Dan saya pribadi pernah merasakan, bahwa bukber bermakna sangat bisa diwujudkan dengan cara sederhana.
Bukber Lebih Bermakna dengan Cara Sederhana
Di artikel Ramadan Bercerita sebelumnya, saya pernah berkisah tentang ngabuburit bersama bapak usia paruh baya (Di SINI). Adalah bapak- bapak teman mengaji, yang selalu semangat belajar meski usianya sudah tidak muda.
Bersama bapak- bapak ini, saya menemukan moment Ramadan yang sangat berharga. Dibimbing Ustad, mengeja huruf demi huruf hijaiyah dengan tartil-nya. Meski lidah jawa ini kerepotan, tetapi dengan tekun Ustad membetulkan pelafalan.
Sabtu sore -- sehari yang lalu--, kami membaca surat At- Tariq. Surat tentang bintang gemintang, yang bersinar tajam di malam hari. Menyadarkan manusia, yang terbuat dari air yang terpancar keluar antara tulang punggung dan tulang dada. Dan seterusnya.
Kami membaca ayat per ayat dengan tartil -- dibimbing Ustad---, kemudian saya lanjutkan membaca artinya. Kalimat per kalimat saya pahami, mukjizat Al Quran memang luar bisa.
Ada rasa nyeeees yang menjalar di hati, arti dari surat At- Tariq seperti merasuk di kalbu paling dalam. Betapa semesta sangat penuh hikmah dan berkah, sangat bisa diraih oleh mereka yang berpikir.
Kegiatan mengaji, disudahi lima menit sebelum waktu berbuka tiba. Saat- saat mustajab tak dilewatkan, masing-masing dari kami melangitkan doa.
Saya memohon keteguhan iman dan islam, memohon dikarunia kesehatan untuk istri, anak, ibu di kampung, saya sendiri, dan keluarga besar. Dibukakan rejeki yang lapang dan halal, berkawan dengan orang-orang dan seterusnya.
Sampai adzan maghrib berkumandang, saat membatalkan puasa datang. Dan perjalanan puasa hari itu, rasanya sangat terasa di kalbu.
Minum air putih dengan kurma tiga butir, menyantap makanan kecil. Lagi- lagi saya mempraktekkan mindful eating, berbuka menjadi lebih bermakna. Sekira sepuluh menit setelah adzan, kami telah mencukupkan saat berbuka.