Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pernikahan adalah Ajang Mengelola dan Melunturkan Ego

17 September 2020   07:58 Diperbarui: 17 September 2020   08:02 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber | cyberlampung.com

Menurut saya nih, kehidupan ini sejatinya tentram dan damai. Keriuhan dan kericuhan terjadi, karena pergesekan akibat bercokolnya ego di dada setiap orang.

Coba kalau setiap orang bersedia mengalah, akan lain ceritanya.

Mengacu Al Quran surat kedua, manusia dianugerahi predikat sebagai makhluk mulia. Padahal sudah ada Malaikat yang jelas sangat-sangat patuh, dan setan si pembangkang.

Manusia dengan akal pekerti, derajadnya bisa saja melampui malaikat. Tapi hati-hati ya, bisa saja melebihi abainya setan.

Maka ketika Malaikat bertanya kepada Tuhan, mengapa manusia dimuliakan sementara sudah ada dirinya (malaikat) yang nyata dalam kepatuhan.

"sesungguhnya AKU (Alloh) mengetahui apa yang tidak kamu ketahui"

Manusia memang berbeda, dia dikaruniai akal pekerti, yang akan membawa dirinya dalam mengelola ego.

Sependek perjalanan hidup telah terlampaui, saya merasakan  unik dan serunya hidup kehidupan karena setiap orang memiliki kadar ego sendiri-sendiri.

Kompasianer, coba bayangkan.

Kalau semua manusia dipahamkan akan kebaikan, selalu bersabar tiada melawan, punya sikap nrimo dan tak pernah mengutuk ketika dicurangi.

Jangan-jangan dunia ini akan kering dan sepi, tiada pergolakan dan tiada dinamisasi.

Kok saya pikir, dunia bakalan tidak seasyik dan semenguji adrenalin seperti saat ini.

Dinamika dan pergesekan dalam hidup, sebenarnya bisa dijadikan proses ajar. Menjadi alasan setiap orang, menumbuh kembangkan jiwa juang di dalam diri.

Justru karena setiap orang memiliki ego, maka terbentuk medan persaingan yang (seharusnya) sehat dan kompetitif.

Setiap orang terpacu, memperbaiki diri agar pantas memenangkan kompetisi. Sekaligus termotivasi untuk berempati, bahwa ada juga orang lain.

Pun dalam kehidupan pernikahan.

Pernikahan adalah Ajang Mengelola dan Melunturkan Ego

Saya sangat meyakini, bahwa apa yang ada dan diselenggarakan oleh kehidupan pasti tidak ada yang sia-sia.

Manusia akan memetik manfaat, selama si manusia menjalani semampu dia bisa.

Termasuk anjuran menikah, sebagai cara umat muslin mengikuti sunnah Rasulullah. Bukankah semua yang ditunaikan Baginda Nabi, adalah sebaik-baiknya keteladanan.

dokpri
dokpri
Benar bahwa kehidupan setekah menikah itu, tidaklah mudah dan penuh onak duri.

Tetapi bagi siapapun yang menyediakan diri berpayah payah (dalam kebaikan), niscaya akan mendapatkan kemanfaatan.

Pernikahan tak ubahnya kehidupan keseharian, tetapi dalam versi dan skala lebih kecil.  Dua orang (suami istri) yang dibekali ego, kemudian bersatu dalam tali pernikahan syah.

Saya mengalami sendiri di tahun pertama pernikahan, dituntut berusaha keras menyesuaikan dengan istri.

Yang biasanya sendiri dan bebas kemana suka, terpaksa (tepatnya dipaksa) tidak bisa seenaknya karena sudah ada pasangan.

Yang biasanya hanya memikir perut sendiri, kemudian bertambah musti memikirkan isi perut istri juga.

Setelah punya anak anak lain lagi, yang dipikirkan semakin bertambah. Tugas dan tanggung jawab melebar, dilakukan sudah bukan lagi tentang diri sendiri.

dokpri
dokpri
Menikah tak ubahnya medan peperangan, bagaimana belajar mengalahkan diri sendiri.

Bersedia lapar. sebelum istri dan anak-anak makan. Bersedia kelelahan, demi lelap tidur belahan jiwa dan buah hati.

Tetapi bagi yang menikmati proses, dijamin tidak merasakan keberatan-keberatan itu.

Justru setiap pengorbanan menjadi terasa nikmat, bahwa setiap kemengalahan mengantarkan sepercik hikmat.

Saya kalau mendapat makanan, sekiranya bisa saya bungkus untuk anak-anak.  Sepulang kecapekan mengais rejeki, benak ini berbunga-bunga ketika hasil didapat untuk membelikan keperluan istri dan anak.

Apakah saya tidak punya kebutuhan? Apakah saya tidak punya keinginan?

Sebagai manusia biasa, tentu saya juga punya kebutuhan dan punya keinginan.

Tetapi di arena penggemblengan diri (baca pernikahan) ini, kehidupan mengajarkan untuk membuat skala prioritas dan artinya ini masalah mengelola ego diri.

Mengutamakan anak-anak dan istri kemudian orangtua yang sudah sepuh, baru paling terakhir diri sendiri.

Kompasianer, kalau sudah tiba saat itu, menikahlah. Dari menikah, akan didapatkan banyak hikmah.

Pernikahan adalah (salah satu) ajang efektif, untuk belajar mengelola dan melunturkan ego.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun