Kompasianer, yang sedang atau sudah merasakan pahit getirnya hidup. Saya yakin sebagian bersikap sama, yaitu pasrah berserah dan "ya sudahlah".
Seberat ini ujian hidup, pengin menyerah tapi jatah hidup belum di ujung. Mau tak mau maju tetap semangat, meski tantangan datang tak kunjung mereda.
Sebagian Kompasianer, bisa jadi tengah atau pernah mengalami kondisi mentok kepepet. Segala upaya dikerahkan, seolah tak kunjung menampakan hasil. Segala doa telah dipanjatkan, rasanya tak lekas mendapatkan jawaban.
Jujurly, saya pernah merasakan hal itu. Kehabisan ide merangkai kalimat, yang dirasa tepat menggambarkan bergumulnya benak. Karena fase titik nadir itu, nyata dan benar- benar adanya. Setiap orang punya jatah, sesuai time line dan takarannya masing- masing.
Saya dan istri serempak bergumam, tanda hidup dikatakan dewasa, ketika sampai di tahap "ya sudahlah".
---- ---- ---
Lingkungan masa kecil, membentuk saya sebagai orang yang hemat. Waktu itu saya masih SD, melihat sendiri kerepotan bapak ibu. Mereka pontang panting, memenuhi kebutuhan anak- anaknya - terutama kebutuhan pendidikan.
Apalagi saat mbarep, anak kedua dan ketiga, masuk Perguruan Tinggi di tahun berurutan. Orangtua makin susah payah, mengusahakan pembayaran agar tepat waktu. Saking malunya ibu, minta saya mengambil utangan ke tetangga.
Saya anak ragil menjadi saksi, melihat kesusahan bapak ibu. Menumbuhkan tekad, setelah lulus SMA tak ingin merepoti orangtua.
Maka setelah seragam abu- abu ditanggalkan, saya ke sana ke mari melamar pekerjaan. Entah setelah berapa puluh surat dikirim, akhirnya saya diterima bekerja di restoran siap saji. Â Kali pertama menerima gaji, saya sangat hati- hati mengatur keuangan.
Upah diterima langsung disisihkan untuk bayar kost, sisanya dibagi 30 hari. Â Ongkos makan dan bus ke tempat bekerja, tidak boleh melebihi jatah ditetapkan. Agar uang cukup untuk sebulan, saya punya strategi lumayan jitu.
Selain rajin puasa senin kamis, juga aktif di kegiatan di masjid. Lumayan bisa makan snack, pulang ke kost-an membawa nasi kotak. Dan setelah masuk kuliah, saya aktif di acara-acara kampus untuk dapat makan.
Saya tidak ingin punya utang, maka uang yang ada musti dicukup-cukupkan. Sampai akhirnya saya lulus kuliah, tanpa merepoti orangtua.
Setelah menikah beranak pinak, pengaturan keuangan semasa bujang tetap diteruskan. Setiap mendapat rejeki lebih, ditabung untuk sekolah anak-anak. Selain deposito, istri menyimpan dalam bentuk perhiasan.
Tetapi takdir jalan kehidupan, benar- benar di luar kendali manusia. Masa pandemi covid- 19, meluluh lantakkan perencanaan keuangan. Mula- mula istri sempat sakit, tak lama setelah sembuh ganti anak lanang. Selepas pandemi mereda, ganti saya yang jatuh sakit.
MasyaAlloh, perjalanan hidup yang luar biasa. Saya dan istri tidak menyangka, disampaikan pada part hidup tertaih- tatih. Dan yang lebih tidak menyangka, kami bisa melewati itu semua.
Merasa ditempa kerasnya kehidupan, kami meyadari bertapa lemahnya manusia. Semakin disadarkan, bahwa hidup dikatakan dewasa, ketika sampai di tahap "Ya sudahlah."
Hidup Dikatakan Dewasa Ketika Sampai di Tahap "Ya Sudahlah"
Masa terpuruk, adalah masa yang di luar pikiran kami. Mengingat kami hemat dan cermat, bukan tipe orang suka berfoya- foya. Semua sikap dan keputusan itu, berangkat dari pengalaman masa kecil.
Belajar dari kisah bapak dan ibu, saya tidak ingin kerepotan biaya sekolah anak-anak. Kami menabung, bahkan dari anak-anak masih usia balita. Dan masa pandemi tiba, management keuangan tak berlaku seketika. Â
Kami masihlah berusaha berdiri dengan tegak, menghirup nafas dan mencerna kejadian yang kami lewati. Betapa banyak hikmah dipetik, dari keterpurukan pernah dirasakan.
Bahwa sedemikian rapi rencana manusia, dengan mudahnya bisa dibolak- balikan semesta. Hal ini menunjukkan, betapa kerdil dan lemahnya manusia. Dan sikap sombong itu, tidaklah pantas disandang manusia manapun.
Bahwa setiap keadaan, dengan mudahnya bisa berubah. Bahwa roda kehidupan berputar, dengan lekasnya dari atas meluncur ke bawah. Hidup dikatakan dewasa, ketika sampai di tahap "ya Sudahlah."
Saya merasakan, kalimat ya sudahlah sebagai tanda pasrah berserah. Kalimat yang sangat mewakili, runtuhnya ego yang selama ini dibangga- banggakan. Kalimat penyadaran, lemahnya manusia di hadapan Sang Pencipta.
Kompasianer, yang tengah atau pernah di titik nadir kehidupan. Saatnya merendahkan diri serendah- rendahnya, menyadari kelemahan seorang hamba. Dan proses hidup dikatakan dewasa, ketika kita sampai di tahap "ya sudahlah."
Semoga bermanfaat.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI