Awal pernikahan, ibarat masa bulan madu melambungkan dua insan. Istri diperlakukan bak bidadari, dipuja puji kalimat manis sang suami. Demikian pula suami dirajakan, dengan segala pelayanan maksimal sang istri.
Namanya bulan madu, ada masanya akan selesai juga. Suami istri menghadapi kehidupan normal, dihadapkan kenyataan keseharian. Â
Suami berkewajiban menjemput nafkah, berjibaku dengan tantangan sepanjang hari. Direpoti urusan beras dan minyak yang menipis, gas tinggal satu garis padahal masak belum rampung.
Belum lagi dikejar tagihan listrik, iuran keamanan lingkungan, dan tetek bengek lainnya. Berita bahagia kehamilan istri, menjadi awal munculnya kebutuhan baru. Kontrol rutin dokter membeli vitamin, musti ada budget khusus saban bulan. Susu ibu hamil sesuai umur kandungan, mahalnya membuat kening suami berkerut.
Memasuki masa persalinan, biayanya disiaplan jauh hari. Dari anak lahir sampai balita, kebutuhan popok, susu, minyak telon, bedak, dan seterusnya tak bisa dinanti- nanti.
Anak memasuki usia sekolah, bertambah tingkat biaya semakin membengkak. Tantangan pernikahan, kalau dirunut dari waktu ke waktu tak ada habisnya. Sampai anak dewasa dan mandiri, suami istri menua bersama.
Sedemikian challenging-nya menikah, suami istri kudu saling menguatkan dalam kondisi apapun. Tetap seiring sejalan, berpegangan tali yang mengikat kuat bernama pernikahan.
Dengan naik turun keadaan, suami istri menemukan makna bahagia dari sudut pandang berbeda. Bahagia suami terhadap istri dan sebaliknya, saat rela mengalah meniadakan ego. Dan itu dilakukan dari hari ke hari, bertahun- tahun sampai maut memisahkan.
Sedemikian tidak mudah-nya menikah, maka pantas saja kalau disetarakan separuh agama. Sekali lagi saya sepakat, kehidupan pernikah itu sangat berat. Tetapi beratnya termaklumi, setalah suami istri menjalani.
Mulialah bagi pasangan, yang setia dan memegang komitmen pernikahan hingga akhir hayat. Bahwa pernikahan itu berat karena setara dengan separuh agama.