Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Antara Bimbo, Hanafi, dan Bersuci

10 Mei 2021   21:55 Diperbarui: 10 Mei 2021   21:59 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lelaki berperawakan cungkring, berjalan gontai menyusuri jalanan gang di sebuah kampung di sudut kota pahlawan. Tampak wajah lelah menguasai, sementara langit semakin kelam hendak berganti hari.

Di usia belum genap dua puluh, setiap hari lelaki muda berpeluh dengan eneka peralatan kebersihan. Pekerjaan sebagai cleaning service di sebuah restoran cepat saji, menuntutnya bergerak cepat ketika tampak kotoran di setiap pojok restoran.

Jenis pekerjaan ini, memang tak membutuhkan keahlian khusus. Dengan modal ijazah SMA dan tanpa pengalaman, bisa diperoleh tanpa interview bertahap-tahap. Yang penting mau bekerja keras, tidak malu, dan siap berlelah-lelah.

Apalagi kalau sabtu malam dan minggu siang, dua shift ini sungguh-sungguh menguras tenaga. Banyak pembeli sampai antre, bahkan ketika sudah mendekati jam tutup resto.  Dua waktu tersebut, bisa diibaratkan jam kerja rodi (begitu anak-anak mengumpamakannya).

"Maaf ya, kamu belum dapat THR" ujar manager store

Bulan Agustus bertepatan dengan Ramadan, menjadi bulan ketiga lelaki muda bekerja. Kalimat disampaikan manager sebenarnya sangat wajar, tetapi terasa menyayat di hati. Ketika semua teman memegang amplop THR, dirinya, karyawan baru tak mendapatkan, rasa nelangsa itu tak pelak menelusup.

Kepiluan itu terbawa di sepanjang perjalanan pulang, kecapekan buah dari menyapu dan mengepel (saat resto hendak tutup), malam ini dirasakan berlipat-lipat.


Jarak tempuh sejauh satu setengah kilo, antara Mall (tempat gerai resto) menuju kost-an tersa jauh dengan jalan kaki-- padahal biasanya tidak. Kesedihan yang belum pernah dirasakan, mengingat ini adalah kali pertama bekerja,

------

Nafi, nama panggilan lelaki berperawakan cungkring.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya, dia bekerja di usia semuda itu dan berbekal ijasah SMA pula. Semasa sekolah otaknya terbilang encer, dari SD sampai SMA kerap mengukir pretasi. Maju lomba ini dan itu, beberapa kejuaraan dimenangi dan mengharumkan nama sekolah.

Hanafi cukup pintar bergaul dan membawa diri, semasa sekolah aktif di berbagai kegiatan. Menjadi panitia di berbagai acara, menjadi pengurus OSIS baik di SMP maupun SMA.  

Selain kawan sekelas, adik kelas, kakak kelas dan guru banyak yang mengenalnya. Meski bukan siswa idola dan terkenal, setidaknya di jajaran nama beken di sekolah nama Hanafi tercantum.

Semasa berseragam abu-abu putih, menjadi murid kesayangan guru teater. Namanya selalu dikaitkan dengan pentas teater, dikirim untuk lomba tingkat kabupaten bahkan provinsi.

Rumahnya kerap dijadikan jujukan, kalau kelas pulang lebih cepat atau selesai ujian di hari terakhir. Sehingga orangtua Hanafi, tak asing dengan nama-nama teman semasa SMA.

dokpri
dokpri
Tetapi kehidupan di dunia nyata itu jauh berbeda, dengan suka cita masa remaja. Begitu seragam abu-abu putih ditanggalkan, benturan demi benturan hidup mulai dirasakan.

Nafi gagal masuk ke Universitas Negeri impian, bahkan ketika mencoba jalur mandiri dan test D3 juga tidak diterima. Setumpuk prestasi diraih saat remaja, rasanya tak ada guna, tak ada harga, tak membantu sama sekali.

Langit seperti runtuh, lelaki belia ini limbung musti melangkah ke mana. Kalau memaksakan diri kuliah swasta, sama artinya mengikatkan tali di leher ayah ibunya. Hanafi tak ingin membuat orangtua terengah-engah, setelah mereka kelabakan mengongkosi kuliah kakak-kakaknya.

Sebagai bungsu telah banyak kejadian disaksikan, bagaimana ayah yang masuk masa pensiun dan ibu yang pedagang kecil pontang- panting mencari utangan.

"Nafi kerja saja buk pak" ujarnya 

Keputusan ini dengan berat diambil, setelah mengetahui namanya tak ada di pengumuman kelulusan ujian PTN. Ayah dan ibu seperti dipersimpangan jalan, meski tak sepenuhnya rela tetap dilepas ragilnya.

-----

Surabaya, kota ini sebenarnya tidak terlalu asing bagi Nafi. Kakak nomor dua kuliah di kota ini, sesekali ayah dan ibu menyambangi si bungsu diajak serta.

Setelah si kakak menikah, kalau libur ujian Nafi main barang sehari dua hari. Kini setelah lulus, Nafi bermaksudi numpang sementara di kontrakan saudara tua. Sembari mencari pekerjaan, kemudian setelah punya gaji akan ngekost. 

Empat bulan sejak kelulusannya, pekerjaan sebagai cleaning service di resto siap saji didapatkan. Di bulan kedua, Hanafi mencari kost di kampung tak jauh dari Mall. Tak perlu keluar transport, bisa jalan kaki saat berangkat dan pulang kerja.

Awal --awal sebagai petugas kebersihan, dirinya berusaha menanggalkan ego. Segala pencapaian semasa sekolah, sudah tak ada gunanya diungkit. Berani merangkak dari nol menihilkan rasa malu, pun ketika suatu ketika mendapati kakak kelas (semasa SMA) tak sengaja jajan ke resto.

Prinsip dipegang dengan kuat, bahwa kelelahan ini ibarat anak tangga menuju kedewasaan dan keberhasilan. Bahwa saatnya meninggalkan masa remaja penuh canda tawa, menuju kehidupan yang sebenarnya.

Tetapi apa lacur, ujian tak mendapatkan THR membuatnya jatuh dalam kesedihan.  Meski dalam hati disadari Hanafi, bahwa memang sedemikian terjal meniti jalan menuju kedewasaan.

----     

Ramadan memasuki hari ke duapuluh, suasana Mall bertambah ramai pengunjung. Termasuk resto tempat Hanafi bekerja, menjelang jam berbuka kursi penuh tak tersisa. Meski lapar haus bercampur lelah, tetapi sore itu ada yang membuat Nyes di hatinya.

Ketika setengah jam menjelang berbuka, lagu-lagu religi diperdengarkan di Mall dan salah satunya ada lagu Wudhu milik Group Bimbo. Sambil melayani konsumen, sambil mendengarkan lagu tersebut.

Hanafi begitu meresapi syairnya, tentang makna bersuci di lagu ini. Bahwa setiap urutan wudhu atau bersuci, ternyata mengandung maksud yang luar biasa. Ketika membasuh mulut, artinya menyucikan lidah dan ucapan, membasuh hidung artinya menyucikan penciuman. 

Kemudian membasuh muka, ibarat menyucikan wajah dan penglihatan, membasuh lengan adalah menyucikan perbuatan. Membasuk rambut adalah menyucikan pikiran, membasuh telinga artinya menyucikan pendengaran. Membasuh kaki di bagian terakhir, seperti menyucikan langkah.

Entahlah, seperti ada kekuatan magis mengalir setelah mendengar lagu ini. Hanafi yang sehari sebelumnya dirundung sedih, mendadak bangkit dan bisa menyingkirkan pilu.

Betapa semua suka duka di dunia, hanya berlaku sementara. Cara menghilangkan kepedihan itu, adalah dengan berwudhu agar pikiran dan jiwa kembali suci. Kemudian melangkah bersujud, pasrah menyerahkan semua urusan kepada pemilik kehidupan.

Antara Bimbo, Hanafi dan Bersuci.

- Semoga bermanfaat-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun