Belajar dari pengalaman, saya sepakat bahwa konsisten ibarat bahan bakar keberhasilan. Dan cara mempertahankan konsistensi, ketika kita menggenggam motivasi terbesar untuk melakukan sesuatu.
Seorang atlet akan berprestasi, ketika dia telah menemukan motivasi terbesarnya. Sehingga kesungguhan berlatih terjaga, mental menjadi juara terbentuk, demi meraih tujuan yang telah dicanangkan. Setertatih perjuangan yang ditempuh, tidak akan mudah mematahkan semangatnya.
------
Sepanjang perjalanan hidup dilalui, saya mengamini betapa susahnya bersikap konsisten. Konsisten terhadap apapun, apalagi pada hal yang mengantarkannya kepada kebaikan. Â Karena musuh terbesar (sebenarnya) diri sendiri, satu diantaranya rasa lekas bosan mengerjakan hal yang sama setiap hari.
Saya merasakan sendiri, Â atau bisa jadi teman-teman Kompasianer mengalami hal serupa. Â Misalnya semasa masih sekolah (SD- SMP- SMA), muncul rasa bosan belajar dan ingin lekas dewasa kemudian bekerja. Setelah dewasa kemudian bekerja, nyatanya rasa bosan tak henti menghampiri. Saya beberapa kali pindah kerjaan, ibarat kutu loncat tidak betah ketika menemui masalah. Padahal di tempat pekerjaan baru, tidak ada jaminan akan bertahan lebih lama.
Soal menjalankan gaya hidup sehat, kebosanan sangat kerap menghantui. Niat diet yang semula kuat, tiba-tiba di tengah jalan melempem dan padam. Â Padahal sudah dibela-belain menahan konsumsi ini dan itu, sudah mengusir malas demi olahraga pagi. Semua berhenti begitu saja.
Kebosanan sebenarnya manusiawi, tugas kita adalah melawan agar tidak kebablasan. Bosan yang dituruti ibarat menggali sumur, diberhentikan padahal sejengkal lagi airnya keluar. Sayang banget kan. Â Maka sangat penting kita menemukan motivasi, guna mengalahkan bosan dan tidak mudah menyerah.
Menemukan motivasi, ibarat menemukan energi yang membuat kita tetap bertahan. Saya punya contoh kasus, yang kebetulan saya alami sendiri.
Keberhasilanmu Berada di Motivasi Terbesarmu
Selepas SMA dan tidak diterima kuliah di kampus negeri, saya memilih bekerja dan dua tahun berikutnya kuliah dengan biaya terjangkau. Untuk anak umur awal duapuluh-an, saya masuk kategori labil. Apabila melihat teman sepantaran di Kampus, hanya kuliah tanpa dibebani bekerja. Muncul protes dari dalam diri, merasa hidup tidak adil.
Keinginan berhenti bekerja menyeruak, tetapi bersamaan itu batin memberontak. Saya memikirkan kalau berhenti kerja, akan kesulitan membayar uang kuliah dan biaya hidup. Minta orangtua tidak tega, mengingat mereka sudah sepuh dan tidak tega.