Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Transformative Human Development Coach | Penulis 3 Buku

Agung MSG – 🌱 Transformative Human Development Coach ✨ Mendampingi profesional bertumbuh lewat self-leadership, komunikasi, dan menulis untuk reputasi. 📚 Penulis 3 buku dan 1.400+ artikel inspiratif di Kompasiana dengan konsistensi kualitas yang mendapat sorotan headline dan highlight. 💡 Penggagas HAI Edumain – filosofi belajar dan berkarya dengan hati, akal, dan ilmu. 📧 agungmsg@gmail.com | 🔗 bit.ly/blogagungmsg | 📱 @agungmsg | 📞 +62 813-2045-5598 🔖 #TransformativeCoach #LeadershipWriting #GrowWithAgung

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

HPN 2025: Refleksi atas Pilar Demokrasi di Tengah Badai Informasi dan Tuntutan Keadilan Sosial

11 Februari 2025   13:30 Diperbarui: 11 Februari 2025   13:33 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pers yang bebas dan bertanggung jawab adalah napas demokrasi, suara rakyat, dan penjaga keadilan.|Foto: shuttrstock viatribunnews.com 

"Lebih sekedar sebagai pemberi kabar, pers adalah mercusuar yang dapat menerangi jalan kebenaran dan keadilan. Di tengah badai informasi, integritas jurnalistik adalah benteng terakhir yang menjaga martabat kemanusiaan dan demokrasi."

Setiap 9 Februari, Indonesia memeringati Hari Pers Nasional (HPN) sebagai bentuk apresiasi terhadap peran vital pers dalam membingkai demokrasi, membuka ruang kebenaran, dan menjadi corong suara rakyat. Tahun 2025, HPN hadir di tengah paradoks: di satu sisi, kebebasan pers dijamin oleh UU No. 40/1999, sementara di sisi lain, dunia jurnalistik terombang-ambing antara tekanan algoritma media sosial, marjinalisasi isu keadilan sosial, dan fenomena "no viral, no justice". Momentum ini bukan sekadar perayaan, melainkan ajang kritis untuk meninjau ulang relevansi UU Pers dalam konteks kekinian serta merumuskan langkah kolektif membangun peradaban yang berkeadilan.

Pers sebagai Pilar Demokrasi: Antara Idealisme dan Realitas 

Sejak era reformasi, pers Indonesia telah bertransformasi menjadi "watchdog" demokrasi. UU Pers menjamin kemerdekaan pers sebagai manifestasi kedaulatan rakyat, dengan fungsi utama: menyampaikan fakta, mengawasi kekuasaan, dan merekatkan kebinekaan. Namun, dalam praktiknya, tantangan tak pernah surut. 

1. Ujian Kebenaran di Era Post-Truth 

Banjir informasi palsu (hoax) dan disinformasi telah mengaburkan batas antara fakta dan opini. Pers dituntut tidak hanya cepat, tetapi juga presisi. Di sinilah kode etik jurnalistik - seperti verifikasi, independensi, dan keberimbangan - menjadi tameng utama. Sayangnya, tekanan ekonomi kerap menggoda media mengorbankan kualitas demi klik (clickbait), mengubur isu substansial di balik sensasi. 

2. "No Viral, No Justice": Ketika Keadilan Tergantung Tren Digital 

Fenomena ini mengungkap kegagapan sistem: kasus korupsi atau pelanggaran HAM sering hanya mendapat sorot bila ramai di media sosial. Pers dihadapkan pada dilema: apakah menjadi trendsetter isu strategis atau sekadar mengikuti arus viral? Di titik ini, fungsi pers sebagai public guardian terancam tergerus algoritma yang memihak kepentingan komersial. 

3. Ancaman terhadap Kebebasan Pers 

Terkait banyaknya kasus kekerasan terhadap jurnalis, UU ITE yang kerap disalahgunakan untuk kriminalisasi pelapor. Hal ini, tentu saja akan menjadi duri dalam daging demokrasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun