Rahasia terkuak setelah saya menjadi ayah, bapak meninggal setahun setelah ragilnya menikah. Sikap saya berbalik 180 derajat, mendukung keputusan bapak yang tak masuk logika. O'ya selain pada anak tengah, pada mbarep sikap bapak juga spesial. Â
Sekadar kilas balik masa kecil, saya melihat keputusan bapak yang aneh tapi demikian adanya. Keputusan berpihak pada mbarep dan anak tengah, membuat saya gedeg dan kini memaklumi.
Dengan segala keterbatasan keuangan, bapak membeli motor buntut secara kridit. Motor sangat jarang dipakai sendiri, tetapi dipakai mbarep-nya yang kuliah di kota.
Bapak berangkat dan pulang mengajar, memilih berjalan kaki melintasi sawah dan jalanan kampung. Dari rumah ke sekolah di desa tetangga, menempuh jarak sekitar 4 -- 5 km setiap pagi dan siang.
Bulan puasa selepas ashar dan mandi, menunggu maghrib saya bermain pingpong sendiri. Memantulkan bola ke dinding, menghitung sampai angka tertentu. Saya berjanji, kalau pantulan bola tidak sampai limapuluh. Maka hukumannya, saya tidak berbuka dengan kolak buatan ibu.
Kakak tengah nongol, Â sengaja menghalangi permainan pingpong saya. Sebelum target pantulan tercapai, bola jatuh dan pecahlah tangis saya. Kakak tengah berlari kabur, terdengar suara tawa puas mengejek.
Bapak tergopoh datang, bukannya membela justru membawa saya menyingkir. Bapak memastikan janji tidak berlaku, karena tiada saksi memberatkan. Saat kami ngobrol kakak nongol, bapak tidak menegur atau menasehati.Â
Sungguh, saya tidak puas dengan situasi itu, tetapi memilih diam tidak memperpanjang. Sebenarnya, masih banyak kejadian lain mengganjal di benak. Tetapi dua kisah di atas, setidaknya mewakili keputusan bapak yang di luar logika.
Tak Jarang Keputusan Ayah adalah Keputusan di Luar Logika
Perasaan mengganjal sedari kecil, sedikit demi sedikit terbukakan jawaban. Ibu membuka tabir, pada anak mbarep dan tengah bapak terkesan membedakan. Sementara pada empat anak yang lain-termasuk saya-, bapak mengekspresikan rasa sayang secara berbeda.