Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Kompasianer

Kompasianer of The Year 2019 | Part of Commate KCI '22 - Now | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Tak Jarang Keputusan Ayah adalah Keputusan di Luar Logika

14 Oktober 2025   20:48 Diperbarui: 15 Oktober 2025   17:18 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
illustrasi- dokumentasi pribadi

Saya masih ingat, kejadian bapak dan ibu ribut gara- gara anak tengah. Saat liburan sekolah -- nyaris sebulan-- kakak berada di rumah saudara jauh, perilakunya tidak dibenarkan oleh ibu. Sama sekali tidak ada inisiatif, membantu pekerjaan rumah. 

Saban hari hanya makan tidur, kemudian pergi diajak jalan- jalan. sementara saudara didatangi orang-nya tidak enakkan, sama sekali tidak berani menegur dan tidak mengusir.

Entah, ibu mendengar dan tahu dari mana cerita ini. Sepulangnya kakak tengah ke rumah, Ibu mencak- mencak karena dinilai mencoreng orangtua.  Ibu yang sibuk ngomel, ditimpali bapak yang membela anak kesayangan.

Jujurly, saya hapal perlakuan bapak kepada anak tengah. Selalu dibela meskipun salah, sikap yang tidak akan pernah saya dapatkan.

Saat pertengkaran berlangsung, saya melihat senyum tipis di bibir kakak. Saya merasakan, ada gemuruh kemenangan di dada lelaki di atas saya ini. Ada sorak sorai bangga, atas pembelaan bapak pada dirinya.

Hal demikian bukan satu dua kali, saya bungsu kerap diminta mengalah. Ketika bertengkar dengan kakak tengah, meskipun nyata- nyata saya tersakiti terdholimi. Mendapati hal ini saya protes, tapi tidak ditanggapi bapak.

Lama memendam rasa tak puas, sampai dewasa, merantau, menikah dan beranak pinak. Meski tidak jauh, hubungan saya dengan ayah juga tidak terlalu dekat. Kakak tengah sempat merantau juga, tetapi akhirnya balik ke rumah.

Saat mudik sesekali dengan ibu, saya utarakan perlakuan bapak yang berbeda. Ibu menenangkan, minta saya sabar dan mengalah. Sungguh otak saya tidak nutut, memahami sikap bapak yang terkesan pilih kasih.

Sampai di kemudian hari, setelah bapak telah berpulang. Satu demi satu pertanyaan itu terjawab, membuka tabir tak kasat mata.

----- ---- -

illustrasi- dokpri
illustrasi- dokpri

Rahasia terkuak setelah saya menjadi ayah, bapak meninggal setahun setelah ragilnya menikah. Sikap saya berbalik 180 derajat, mendukung keputusan bapak yang tak masuk logika. O'ya selain pada anak tengah, pada mbarep sikap bapak juga spesial.  

Sekadar kilas balik masa kecil, saya melihat keputusan bapak yang aneh tapi demikian adanya. Keputusan berpihak pada mbarep dan anak tengah, membuat saya gedeg dan kini memaklumi.

Dengan segala keterbatasan keuangan, bapak membeli motor buntut secara kridit. Motor sangat jarang dipakai sendiri, tetapi dipakai mbarep-nya yang kuliah di kota.

Bapak berangkat dan pulang mengajar, memilih berjalan kaki melintasi sawah dan jalanan kampung. Dari rumah ke sekolah di desa tetangga, menempuh jarak sekitar 4 -- 5 km setiap pagi dan siang.

Bulan puasa selepas ashar dan mandi, menunggu maghrib saya bermain pingpong sendiri. Memantulkan bola ke dinding, menghitung sampai angka tertentu. Saya berjanji, kalau pantulan bola tidak sampai limapuluh. Maka hukumannya, saya tidak berbuka dengan kolak buatan ibu.

Kakak tengah nongol,  sengaja menghalangi permainan pingpong saya. Sebelum target pantulan tercapai, bola jatuh dan pecahlah tangis saya. Kakak tengah berlari kabur, terdengar suara tawa puas mengejek.

Bapak tergopoh datang, bukannya membela justru membawa saya menyingkir. Bapak memastikan janji tidak berlaku, karena tiada saksi memberatkan. Saat kami ngobrol kakak nongol, bapak tidak menegur atau menasehati. 

Sungguh, saya tidak puas dengan situasi itu, tetapi memilih diam tidak memperpanjang. Sebenarnya, masih banyak kejadian lain mengganjal di benak. Tetapi dua kisah di atas, setidaknya mewakili keputusan bapak yang di luar logika.

Tak Jarang Keputusan Ayah adalah Keputusan di Luar Logika

illustrasi- dokpri
illustrasi- dokpri

Perasaan mengganjal sedari kecil, sedikit demi sedikit terbukakan jawaban. Ibu membuka tabir, pada anak mbarep dan tengah bapak terkesan membedakan. Sementara pada empat anak yang lain-termasuk saya-, bapak mengekspresikan rasa sayang secara berbeda.

Menurut ibu, saat mbarep lahir badannya sebesar botol kecap. Bayi mungil berhari- hari tidur, bersebelahan lampu petromak. Agar badan hangat dan nyaman, agar bayi tumbuh layaknya balita pada umumnya.

Bapak muda belum punya pengalaman, mencurahkan segenap perhatiannya. Tak ayal, rasa sayang tumbuh sedemikian hebat. Perhatian semakin bertambah, sampai balita tubuh mbarep-nya masih mungil. Tanpa sadar sayang yang berlebihan, kelak dianggap sebagai sikap pilih kasih oleh anak yang lain.

Kejadian serupa terulang pada anak tengah, masa balita-nya sering sakit-sakitan. Ketika baru belajar jalan, digendong kakak kedua jatuh dan kepalanya sobek. Semasa di sekolah, dibanding kami anak tengah relatif ketinggalan pelajaran.

Maka bapak memberi perhatian lebih, terutama pada si tengah. Bahkan sampai menikah, tidak serta merta lepas tangan.  Bapak bersedia pasang badan, ketika ada apa-apa dengan anak tengah.

Rahasia yang dibongkar ibu, membukakan mata hati. Tidak ada ayah ingin berlaku tidak adil, semua terjadi sangat situasional. Ayah mengutamakan anak yang lebih membutuhkan, karena anak lain dianggap mampu mandiri.

Bapak dengan segala keterbatasan, tidak lepas dari kesalahan. Bapak sadar risiko, penilaian anak lain akan sikap keputusannya. Karena tak jarang keputusan ayah, adalah keputusan di luar logika.

--- ---- --

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi

Menjadi ayah, membawa saya pada sikap tak masuk logika, Ketika mendapati makanan kesukaan anak, saya mengalah tidak makan meski perut sedang lapar. Membayangkan senyum anak-anak, cukuplah menjadi energi untuk menahan rasa lapar.

Kewajaran-kewajaran sikap bapak, akan sulit dipahami. Baru bisa saya rasakan, setalah berada di posisi menjadi ayah.  Meski terkesan getir, tetapi ada perasaan unik. Bahwa saya bahagia melihat anak bahagia, meski dengan cara mengalah.

Saya pada umumnya para ayah, pernah kelimpungan memenuhi bayaran sekolah anak. Berjibaku membayar iuran listrik, sementara surat pemberitahuan pemutusan aliran listrik diterima istri. Dalam keadaan sedemikian terdesak, otomatis memacu adrenalin.

Saya rela melakukan apapun, demi keberlangsungan sekeluarga-- tentu di jalan benar.  Saya tak enggan berkorban habis-habisan, sampai tidak memikirkan diri sendiri. 

Guna menghindari sikap --terkesan-- pilih kasih, kami punya dua anak saja. Agar mbarep dan adiknya, mendapatkan perhatian yang sama. Karena saya sadar, tak jarang keputusan ayah adalah keputusan di luar logika.

Semoga bermanfaat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun