalistik terombang-ambing antara tekanan algoritma media sosial, marjinalisasi isu keadilan sosial, dan fenomena "no viral, no justice". Momentum ini bukan sekadar perayaan, melainkan ajang kritis untuk meninjau ulang relevansi UU Pers dalam konteks kekinian serta merumuskan langkah kolektif membangun peradaban yang berkeadilan.
Pers sebagai Pilar Demokrasi: Antara Idealisme dan RealitasÂ
Sejak era reformasi, pers Indonesia telah bertransformasi menjadi "watchdog" demokrasi. UU Pers menjamin kemerdekaan pers sebagai manifestasi kedaulatan rakyat, dengan fungsi utama: menyampaikan fakta, mengawasi kekuasaan, dan merekatkan kebinekaan. Namun, dalam praktiknya, tantangan tak pernah surut.Â
1. Ujian Kebenaran di Era Post-TruthÂ
Banjir informasi palsu (hoax) dan disinformasi telah mengaburkan batas antara fakta dan opini. Pers dituntut tidak hanya cepat, tetapi juga presisi. Di sinilah kode etik jurnalistik - seperti verifikasi, independensi, dan keberimbangan - menjadi tameng utama. Sayangnya, tekanan ekonomi kerap menggoda media mengorbankan kualitas demi klik (clickbait), mengubur isu substansial di balik sensasi.Â
2. "No Viral, No Justice": Ketika Keadilan Tergantung Tren DigitalÂ
Fenomena ini mengungkap kegagapan sistem: kasus korupsi atau pelanggaran HAM sering hanya mendapat sorot bila ramai di media sosial. Pers dihadapkan pada dilema: apakah menjadi trendsetter isu strategis atau sekadar mengikuti arus viral? Di titik ini, fungsi pers sebagai public guardian terancam tergerus algoritma yang memihak kepentingan komersial.Â
3. Ancaman terhadap Kebebasan PersÂ
Terkait banyaknya kasus kekerasan terhadap jurnalis, UU ITE yang kerap disalahgunakan untuk kriminalisasi pelapor. Hal ini, tentu saja akan menjadi duri dalam daging demokrasi.Â
Tercatat, data menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia cukup tinggi. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat adanya peningkatan kasus kekerasan terhadap jurnalis dari tahun ke tahun.
Data Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis:
* 2023: AJI mencatat 87 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Angka ini meningkat 42,62% dibandingkan tahun sebelumnya, yang sebanyak 61 kasus (dataindonesia.id). Sumber lain menyebutkan angka 86 kasus (data.goodstats.id).
* 2024: Terdapat perbedaan angka kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tercatat. Pada akhir Desember 2024, AJI mencatat 63 kasus (tempo.co). Sumber lain melaporkan 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang tahun 2024 (goodstats.id).
* 2006-2023: Terdapat total 1.037 kasus kekerasan terhadap jurnalis (data.goodstats.id).
Bentuk Kekerasan yang Dialami Jurnalis pun beragam bentuknya. Mulai dari kekerasan fisik; serangan digital; ancaman, teror, dan intimidasi; pelarangan liputan, penghapusan hasil liputan, kekerasan seksual berbasis gender, perusakan atau perampasan alat, hingga penuntutan hukum.
Relevansi UU Pers di Era Digital: Perlukah Pembaruan?Â
UU Pers 1999 lahir di era pra-digital, ketika media sosial belum menjadi raksasa informasi. Pertanyaan kritisnya: apakah regulasi ini masih cukup melindungi kemerdekaan pers sekaligus menjawab tantangan zaman?Â
* Regulasi vs. Inovasi Teknologi. UU Pers belum mengatur secara spesifik tanggung jawab platform digital dalam menyebarkan konten berita. Padahal, 72% masyarakat Indonesia mengakses informasi lewat media sosial (Data APJII 2023). Perlukah amendemen UU Pers untuk memasukkan kewajiban content filtering bagi platform?
* Perlindungan Jurnalis. UU Pers menjamin perlindungan hukum bagi jurnalis, namun implementasinya lemah. Pembentukan lembaga independen yang mengawasi kasus kekerasan terhadap pers bisa menjadi solusi.
* Ekonomi Media yang Berkelanjutan. Krisis bisnis media konvensional memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Diperlukan insentif fiskal atau dana abadi untuk media yang konsisten menjalankan jurnalisme berkualitas.Â
Membangun Peradaban melalui Jurnalisme BerkemanusiaanÂ
Pers tidak hanya bertugas melaporkan, tetapi juga mendidik, menginspirasi, dan menggerakkan perubahan. Untuk itu, tiga langkah strategis perlu diambil:Â
1. Memperkuat jurnalisme investigatif. Kasus seperti skandal korupsji Jiwasraya atau pelanggaran HAM di Papua terbongkar berkat kerja keras jurnalis investigatif. Dukungan dana dan proteksi hukum bagi jenis jurnalisme ini wajib menjadi prioritas.
2. Literasi media sebagai gerakan bersama. Menurut UNESCO, hanya 32% masyarakat Indonesia yang memiliki literasi digital memadai. Kolaborasi antara pers, pemerintah, dan lembaga pendidikan perlu ditingkatkan untuk membangun kesadaran kritis dalam mencerna informasi.
3. Jurnalisme yang memihak pada keadilan sosial. Pers harus kembali ke akar katanya: demos (rakyat). Memberi panggung pada kelompok marginal, mengawal isu lingkungan, serta mengadvokasi kebijakan pro-rakyat adalah bentuk nyata kontribusi pers bagi keadilan sosial.Â
HPN 2025, Saatnya Pers Menjadi Mercusuar PerubahanÂ
Hari Pers Nasional bukanlah seremoni kosong. Di tengah gempuran infodemik dan polarisasi, pers Indonesia ditantang untuk merawat marwahnya sebagai pilar keempat demokrasi. Dengan merevitalisasi UU Pers, memperkuat kolaborasi tripartit (pemerintah, media, masyarakat), dan konsisten menyuarakan kebenaran tanpa takut, pers akan tetap menjadi suluh yang menerangi jalan menuju peradaban adil dan beradab. Sebab, seperti dikatakan Pramoedya Ananta Toer: "Menjadi jurnalis berarti menjadi pejuang. Pejuang untuk kebenaran dan keadilan."Â
Terakhir, mari jadikan momentum HPN 2025 ini sebagai titik tolak memperkuat komitmen terhadap kemerdekaan pers yang berintegritas dan berpihak pada keadilan sosial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI