Saya masih ingat, kejadian bapak dan ibu ribut gara- gara anak tengah. Saat liburan sekolah -- nyaris sebulan-- kakak berada di rumah saudara jauh, perilakunya tidak dibenarkan oleh ibu. Sama sekali tidak ada inisiatif, membantu pekerjaan rumah.Â
Saban hari hanya makan tidur, kemudian pergi diajak jalan- jalan. sementara saudara didatangi orang-nya tidak enakkan, sama sekali tidak berani menegur dan tidak mengusir.
Entah, ibu mendengar dan tahu dari mana cerita ini. Sepulangnya kakak tengah ke rumah, Ibu mencak- mencak karena dinilai mencoreng orangtua. Â Ibu yang sibuk ngomel, ditimpali bapak yang membela anak kesayangan.
Jujurly, saya hapal perlakuan bapak kepada anak tengah. Selalu dibela meskipun salah, sikap yang tidak akan pernah saya dapatkan.
Saat pertengkaran berlangsung, saya melihat senyum tipis di bibir kakak. Saya merasakan, ada gemuruh kemenangan di dada lelaki di atas saya ini. Ada sorak sorai bangga, atas pembelaan bapak pada dirinya.
Hal demikian bukan satu dua kali, saya bungsu kerap diminta mengalah. Ketika bertengkar dengan kakak tengah, meskipun nyata- nyata saya tersakiti terdholimi. Mendapati hal ini saya protes, tapi tidak ditanggapi bapak.
Lama memendam rasa tak puas, sampai dewasa, merantau, menikah dan beranak pinak. Meski tidak jauh, hubungan saya dengan ayah juga tidak terlalu dekat. Kakak tengah sempat merantau juga, tetapi akhirnya balik ke rumah.
Saat mudik sesekali dengan ibu, saya utarakan perlakuan bapak yang berbeda. Ibu menenangkan, minta saya sabar dan mengalah. Sungguh otak saya tidak nutut, memahami sikap bapak yang terkesan pilih kasih.
Sampai di kemudian hari, setelah bapak telah berpulang. Satu demi satu pertanyaan itu terjawab, membuka tabir tak kasat mata.
----- ---- -