Saat kelulusan SMP tugas membuat karya tulis, tangan pegal mengarang berlembar- lembar di kertas polio. Bisa-bisa tinta bolpoint belepotan di telapak, kalau isi-nya merembes bocor.
Sekolah SMA adanya di kota kabupaten, kami naik kendaraan umum. Di beberapa tempat saya temui, membuka kelas mengetik. Memakai mesin ketik manual, besarnya setara koper pasionete.
Murid kursus dianggap mahir, kalau menguasai ilmu mengetik sepuluh jari. Saya team sebelas jari, alias telunjuk tangan kanan dan telunjuk tangan kiri.
Kuliah semester pertengahan, di dekat kost daerah Wonokromo Surabaya ada kelas computer. Dipasang stiker di jendela kaca, ada program wordstar, lotus 123, Dbase dan sebagainya.
Kasta tertinggi per-komputeran kala itu, ketika mengetik tanpa melihat toots. Ujung jari ini, seperti punya mata dan hapal posisi toots.
Kali pertama bisa membeli handphone, tahun 1999 setelah ngejob di PON (Pekan Olah Raga Nasional) di Surabaya. Kala itu saya menjadi liation officer, mendampingi wasit loncat indah selama di Surabaya.
Handphone yang segeda gaban, sampai kecil seuprit saya temui. Seperti namanya, telepon genggam hanya sebagai alat terima telpon dan menelpon. Kemudian berfungsi kirim terima SMS, menggantikan alat pager.
Hingga berubah sedemikian rupa, kini smartphone sangat multi fungsi. Tak hanya terima dan menelpon, sebagai alat foto, video, dan seterusnya dan seterusnya.
Di usia setengah abad ini -- alhamdulillah --, smartphone sangat bisa diandalkan. Mulai urusan belanja, bayar ini itu, transfer bulanan istri, bayar uang sekolah, tercover dengan gawai.
Termasuk editing video, memosting di media sosial dan menerima pekerjaan terkait konten. Saya bapak-bapak, terus berusaha aktif di sosmed. Untuk menjemput rejeki, menyesuaikan perkembangan jaman.