Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Selalu saja ada satu cara yang lebih baik, dan lebih baik lagi dengan berbagi

Hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Membangkitkan Rasa Malu: Fondasi Integritas dan Etika dalam Reformasi Birokrasi

9 November 2023   06:59 Diperbarui: 9 November 2023   06:59 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Reformasi Birokrasi bisa dimulai dari integritas | Foto: edwardmungai.com

"Membangkitkan rasa malu adalah kunci yang menguatkan integritas dalam reformasi birokrasi, sementara mengembalikan wibawa melalui peningkatan rasa dan budaya malu di kalangan pejabat dan birokrat merupakan panggilan mendalam untuk menjalankan reformasi birokrasi dengan sepenuh hati."

Kasus kontroversial yang melibatkan Hakim Ketua dan Majelis Hakim di Mahkamah Konstitusi telah mengejutkan dan menarik perhatian masyarakat dan media. Keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga ini memiliki dampak yang sangat besar pada stabilitas politik dan hukum negara. Namun, selama beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan keputusan-keputusan yang memicu kontroversi dan keraguan terhadap integritas lembaga tersebut. Pertanyaan muncul: Apakah lembaga ini masih memegang teguh rasa malu dan budaya malu sebagai prinsip dasar dalam menjalankan tugasnya?

Budaya rasa malu dalam konteks birokrasi dan lembaga pemerintahan menjadi semakin penting dalam menjaga wibawa dan kredibilitas. Hilangnya rasa malu di antara pejabat dan birokrat dapat menyebabkan penurunan integritas, transparansi, dan akuntabilitas, yang pada gilirannya dapat mengganggu kepercayaan masyarakat dan menghambat perkembangan yang berkelanjutan. Kasus di Mahkamah Konstitusi hanya mencerminkan isu yang lebih luas tentang hilangnya rasa malu dalam sektor publik.

Rasa malu dan budaya malu dalam "shame culture," dalam konteks Good Corporate Governance (GCG) di lembaga-lembaga pemerintahan, rasanya sangat penting untuk kembali dihidupkan dan dikampanyekan. Sungguh, kasus Mahkamah Konstitusi ini, telah mempertontonkan secara telanjang bahwa rasa malu dan budaya malu itu sudah parah dan berdampak destruktif. Karena itu diperlukan tindakan serius untuk mengembalikan wibawa dan memastikan kinerja lembaga-lembaga pemerintah dan negara telah sesuai dengan tugas dan tanggung jawab mereka.

Budaya Rasa Malu dalam "Shame Culture"


Budaya rasa malu adalah sistem nilai sosial di mana orang merasa malu ketika melanggar aturan etika dan moral. Dalam budaya ini, norma-norma sosial menggambarkan perilaku yang diterima, dan pelanggarannya dapat menimbulkan perasaan malu.

Kunci dalam budaya rasa malu adalah pengawasan masyarakat dan kontrol sosial. Masyarakat memiliki peran penting dalam mengontrol perilaku individu, mendorong agar norma-norma dijaga. Budaya ini sangat menjunjung citra dan reputasi. Hilangnya reputasi yang baik dapat mengakibatkan rasa malu, sehingga menjaga reputasi adalah prioritas.

Selain itu, budaya rasa malu mendorong harmoni dalam kelompok dan menekankan pentingnya menjaga norma etika dan moral. Hukuman sosial digunakan untuk mendidik pelanggar norma sosial.

Memahami budaya rasa malu penting, terutama dalam menjaga integritas dan akuntabilitas di kalangan pejabat dan birokrat. Pemahaman ini membantu mengevaluasi perubahan budaya yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas pemerintahan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rasa Malu

Faktor-faktor yang memengaruhi rasa malu adalah inti dari budaya etika dan integritas dalam masyarakat atau organisasi. Ini membantu menjelaskan mengapa rasa malu adalah elemen penting dalam memastikan perilaku yang etis.
1. Etika dan integritas.  Etika dan integritas adalah fondasi budaya rasa malu. Mereka menentukan moral dan konsistensi dalam tindakan individu. Melanggar nilai-nilai ini memicu rasa malu.
2. Tekanan publik dan pengawasan media. Tekanan publik dan media membantu menjaga perilaku etis dengan mengungkap pelanggaran nilai. Hal ini mendorong individu dan organisasi untuk bertindak secara etis demi menghindari hukuman sosial.
3. Akuntabilitas hukum. Hukum dan peraturan memastikan norma etika dihormati. Pelanggaran hukum berakibat pada sanksi hukum, mendorong orang untuk mematuhi etika.
4. Tanggung jawab sosial dan dampak pada masyarakat. Rasa tanggung jawab sosial mendorong individu mempertimbangkan dampak tindakan mereka pada masyarakat. Ini memicu rasa malu jika merugikan banyak orang.
5. Norma sosial dan budaya. Norma sosial menciptakan harapan perilaku yang dapat diterima. Pelanggaran norma ini dapat menyebabkan isolasi sosial dan rasa malu.
6. Tanggung jawab pribadi dan kesadaran akan tugas. Individu yang bertanggung jawab dan sadar akan tugasnya merasa malu jika melanggar prinsip-prinsip etika.
7. Reputasi dan karier. Reputasi dan karier yang baik dihargai. Merusak reputasi dapat berdampak negatif, mendorong perilaku etis.
8. Tekanan dari rekan dan atasan. Dukungan rekan sekerja dan atasan yang menekankan etika memengaruhi perilaku individu.
9. Norma Etika dan Kode Etik Profesional: Banyak profesi memiliki kode etik yang mengatur perilaku. Melanggar kode etik dapat berakibat pada sanksi, termasuk rasa malu.

Pemahaman yang mendalam tentang faktor-faktor ini membantu memperkuat budaya etika dan integritas di lembaga pemerintahan. Ini adalah langkah penting dalam membangun kembali kepercayaan dan wibawa.

Mengukur Rasa Malu

Dalam upaya menjaga dan membangun budaya rasa malu di kalangan pejabat dan birokrat, sangat penting untuk memiliki alat dan metode untuk mengukur tingkat kepatuhan terhadap etika dan integritas. Berikut adalah beberapa metode yang digunakan untuk mengukur rasa malu:
1. Survei opini publik. Tanyakan kepada masyarakat bagaimana mereka melihat etika dan integritas pejabat. Hasil survei dapat membantu identifikasi area yang perlu perbaikan.
2. Indeks korupsi. Kita bisa menggunakan indeks korupsi yang umum digunakan untuk melihat tingkat korupsi di negara. Penurunan indeks ini bisa menjadi tanda positif.
3. Laporan media. Perhatikan bagaimana dampak dan luasan liputan media terkait tindakan tidak etis. Media juga bisa membantu mempromosikan nilai-nilai etika.
4. Penilaian etika dan integritas. Lebih bijak dan tepat, bila dilakukan penilaian etika oleh pihak internal atau eksternal untuk mengukur kualitas perilaku dan kepatuhan terhadap etika.
5. Laporan inspeksi dan pengawasan internal. Gunakan laporan dari unit inspeksi dan pengawasan internal dan auditor untuk memantau kinerja pejabat dalam menjaga rasa malu.
6. Pemeringkatan "Service Level". Gunakan pemeringkatan untuk mengukur sejauh mana layanan publik memenuhi standar etika dan integritas. Penilaian ini mencakup aspek seperti kecepatan, keamanan, kualitas, dan keadilan dalam layanan publik. Pemeringkatan ini dapat memberikan umpan balik tentang tingkat rasa malu dalam pelayanan publik.

Dengan menggunakan berbagai metode ini, pemerintah dapat secara efektif mengukur rasa malu di kalangan pejabat dan birokrat. Data yang diperoleh dari berbagai sumber ini dapat membantu dalam merancang program-program dan kebijakan yang bertujuan untuk memperkuat budaya rasa malu dan integritas di seluruh sektor pelayanan publik.

Peran Rasa Malu dalam Budaya dan Agama

Salah satu contoh praktik terbaik dalam menjunjung nilai integritas, bisa dilihat di budaya Jepang. Dalam budaya Jepang, rasa malu bukanlah konsep yang asing. Sebaliknya, budaya Jepang telah lama menghargai rasa malu sebagai salah satu pilar moral yang kuat. Dalam budaya Jepang, rasa malu disebut sebagai "haji" atau "honne," yang mencerminkan rasa malu atas tindakan yang melanggar norma sosial atau etika.

Rasa malu juga tumpang tindih dengan konsep "giri," yang merujuk pada kewajiban moral dan sosial untuk mematuhi norma-norma yang ada. Dalam budaya Jepang, merasa malu karena melanggar giri adalah hal yang serius dan dapat membahayakan reputasi seseorang.

Selain itu, agama juga memainkan peran penting dalam memahami rasa malu. Dalam agama-agama tertentu, rasa malu dapat menjadi bentuk penyesalan atau pertobatan atas tindakan-tindakan yang dianggap salah. Agama juga mengajarkan pentingnya mempertahankan integritas moral dan etika pribadi.

Dengan pengaruh yang kuat dari budaya dan agama, rasa malu menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Jepang dan memainkan peran penting dalam mempertahankan norma sosial dan etika.

Dampak Hilangnya Rasa dan Budaya Malu

Hilangnya rasa dan budaya malu dalam lingkungan pejabat dan birokrat memiliki dampak yang signifikan terhadap berbagai aspek masyarakat dan negara. Dalam konteks ini, penting untuk memahami dampak-dampak tersebut agar kita dapat mengidentifikasi area-area di mana perubahan dan reformasi diperlukan. Berikut adalah penjelasan mengenai berbagai dampak yang muncul akibat hilangnya rasa dan budaya malu:

1. Kehilangan kepercayaan masyarakat. Kepercayaan pada pejabat dan birokrat bisa hilang dan ini akan mempengaruhi hubungan dengan pemerintah.
2. Ketidakadilan dalam pelayanan publik. Praktik ketidakadilan dalam pelayanan publik bisa muncul dan bisa menimbulkan kegaduhan di ruang publik.
3. Hilangnya atau terganggunya fokus pada pelayanan publik yang berkualitas. Ini bisa karena adanya kepentingan tersembunyi, juga karena adanya benturan kepentingan.
4. Dampak negatif terhadap korupsi. Korupsi dan indeks korupsi bisa meningkat karena pejabat kehilangan rasa malu.
5. Ketidakstabilan politik. Politik bisa menjadi tidak stabil karena tindakan tidak etis oleh pejabat.
6. Kerugian finansial. Negara bisa mengalami kerugian finansial akibat korupsi dan pemborosan sumber daya.
7. Menghambat perkembangan ekonomi. Praktik korupsi dan birokrasi yang lambat bisa menghambat perkembangan ekonomi.

Dengan memahami dampak-dampak ini, kita dapat mengenali pentingnya memulihkan rasa malu di kalangan pejabat dan birokrat serta mendorong reformasi dalam pemerintahan. Upaya untuk mengembalikan wibawa dan mempromosikan budaya malu akan mendukung terwujudnya pelayanan publik yang lebih adil, transparan, dan berkualitas.

Cara Meningkatkan Rasa Malu di Kalangan Pejabat dan Birokrat

Dalam konteks mengembalikan rasa malu di kalangan pejabat dan birokrat, berikut langkah-langkah strategis yang bisa diambil:

1. Penguatan hukum dan sistem hukum. Yaitu memastikan bahwa hukum dan peraturan yang mengatur tindakan pejabat dan birokrat memadai dan efektif. Ini mencakup menetapkan sanksi yang tegas untuk pelanggaran etika dan integritas, serta memberikan dasar hukum yang kuat untuk pengawasan.
2. Komitmen pemimpin. Pemimpin pemerintahan, termasuk presiden, gubernur, atau kepala daerah, harus secara terbuka dan kuat mendukung upaya pemulihan rasa malu dengan komitmen dan integritas tinggi. Mereka harus menjadi contoh teladan dan menunjukkan bahwa integritas dan etika adalah nilai yang tak bisa dikompromikan.
3. Pendidikan dan pelatihan etika harus diberikan kepada pejabat dan birokrat. Ini akan membantu mereka memahami pentingnya rasa malu, etika, dan integritas dalam menjalankan tugas mereka.
4. Transparansi. Pengambilan keputusan dan pelaksanaan tugas harus memenuhi prinsip transparansi. Semakin terbuka proses dan kebijakan, semakin sulit bagi pejabat dan birokrat untuk terlibat dalam tindakan yang tidak etis atau korupsi.
5. Auditing dan pengawasan yang ketat terhadap tindakan pejabat dan birokrat untuk mencegah pelanggaran etika. Audit independen dan pengawasan internal yang kuat akan membantu mengidentifikasi dan mengatasi masalah dengan cepat.
6. Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dan pengawasan tindakan pejabat dan birokrat. Masyarakat dapat menjadi pihak yang mengawasi dan memberikan tekanan untuk menjaga integritas.
7. Pembentukan komite independen yang mengawasi integritas dan etika pejabat dan birokrat. Langkah ini dapat membantu memberikan pandangan objektif dan rekomendasi untuk perbaikan.
8. Sistem penghargaan dan hukuman yang adil diterapkan untuk memberikan insentif bagi pejabat dan birokrat untuk mematuhi etika dan integritas. Penghargaan dapat diberikan kepada mereka yang menjaga integritas, sementara hukuman diberikan kepada mereka yang melanggar etika.
9. Perubahan budaya organisasi yang menekankan integritas, etika, dan rasa malu dalam konteks GCG. Ini mencakup perubahan nilai dan norma yang dianut oleh seluruh organisasi.

Penting untuk diingat bahwa semua langkah ini saling terkait dan harus diterapkan bersamaan. Langkah-langkah yang lebih strategis, seperti penguatan hukum dan komitmen pemimpin, perlu diikuti oleh tindakan lebih taktis dan teknis, seperti pendidikan dan pelatihan etika atau pembentukan komite independen. Dengan kombinasi berbagai langkah ini, dapat menciptakan lingkungan di mana pejabat dan birokrat merasa terdorong untuk menjaga rasa malu, etika, dan integritas dalam melaksanakan tugas mereka.

Kesimpulannya, kita harus menyoroti urgensi mengembalikan rasa malu di kalangan pejabat dan birokrat sebagai kunci untuk meningkatkan etika, integritas, dan kualitas pelayanan publik. Penekanan pada fondasi rasa malu sebagai pendorong internal untuk tindakan yang sesuai dengan norma etika dan integritas menjadi sorotan utama. Identifikasi faktor-faktor yang memengaruhi rasa malu, seperti etika, tekanan publik, akuntabilitas hukum, norma sosial, dan norma etika profesional, memberikan landasan bagi langkah-langkah pemulihan.

Hilangnya rasa malu di kalangan pejabat dapat berdampak negatif, mencakup kehilangan kepercayaan masyarakat, ketidakadilan dalam pelayanan publik, korupsi, dan ketidakstabilan politik. Karena itu perlu ada serangkaian langkah konkret, termasuk penguatan hukum, transparansi, pendidikan etika, pengawasan ketat, keterlibatan masyarakat, pembentukan komite independen, sistem penghargaan dan hukuman, perubahan budaya organisasi, dan komitmen pemimpin, sebagai upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan rasa malu di lingkungan tersebut.

Dengan memperkuat rasa malu di kalangan pejabat dan birokrat, dapat membangun fondasi yang kuat untuk etika, integritas, dan kualitas pelayanan publik yang lebih baik. Hal ini merupakan panggilan untuk tindakan dan reformasi birokrasi yang perlu diadopsi oleh pemerintah dan institusi terkait untuk meningkatkan kualitas pemerintahan dan memenangkan kepercayaan masyarakat. Reformasi birokrasi adalah langkah yang sangat penting dalam memastikan pelayanan publik yang lebih baik dan berintegritas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun