Di usia paruh baya, saya bersyukur menemukan lingkaran pergaulan yang baik. Bapak-bapak sepantaran, dengan anak usia SMP sampai kuliah. Langkah kami mulai ringan leluasa, tidak digandoli anak saat berpamitan.
Adalah majelis taklim di daerah Tangerang Selatan, tempat saya menimba ilmu (lagi) mengeja huruf hijaiyah. Kami punya jadwal rutin mengaji, di akhir pekan setelah sholat subuh. Saat udara masih segar, selesai ketika sinar matahari sedang hangatnya.
Bulan Ramadan ini, jadwal belajar digeser akhir pekan sore. Kami para siswa -- sudah sepuh, hehehe-- , menyambut keputusan dengan suka cita. Menurut bapak ketua, kegiatan ini sekaligus menjadi bagian dari ngabuburit.
Bener deh, lelaki seumuran saya selera ngabuburit-nya sudah beda. Tak lagi berburu takjil---kecuali sesekali mengikuti ajakan anak istri--, tak lagi berbuka di lokasi kulineran viral.
Ngabuburit menyenangkan--- dan sangat berfaedah--, adalah mengaji dengan belajar tartil. Kemudian diakhiri buka puasa bersama, sesederhana itu.
-----
Sebagaimana anak desa umumnya, sedari kecil saya akrab dengan mengaji. Sewaktu SD sudah khatam juzz ama, dilanjutkan mengaji quran di rumah guru agama. Biasanya selepas maghrib, kami dibimbing membaca surat pendek.
Duduk di bangku SMA dan beberapa kali khatam quran, selepas ashar saya mengajar mengaji di musholla. Siswanya anak- anak tetangga, usia direntang kelas 2 sampai 4 SD. Meski mengajar suka rela, saya sangat senang melakukannya.
Sesepuh di desa pernah mengakui, bahwa lingkungan kami kategori tidaklah sangat ketat agama. Betul, kami menegakkan sholat fardhu 5 waktu. Aktif mengaji rutin yasinan di malam jumat, dan kegiatan keagamaan lainnya.
Tetapi sangat sedikit, diantara kami bisa mengaji sampai mendalam. Sesepuh mengatakan, tidak ada warga yang lulusan pondok dan tahfids Quran. Mengaji kami sebagian besar rata-rata, sebatas membaca tetapi tidak tartil.