Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Kompasianer

Kompasianer of The Year 2019 | Part of Commate KCI '22 - Now | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bukber Lebih Bermakna dengan Cara Sederhana

16 Maret 2025   09:46 Diperbarui: 16 Maret 2025   09:46 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana berbuka puasa di Masjid - dokpri 

Kompasianer, tanpa terasa Ramadan masuk di hari ke 16---Masyaalloh cepatnya. Artinya buka puasa hari ini, terhitung buka puasa ke enam belas. Kalau ada yang mengibaratkan dunia ini sebentar saja, terasa sekali kebenaran kalimat tersebut.

Sejauh ini, saya sudah berbuka di beberapa tempat. Selain di rumah, bergiliran ke beberapa masjid di seputaran Tangsel. Beruntungnya tinggal di indonesia, masjid berdiri di banyak tempat.

Sesekali, saya menghadiri undangan buka puasa bersama. Baik dengan teman atau kerabat, atau sekalian job liputan event Ramadan. Biasanya saya memilih lokasi liputan, yang mudah diakses dengan transportasi massal.

Nge-job di bulan Ramadan sangat menyenangkan, membuat semangat berpuasa tetap terpelihara. Bulan puasa menjadi lebih produktif, sementara ibadah juga tetap jalan terus.

Btw, dari berbuka satu ke selanjutnya ada sensasi berbeda. Yaitu saya merasakan, definisi bulan Ramadan bulan penuh keberkahan.

Dari soal berbuka puasa saja, semesta telah menghamparkan keberkahan itu di depan mata. Kalau pait-paitnya sedang tidak punya uang, kita tidak perlu kawatir soal makanan.

Jelang maghrib tiba, silakan merapat ke masjid atau mushola terdekat. Selesailah urusan berbuka puasa, dan uang di dompet tetap terjaga.

Pulang dari liputan dan sedang hujan, saya pernah berteduh di masjid dekat Stasiun. Saat adzan maghrib terdengar, pengurus dengan ramah mengajak saya bergabung berbuka. Sikap mereka yang baik, membuat rasa sungkan ini menyingkir.

Di beberapa masjid besar di Tangerang Selatan, ada yang menyediakan menu berbuka cukup lengkap. Mulai kurma dengan air putih, dengan satu kotak berisi komplit menu. Berisi makanan berat dengan lauk daging, sayur, sambal dan krupuk. Masih ditambah buah pisang, ditata rapi bersanding puding untuk dessert.

Belum lagi semangat berbagi yang luar biasa, merebak di banyak lokasi di pusat keramaian. Saya pernah menemui, komunitas berbagi takjil di pinggir jalan. Ada juga perorangan, membagikan kolak atau snack di jalanan depan rumah.

Fa bi 'ayyi ala'i Rabbikuma tukazziban, maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.

Berbagi takjil di pinggir jalan - dokpri 
Berbagi takjil di pinggir jalan - dokpri 

------

Kompasianer, mari manfaatkan moment Ramadan dengan maksimal. Janganlah setengah- setengah, apalagi menunda- nunda. Karena Ramadan hanya sebulan, dan tigapuluh hari itu cepat sekali. Lagi pula siapa bisa menjamin, Ramadan tahun depan kita masih ada umur.

Meraih makna hakiki Ramadan, musti dimulai dari sekarang. Membenahi puasa-nya, sholat fardhu dan sholat sunnah-nya, membaca qur'an dengan tartil-nya, tarawih, itikaf dan lain sebagainya.

Ibadah ritual penting, tetapi musti ditunjang ibadah sosial yang baik juga. Menjaga hubungan pertemanan, dengan sikap dan lisan agar teman merasa nyaman. Hati- hati ber-medsos, jari- jari ini sangat enteng mengetik apa saja.

Suami menunjukkan tanggung jawab, menjalankan peran-nya dengan penuh amanah. Mengayomi anak istri, berbakti kepada orangtua. Menjaga silaturahmi dengan tetangga, jangan sampai omongan ini menyinggung perasaan.

Kalau kita melakukan setiap peran dengan mindful, niscaya Ramadan menjadi lebih bermakna. Puasanya lebih bermakna, sholat dan tadarusnya lebih khusyu, mengaji dengan mendalami artinya, dan seterusnya.

Hubungan suami istri lebih baik, rela mengesampingkan ego demi kebaikan bersama. Hubungan pertemanan lebih terjaga, saling memberi impact positif. Hubungan bertetangga terawat, sehingga lingkungan menjadi nyaman.

Berbuka puasa dengan mindful (seperti di SINI), sangat bisa menghadirkan makna yang lebih. Kita makan minum secukupnya, meneladani tuntunan Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Yaitu, makan setelah lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.

Berbuka dengan mindful, membuka sudut pandang baru soal mengonsumsi makanan. Makan dan minuman diserap tubuh dengan baik, output-nya berupa kesehatan badan.

Dan saya pribadi pernah merasakan, bahwa bukber bermakna sangat bisa diwujudkan dengan cara sederhana.

Bukber Lebih Bermakna dengan Cara Sederhana

Buka puasa setelah ngebu
Buka puasa setelah ngebu

Di artikel Ramadan Bercerita sebelumnya, saya pernah berkisah tentang ngabuburit bersama bapak usia paruh baya (Di SINI). Adalah bapak- bapak teman mengaji, yang selalu semangat belajar meski usianya sudah tidak muda.

Bersama bapak- bapak ini, saya menemukan moment Ramadan yang sangat berharga. Dibimbing Ustad, mengeja huruf demi huruf hijaiyah dengan tartil-nya. Meski lidah jawa ini kerepotan, tetapi dengan tekun Ustad membetulkan pelafalan.

Sabtu sore -- sehari yang lalu--, kami membaca surat At- Tariq. Surat tentang bintang gemintang, yang bersinar tajam di malam hari. Menyadarkan manusia, yang terbuat dari air yang terpancar keluar antara tulang punggung dan tulang dada. Dan seterusnya.

Kami membaca ayat per ayat dengan tartil -- dibimbing Ustad---, kemudian saya lanjutkan membaca artinya. Kalimat per kalimat saya pahami, mukjizat Al Quran memang luar bisa.

Ada rasa nyeeees yang menjalar di hati, arti dari surat At- Tariq seperti merasuk di kalbu paling dalam. Betapa semesta sangat penuh hikmah dan berkah, sangat bisa diraih oleh mereka yang berpikir.

Kegiatan mengaji, disudahi lima menit sebelum waktu berbuka tiba. Saat- saat mustajab tak dilewatkan, masing-masing dari kami melangitkan doa.

Saya memohon keteguhan iman dan islam, memohon dikarunia kesehatan untuk istri, anak, ibu di kampung, saya sendiri, dan keluarga besar. Dibukakan rejeki yang lapang dan halal, berkawan dengan orang-orang dan seterusnya.

Sampai adzan maghrib berkumandang, saat membatalkan puasa datang. Dan perjalanan puasa hari itu, rasanya sangat terasa di kalbu.

Minum air putih dengan kurma tiga butir, menyantap makanan kecil. Lagi- lagi saya mempraktekkan mindful eating, berbuka menjadi lebih bermakna. Sekira sepuluh menit setelah adzan, kami telah mencukupkan saat berbuka.

Ustad mengimami kami sholat maghrib berjamaah, dengan bacaan yang fasih dan merdu. Suasana terasa sangat syahdu, menumbuhkan perasaan haru. Kami menggantungkan harapan di langit, semoga kelak dipersuakan dikumpulkan di jannah-Nya---aamiin.

Kami bersalaman berpamitan, membawa pulang nasi kotak jatah berbuka. Perut ini tidak sanggup, langsung diisi dengan makanan berat. Musti dijeda sholat taraweh, agar makanan sebelumnya turun.

Sungguh, buka puasa yang sangat indah. Menjadi moment bukber lebih bermakna dengan cara sederhana.

Semoga bermanfaat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun